Minggu, 06 Juni 2021

 

Menjaga Data Privasi dalam Merger Perusahaan

B Lintang Setianti ; Peneliti Hak Asasi Manusia Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)

KOMPAS, 04 Juni 2021

 

 

                                                           

Dua unicorn besar Indonesia, Gojek dan Tokopedia, mengumumkan telah mengombinasikan dua usaha mereka ke dalam satu grup, bernama GoTo.

 

Mengutip rilis resmi mereka, merger ini dilakukan dengan ambisi menjadi perusahaan teknologi Indonesia yang mampu bersaing di kancah internasional melalui ekosistem digital untuk menunjang kehidupan dan kebutuhan konsumen.

 

Melihat konteks ekonomi nasional dan global, praktik penyatuan bisnis lumrah dilakukan di industri teknologi untuk menunjang keberlanjutan perusahaan serta meningkatkan nilai pasar lebih tinggi. Microsoft mengakuisisi platform digital jaringan sosial profesi Linkedin di 2016. Di sektor telekomunikasi, Hutchison dan Indosat Ooredoo tengah menjalankan diskusi serupa.

 

Melihat tren ini, penting untuk mendudukkan komitmen perusahaan berkaitan dengan perlindungan data pribadi. Dalam proses kombinasi usaha, pelaku usaha harus tetap mengedepankan praktik pelindungan data pribadi sebagai tanggung jawab mereka atas keamanan data konsumen. Data menjadi salah satu aset bernilai yang dimiliki sebuah perusahaan. Pengelolaannya memungkinkan pemanfaatan riset serta pengembangan industri.

 

Di ranah global, rezim pelindungan dan tata kelola data pribadi sudah jauh berkembang dan menguat, dengan membebankan kewajiban tambahan selaku pengendali dan pemroses data. Khusus pada peristiwa kombinasi dua entitas perusahaan berbeda, privasi data dan keamanan siber menjadi poin penting yang harus diantisipasi.

 

Lantas, apa yang perlu dicermati agar perusahaan tetap melindungi data pribadi, menjaga sistem keamanan mereka dan mengelola risiko? Jawabannya sederhana yaitu kesiapan infrastruktur perusahaan. Ketiga prinsip berikut bisa menjadi acuan kita bersama.

 

Infrastruktur mumpuni

 

Langkah perusahaan dalam memastikan kesiapan infrastruktur dan organisasional mengenai tata kelola data pribadi khususnya dalam proses penyatuan dua perusahaan mengacu pada aturan General Data Protection Regulation (GDPR), yang merupakan salah satu regulasi komprehensif pelindungan data pribadi.

 

Di Inggris, aturan ini memungkinkan Komisi Informasi Inggris (ICO) menegaskan tanggung jawab pembeli (dalam transaksi penyatuan dua perusahaan) atas suatu insiden keamanan data, meski pelaporannya terjadi sebelum transaksi.

 

Di Indonesia, baik peraturan yang berlaku maupun beberapa rancangan regulasi juga sudah berkiblat ke GDPR, sehingga kita bisa menggunakannya sebagai acuan. Pertama, perusahaan harus melakukan penilaian risiko terhadap hasil identifikasi data pribadi yang terdampak dalam proses transaksi. Penaksiran langkah organisasional, biaya dan risiko dalam proses uji tuntas menjadi salah satu kegiatan yang lazim diambil.

 

Hal ini tentu berimplikasi pada kesiapan struktur organisasi perusahaan dalam menyiapkan divisi khusus yang merespons aktif dalam tata kelola data pribadi sesuai prinsip dan sistem keamanannya.

 

Kedua, perusahaan harus siap mengalokasi sumber daya yang mumpuni, khususnya secara organisasional untuk menjaga pelindungan data.

 

Misalnya menetapkan fungsi data protection officer (DPO) dan chief information security officer (CISO) untuk memastikan manajemen perusahaan mengambil langkah operasional dan menciptakan kebijakan serta prosedur sesuai prinsip perlindungan data pribadi dan keamanan siber.

 

Salah satunya, menegaskan mekanisme keamanan sistem informasi yang aman, termasuk inisiasi penerapan privacy by design dan privacy by default guna menjamin penghormatan hak subyek data.

 

Berdasarkan telusuran di media, baik Gojek maupun Tokopedia memiliki fungsi DPO dan CISO meskipun fungsi ini tergolong awam bagi perusahaan di Indonesia yang juga mengelola data pribadi. Dengan ketersediaan fungsi ini, kita dapat melihat komitmen kedua perusahaan menjaga keamanan data pengguna sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas dari bisnis mereka.

 

Kedua fungsi ini menjadi indikator penting akan kesiapan infrastruktur organisasi dalam hal tata kelola data. DPO dan CISO bertugas memberikan advis ke manajemen terkait aspek perlindungan data pribadi sebelum dan sesudah proses penyatuan dua perusahaan, sejak proses due diligence sampai penetapan kebijakan privasi sebagaimana diperlukan.

 

Sudah selayaknya perusahaan yang besar dan memiliki basis pengguna yang masif melakukan berbagai metode dan kebijakan untuk menangkis potensi serangan siber dan kebocoran data.

 

Ketiga, pemberian notifikasi kepada subyek data. Dalam berbagai praktik di wilayah Asia, penyatuan dua perusahaan wajib mempertimbangan hukum perlindungan data pribadi nasional di suatu negara.

 

Ekosistem perlindungan

 

Meskipun tak secara spesifik disebutkan dalam GDPR, belajar dari Hukum Pelindungan Data Pribadi Singapura dan sebagian besar hukum pelindungan data pribadi Asia, ada keharusan perusahaan memberikan notifikasi kepada subyek data secara memadai.

 

Praktik ini merupakan perwujudan agensi konsumen sebagai subyek data yang memegang kontrol penuh atas data pribadinya. Poin notifikasi ini juga merupakan salah satu instrumen penting sebagai bagian dari uji tuntas dampak pelindungan data pribadi dalam proses penyatuan dua perusahaan yang dapat dilakukan sebelum maupun setelah transaksi.

 

Sedangkan di Indonesia, implementasi kewajiban memberikan notifikasi masih menunggu pengesahan RUU Pelindungan Data Pribadi.

 

Meskipun hingga saat ini Indonesia belum memiliki satu regulasi khusus yang dapat menjadi acuan utama terkait tata kelola dan pelindungan data pribadi, sektor privat memiliki pengaruh langsung dalam membangun kultur ini.

 

Salah satunya dengan menjalankan inisiatif uji tuntas dalam proses penyatuan perusahaan sebagai upaya meminimalkan risiko terhadap data pribadi konsumen. Setiap langkah seperti regulasi internal dan pengambilan kebijakan perlu mengedepankan akuntabilitas dan transparansi. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar