Kebocoran
Data dan Kelengahan Warganet Rony K Pratama ; Peneliti Genealogi Hoaks di Indonesia |
KOMPAS, 19 Juni 2021
Pada ruang publik digital
data tak sekadar informasi, tapi juga identitas. Tiap identitas sederhananya
menyiratkan pembeda antara warganet satu dan lainnya. Masalahnya, di antara
warganet kurang menyadari betapa aktivitas pamer digital di ruang maya
berpotensi bumerang. Di satu pihak memang mereka dikenal luas dengan sejumlah
atribut khasnya, tetapi di pihak lain data yang terpampang rawan dimanfaatkan
oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Saya kerap mengamati
seorang warganet yang notabene ”orang penting” di suatu lembaga rajin
mengunggah data penting ke dinding media sosial. Barangkali kecenderungan itu
diniatkan untuk memotivasi kerabat lain. Namun, media sosial bak rimba maya
yang tak jelas juntrungannya. Maksud baik belum tentu menuai kemanfaatan.
Sebaliknya, keteledoran penggunaan media sosial menjadi awal mula malapetaka
di kemudian hari. Kebocoran data selalu
berada di titik persinggungan antara kejahatan dan kelengahan di dunia maya.
Siapa paling bertanggung jawab? Hemat penulis, selain individu, lembagalah
yang semestinya di garda depan. Tidak mengherankan kalau
tersiar kasak-kusuk bahwa terdapat instansi yang sengaja menjual data
kliennya demi kepentingan pemasaran. Akibatnya, pesan masuk berupa layanan
pinjaman online, hadiah puluhan juta rupiah, sampai papa-mama minta pulsa tak
terhindarkan. Upaya preventif menyetop
kebocoran data dapat ditempuh dengan sejumlah strategi. Salah satunya
sebagaimana diwartakan Kompas (26 Mei 2021) mengenai Rancangan Undang-Undang
Perlindungan Data Pribadi manakala merespons kebocoran data di Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan. Sebelum gagasan ini
dirumuskan, sebetulnya Indonesia sudah memiliki UU ITE Nomor 19 Tahun 2016
sebagai perubahan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik. Pasal 43 butir 2 sudah jelas menyebutkan perlindungan terhadap
privasi data. Sayangnya, UU ITE
diasosiasikan sebagai dasar penghukuman untuk menjerat warganet. Wacana
dominan yang beroperasi di baliknya cenderung dikaitkan dengan apa yang
disebut sebagai ujaran kebencian, informasi palsu, ataupun hoaks. Kedudukan undang-undang
sebagai supremasi hukum praktis mendesak. Akan tetapi, meminjam
langkah-langkah BIN dalam pendeteksian, peringatan, dan tindakan pencegahan
secara dini terhadap ancaman siber di dunia maya (Gunawan dan Barito, 2018)
perlu pula ditandaskan. Selain ranah hukum,
dimensi keamanan siber patut digalakkan individu selaku warganet aktif di
media sosial. Salah satu caranya lewat pendeteksian apa dan bagaimana
kemungkinan kebocoran data dapat terjadi serta ditanggulangi. Termasuk pula
elemen birokrasi atau perusahaan sebagai pintu masuk pertama keluar-masuk
data warganya juga hendaknya mengindahkan perkara proteksi dan privasi. Subyek
berkesadaran Di era serba media,
warganet dapat menjalankan dua fungsi bersamaan, yakni mengonsumsi sekaligus memproduksi
(informasi). Pemahaman ini disediakan fitur jenis media sosial apa pun. Sudah
banyak penelitian seputar efek adiktif media sosial, entah ditinjau dari
durasi penggunaan tiap hari sampai dampak psikis pemakainya. Riset itu
memiliki benang merah: media sosial mengondisikan seseorang terjangkit
semacam ekstase—keadaan di luar kesadaran diri. Ketaksadaran itu juga
berlaku bagi warganet yang acap lewah mengatalasekan data diri. Batas-batas
antara privasi dan publik semakin mengabur dan warganet tak melihat ini
sebagai kerentanan. Apalagi belakangan muncul wacana personal social media
branding yang dikampanyekan secara positif. Sesuatu yang berlebihan memang
tak baik dan karenanya yang privat pun niscaya turut dipublikasikan. Mengapa nomor anonim yang
menelepon seseorang menunjukkan daya persuasif dengan menyebut data diri,
keluarga, dan tempat kerja secara meyakinkan? Kelengkapan informasi tersebut
tak dapat dipisahkan oleh kecerdasan seorang peretas di dunia maya yang
sebelumnya telah melakukan observasi terhadap sasaran. Sejumlah data mampu
dikumpulkan karena sumbernya jelas, detail, dan mudah dicari. Itulah sebabnya, warganet
semestinya awas, cerdas, dan kritis terhadap informasi-diri yang
dipublikasikan di dinding media sosialnya. Alamat surel (e-mail) saja mampu
dibobol dan dikirimi spam, terlebih nomor telepon seseorang. Belum lagi
kelengkapan profil seseorang sangat mungkin dipakai oleh orang tak
bertanggung jawab untuk mendaftar pinjaman online. Padahal, dirinya tak
pernah sekali pun mengontak jasa tersebut. Kasus ini juga dialami pengguna
akun LinkedIn yang bocor April silam. Selain individu, lembaga
atau instansi birokrasi tak luput kena getahnya. Saya kira masalah demikian
berkelindan dengan belum tuntasnya ”reformasi birokrasi” di tubuh instansi
pemerintahan, baik di level pusat maupun daerah. Sebagai contoh, peraturan
mengirimkan kertas fotokopi KTP yang masih dilakukan. Ironisnya, praktik semacam
itu dilakukan ketika wacana nirkertas (paperless) sedang naik daun
dibicarakan jamak orang. Mengapa masih diharuskan fotokopi, bukankah KTP
elektronik memiliki nomor tertentu yang dapat diakses bank data kependudukan
dan pencatatan sipil? Kebocoran data akan
menjadi problem tak terselesaikan selama kebiasaan fotokopi cetak masih
dilakoni. Itu pun belum terjamin ketika proteksi data tak dibarengi dengan
langkah sistemik di tubuh kelembagaan yang benar-benar mengikuti prosedur
internet of things (IoT). Dengan demikian, kebocoran data lekat akan perkara
kelengahan subyek, warganet, maupun elemen birokrasi. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar