Reformasi
dari Jailolo Selatan Tajuk Kompas ; Dewan Redaksi Kompas |
KOMPAS, 26 Juni 2021
”Bagi pelaku kejahatan
seksual, yang utama bukanlah soal seks, tetapi adalah penaklukannya,” ujar
Stanton Samenow, penulis buku Inside the Criminal Mind (2004).
Oleh karena itu, sungguh
memprihatinkan ketika minggu lalu, seorang anggota Kepolisian Sektor Jailolo
Selatan, Maluku Utara, diduga memerkosa anak berusia 16 tahun. Seseorang yang
seharusnya punya kuasa untuk melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat
justru ”menaklukkan” warganya sendiri.
Tidak adanya demo
berjilid-jilid seperti pada kasus George Floyd di Amerika bukan berarti
publik tidak memantau kasus di Jailolo Selatan. Publik jelas mencermati
penyelesaian dari kasus yang menjadi salah satu catatan hitam ini. Hanya
saja, Indonesia sedang dipusingkan oleh lonjakan kasus Covid-19 sehingga
gugatan atas kasus itu lebih banyak di media arus utama maupun media sosial.
Kepolisian Negara Republik
Indonesia sejauh ini telah bergerak memproses pemecatan Brigadir Satu NI.
Bareskrim Polri juga akan mendampingi korban. Kita hargai langkah Polri. Di
sisi lain, media—menurut Bill Kovach, adalah pemantau kekuasaan—akan pula
melaporkan tiap progres pemidanaan terhadap NI.
Apabila terbukti bersalah,
efek jera bagi pelaku berupa pengenaan pasal pidana yang seberat-beratnya
kiranya dapat menjadi pesan tegas bagi kepolisian maupun publik. Bagi
internal kepolisian, pemecatan maupun ancaman pidana paling lama 15 tahun
dapat menjadi pengingat supaya jangan ada lagi peristiwa serupa di masa
mendatang.
Sayangnya, penegak hukum
tidak termasuk dalam ketentuan Pasal 81 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2014 tentang Perlindungan Anak. Dengan demikian, ancaman pidana paling
lamanya tetap 15 tahun.
Sementara bagi publik,
pidana bagi oknum polisi jelas memberi pesan bahwa tiada ampun bagi predator
anak. Pesan ini penting mengingat kasus kejahatan seksual yang diungkap bagi
publik di negeri ini boleh jadi ibarat puncak gunung es dari kasus-kasus
serupa. Perempuan, termasuk anak perempuan di bawah umur, juga terus saja
menjadi korban kekerasan.
Awal bulan Maret 2021,
dalam pemaparan catatan tahunannya, Komnas Perempuan juga mengungkapkan
kenaikan pengaduan sebesar 60 persen pada tahun 2020 menjadi 2.389 kasus.
Tahun 2019, Komnas Perempuan mencatat ada 1.413 kasus pengaduan. Jumlah
pengaduan melonjak di antaranya karena kini dimungkinkan adanya laporan
secara daring.
Kasus di Jailolo Selatan
ini idealnya dijadikan pijakan bagi Polri untuk lebih mereformasi diri.
Konsep ”Presisi” atau Prediktif, Responsibilitas, Tranparansi Berkeadilan
yang diperkenalkan Kepala Polri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo juga
perlu segera diejawantahkan.
Pada era seperti sekarang ini,
ketika masa depan sudah hadir, transparansi dapat pula dihadirkan dengan
memanfaatkan teknologi. Memasang lebih banyak kamera pemantau di kantor
polisi, yang dapat dimulai dari kantor Polsek Jailolo Selatan, kiranya dapat
lebih mendorong transparansi kerja-kerja polisi yang dapat pula meningkatkan
kepercayaan publik kepada lembaga kepolisian. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar