Psikologi
Koruptor dan ”Indignation” Dony Kleden ; Rohaniwan dan Antropolog dari STKIP
Weetebula, Sumba Barat Daya, NTT |
KOMPAS, 24 Juni 2021
Tidak adanya kekuatan
alternatif yang mampu mengontrol penyelenggaraan kekuasaan membuat para
koruptor tidak pernah jera, apalagi sistem birokrasi kita yang cenderung
proteksionis. Koruptor adalah orang yang
keberadaannya terisap ke dalam lingkaran ego. Tindakan korupsi selalu
mempunyai motivasi, arah, tujuan, dan sasaran. Sebuah tindakan tidak pernah
lepas dari motivasi dan sasaran, di mana di balik itu semua tersembunyi
ambisi. Tindakan korupsi merupakan
suatu bentuk penegasian dari etika politik. Signifikasi dari etika politik
itu sendiri dapat terlihat dari tujuannya, yakni mencapai kesejahteraan
masyarakat dan hidup damai yang didasarkan pada kebebasan dan keadilan.
Tujuan etika politik itu sebenarnya menunjuk pada keniscayaan eksistensi
manusia itu sendiri. Egosentrisme Tindakan korupsi adalah
sebentuk egosentrisme. Korupsi masuk dalam tindakan jahat karena gigitan dan
aura chaos-nya begitu terasa serta merusak sendi-sendi penopang hidup
bersama. Tindakan korupsi melumpuhkan kekuasaan dalam berbagai segi. Dan,
dengan demikian kuasa-kuasa itu menjadi impoten karena tidak dapat berperan
semestinya. Koruptor adalah anak
bangsa yang memerkosa serta menistakan keadaban bangsa dan negara yang telah
membangun dan menghidupinya. Dengan demikian, koruptor membentuk suatu etika
politik sendiri, yakni etika politik semu yang berorientasi pada privasi. Para koruptor adalah orang
yang terisap ke dalam logika ego bahwa dengan tindakan korupsi ia merasa aman
dan hasrat egonya terpenuhi. Para koruptor adalah orang-orang yang ketakutan.
Koruptor adalah orang-orang lemah yang tidak mampu menatap dunia dan
bersaing. Maka, dengan tindakan korupsi ia sebenarnya mau mengomunikasikan
dirinya bahwa ia ada. Ia menegaskan dirinya dengan tindakan korupsi. Maka,
koruptor sebenarnya adalah orang-orang naif, lemah, dan tidak mampu hidup. Penegasan diri atau
menghadirkan diri dengan cara korupsi sebenarnya para koruptor menularkan
pengremangan kesadaran sosial yang sebenarnya dalam dunia sosial normal harus
terus dijaga dan ditumbuhkembangkan. Di sinilah koruptor mengalami kekosongan
moral dan disorientasi nilai. Raibnya nurani para koruptor menyebabkan
imunisasi rasa bersalah, bahkan mereka melakukan glorifikasi korupsi sehingga
semakin banyak orang terisap ke dalamnya. Tindakan korupsi mengalami metamorfosis. Psikologi bawah sadar juga
muncul ketika seseorang mengadakan tindakan korupsi. Tindakan bawah sadar
adalah rajutan dari kehidupan masa lalu yang terpendam dan muncul ketika ia
dikondisikan atau diberi kesempatan. Psikologi bawah sadar ini berangkat dari
dua pengalaman empirik, yakni kehidupan yang buram dan kehidupan yang tamak. Kehidupan yang buram
menunjuk pada ketidakterpenuhinya hasrat di masa lalu atau dapat dikatakan
pemenuhan hasrat masa lalu yang kurang bahagia. Ini bisa dimengerti, apalagi
orang Indonesia yang notabene adalah orang miskin. Sementara kehidupan yang
tamak adalah sifat pribadi sebagai akibat dari pengaruh dari luar atau juga
karena memang adanya dalam diri. Kalau psikologi bawah sadar semacam ini kuat
dalam diri seseorang, maka ia melakukan korupsi dengan tetap merasa tidak
bersalah. Dan, walaupun bersalah ia akan berdalih dan terus saja terulang. Tidak
menerima Tindakan korupsi sungguh
menganeksasi hak rakyat, hak untuk sejahtera, hak untuk keluar dari
penderitaan. Sakitnya sistem hukum menyebabkan hukum tidak lagi mempunyai
daya bongkar (its opening up) terhadap segala tindakan korupsi. Ini sudah
menjadi masalah klasik. Penegak hukum yang sebenarnya menjadi penjamin moral,
transparansi, dan tempat masyarakat mencari keadilan sudah menjadi sarang
penyamun lantaran mereka sendiri terlibat dalam berbagai tindakan korupsi. Namun, masyarakat masih
punya kekuatan untuk memberikan sanksi kepada para koruptor. Institusi agama
dan masyarakat lokal perlu dikerahkan untuk membentuk suasana indignation
(tidak menerima dan protes) terhadap tindakan korupsi. Dan, indignation ini
hanya mungkin kalau penggalangannya melalui class action (organisasi
penggerak dan sosialisasi). Dengan class action ini
kedua institusi tersebut semakin mempunyai gema yang merangsang dan kekuatan
untuk menuntut serta menyingkirkan koruptor dari komunitasnya. Kedua
institusi ini harus menolak para koruptor dari komunitas dan memarjinalisasi
mereka. Jangan terlalu kompromis
dan permisif karena hal itu hanya akan memberikan peluang bagi para koruptor
untuk bermain logika dan berdalih untuk merasionalisasi tindakan korupsinya,
lalu memberikan alibi dan setelah itu membersihkan diri. Ia harus ditolak dan
dikeluarkan dari komunitasnya. Institusi agama dan masyarakat bisa membentuk
hukum lokal sendiri secara independen. Bukankah para koruptor telah
mendurhakai kita semua? Kita semua harus sepakat
untuk menolak para koruptor dari lingkungan kita. Korupsi di negara kita
sudah sangat akut. Herannya para koruptor merasa sebagai suatu kemestian,
banal, dan tidak bersalah. Dan, kalau sudah demikian, maka sebenarnya tinggal
selangkah lagi menjadi kultur dan akhirnya bangsa kita ini mempunyai kultur
korup. Sungguh memalukan. Maukah kita memberikan
predikat baru pada bangsa kita tercinta ini dengan predikat miring, yakni
”berkultur korup”? Tidak! Oleh karena itu, marilah kita memerangi para
koruptor dengan memberikan sanksi sosial di luar hukum negara yang sudah
begitu rapuh, busuk, dan tidak berwibawa. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar