Kompas
Etis Kepemimpinan Yudi Latif ; Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia |
KOMPAS, 24 Juni 2021
Hanya karena panggilan
sejarah yang tak terelakkan, demi menghindari perpecahan bangsa yang baru
merdeka, pemimpin besar perang kemerdekaan Amerika Serikat George Washington
mau menerima pengangkatannya sebagai presiden AS yang pertama. Setelah masa
jabatan kepresidenan pertamanya berakhir, dia berniat kembali ke kompleks
peternakannya. Namun, niat itu terpaksa ia urungkan, mengingat kondisi
republik muda yang masih goyah dirundung konflik elit kekuasaan. Setelah masa jabatan
keduanya berakhir, dia bisa saja berkuasa lagi hingga kapan ia mau. Tapi,
kompas etis kepemimpinannya mengatakan “enough is enough”. Keberlangsungan
republik tak boleh bergantung pada seseorang, sebesar dan sehebat apapun
orang itu. Tunas-tunas baru harus meneruskan tongkat estafet kepemimpinan. Praktik kekuasaan
Washington itu kemudian menjadi konvensi, standar etis masa bakti
kepresidenan. Meski Konstitusi AS aslinya tidak memberikan batasan berapa
kali seseorang bisa memegang jabatan Presiden, namun setiap ada orang yang
berhasrat mencalonkan lagi setelah dua kali terpilih, kepekaan rasa malunya
selalu tak sanggup menghadapi pertanyaan gaib nurani publik, “Apakah anda
merasa lebih hebat dari Washington?” Demikianlah, warisan
terhebat dari seorang pemimpin adalah standar dan visi etis yang
ditinggalkannya. Sumbangsih kepemimpinan tidak ditentukan oleh seberapa lama
seseorang berkuasa, melainkan nilai apa yang dibudayakannya selama
berkuasa. Kepemimpinan negara itu
pusat teladan, ibarat mata air yang darinya mengalir sungai-sungai kehidupan
yang memasok air ke hilir. Seperti apa
mutu air di hulu akan memengaruhi mutu kehidupan di hilir. Dalam demokrasi luhur
adab, hukum berenang di lautan etika. Defisit institusi dan peraturan selalu
bisa ditutupi oleh kedalaman moralitas penyelenggara negara dan warganya.
Dalam demokrasi rendah adab, surplus pasal konsitusi dan undang-undang tak
membuat kepastian dan tertib hukum, melainkan selalu dicari celahnya untuk
disiasati demi kepentingan sesaat. Setiap ada usaha untuk mengembalikan
konsitusi ke rel yang benar, selalu ada penumpang gelap yang membonceng di
belakangnya. Berbagai ekspresi
ketidakpatutan etis dalam ruang publik kita mengindikasikan rendahnya
literasi moral di lingkungan elit negeri. Seperti tak punya rasa malu, saat
tingkat keterpaparan covid-19 melonjak dan keterpurukan sosial-ekonomi
memagut, elit politik masih berlomba mendendangkan lagu keberhasilan dalam
adu pencitraan. Seperti tak bisa merasa, tingginya kedudukan dan pengaruh
dalam politik seolah bisa menerabas apapun ambang kepatutan. Tinggi-rendahnya keadaban
elit politik itu bisa bisa dilihat dari caranya menghormati dan memajukan
dunia pendidikan. Bahkan semasa perang
dunia sekalipun, lumbung ilmu seperti Universitas Heidelberg dan Sorbonne tak
disentuh serangan militer. Kebiadaban suatu bangsa terlihat dari usaha
politisasi dan eksploitasi dunia pendidikan untuk tujuan-tujuan pragmatis.
Elit politik di negeri ini malah berlomba meraih gelar-gelar akademis dengan
cara-cara yang dapat merendahkan standar mutu dan wibawa dunia akademis. Yang lebih memprihatinkan
lagi, para ilmuwan dan dunia pendidikan sendiri sebagai benteng nalar dan
moral juga hanyut dalam arus pengkhianatan intelektual. Bukan bicara benar
pada kekuasaan, tetapi membungkuk pada kekuasaan. Para spin doctors
(konseptor, surveyor, influencer politik) menjadi instrumen rekayasa penyimpangan
politik. Para rektor perguruan tinggi tega merendahkan martabat dunia
pendidikan dengan “menjual” bangku dan gelar akademik dengan harga yang
murah. Tak ada konstitusi yang
bisa dipenuhi imperatifnya tanpa basis moral. Seperti diingatkan John Adams pada
para milisi Massachusetts, “Konsitusi kita dibuat hanya bagi orang-orang
religius dan bermoral”. Pasal
konstitusi terus ditambah, berbagai undang-undang terus diproduksi, namun tak
membuat negara ini berjalan di atas rel yang benar, karena kita mengalami
defisit keteladanan dan semangat moral penyelenggara negara. Jauh-jauh hari Mr. Soepomo
telah mengingatkan: “Paduka Tuan Ketua, yang sangat penting dalam
pemerintahan dan dalam hidup negara, ialah semangat, semangat para
penyelenggara negara, semangat para pemimpin pemerintahan. Meskipun kita
membikin undang-undang yang menurut kata-katanya bersifat kekeluargaan,
apabila semangat para penyelenggara negara, pemimpin pemerintahan itu
bersifat perseorangan, undang-undang dasar tadi tentu tidak ada artinya dalam
praktek.” Tanggung jawab terpenting
dari pemimpin negara adalah sebagai “penjaga konstitusi”. Dalam
ketidaksempurnaan konstitusi dan kelembagaan yang ada, kepemimpinan
kharismatik bisa menutupinya dengan kewibawaan moral. Dalam kaitan itu, Lyndon B. Johnson
mengingatkan, “Tugas terberat seorang presiden bukanlah mengerjakan apa yang
benar, melainkan mengetahui apa yang benar.” Untuk mengetahui apa yang
benar, seorang presiden harus menemukan panduan dari norma-norma fundamental.
Bahwa praktik demokrasi harus disesuaikan dengan mandat konstitusi, karena
pengertian ’demokrasi konstitusional’ tak lain adalah demokrasi yang tujuan
ideologis dan teleologisnya adalah pembentukan dan pemenuhan konstitusi. Setelah mengetahui apa
yang benar, Presiden harus bisa bertindak benar dengan integritas moral yang
tak mudah goyah. ”Sebagai presiden,” seru Abraham Lincoln, ”Aku tak punya
mata kecuali mata konstitusi.” Dengan mata konstitusi, presiden bisa
mengetahui apa yang benar. Dengan integritas moral, presiden
bisa bertindak benar, yang bisa mewariskan standar etis dalam kehidupan
republik. Bahwa hidup ini pendek,
sedang kehidupan itu panjang. Maka, janganlah demi kepentingan
penghidupan-kekuasaan jangka pendek, kepemimpinan mengorbankan prinsip-prinsip
kehidupan untuk jangka panjang. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar