Gila
Hormat Ariel Heryanto ; Profesor Emeritus dari Universitas Monash,
Australia |
KOMPAS, 26 Juni 2021
Pasal pidana penghinaan
pejabat negara sudah dihapus Mahkamah Konstitusi (2006). Kini tampil lagi
sebagai delik aduan dalam Rancangan revisi KUHP. Kontroversi lama marak lagi.
Yang rancu dalam debat publik layak dijernihkan. Menurut Menteri Hukum dan
HAM Yasonna Laoly, kebebasan berpendapat perlu diimbangi perlindungan nama baik
orang lain. Dalam rumusan abstrak begitu, pernyataan beliau benar. Namun,
bukan berarti pasal penghinaan merupakan langkah konkret mendukung
keseimbangan. Demi keseimbangan,
seharusnya ada pasal-pasal yang mengancam pejabat negara apabila menyerang
kehormatan rakyat. Bukan sebaliknya. Mengapa? Hak bersuara pejabat jauh lebih
besar daripada rakyat biasa. Tidak berimbang. Pemerintah punya kementerian
komunikasi dan informasi, kementerian pendidikan, kantor humas, dan
influencer. Sebagai pemilik kedaulatan
tertinggi, rakyat RI memilih presiden dan wakilnya. Bukan sebaliknya. Jadi,
kehormatan rakyat lebih tinggi ketimbang pejabat negara setinggi apa pun. Lha
kok menghina pejabat negara bisa terancam pidana lebih berat ketimbang
menghina warga negara lain? Pasal penghinaan terhadap
pejabat dan lembaga negara berlaku di beberapa negara. Tetapi tidak di negeri
demokrasi. Berpuluh tahun RI mewarisi pasal-pasal kolonial Belanda sejenis
itu yang disebut haatzaai artikelen. ”Barang siapa menyulut
atau membangkitkan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap
Pemerintah Belanda, atau Pemerintah Hindia Belanda dengan kata-kata,
tanda-tanda, atau tingkah laku atau cara-cara lain akan dihukum”. Begitu
bunyi pasal yang diperkenalkan Gubernur Jenderal Idenburg, 15 Maret 1914. Haatzaai artikelen berlaku
di Hindia Belanda tak lama setelah jajahan Inggris di India dijinakkan oleh
pasal hasutan. Juga tak lama setelah di Thailand diberlakukan hukum
lèse-majesté yang sebelumnya punya riwayat ribuan tahun di Eropa kini masih
bertahan di sebagian wilayah Asia dan Eropa yang punya ratu, raja, atau
kaisar yang harus dimuliakan secara mutlak. Namun, di pemerintahan mereka
yang diatur konstitusi, kepala pemerintahnya lazim dicaci. Di berbagai negara, hukum
pencemaran memang berfungsi mengimbangi kebebasan berpendapat. Namun, ada dua
perbedaan besar dari usulan Pemerintah RI. Beda pertama, di banyak negara
lain pencemaran diatur hukum perdata, bukan pidana. Misalnya di Australia,
polisi tak ikut campur kasus pencemaran. Orang tak boleh ditahan dan
dipenjara karena kasus pencemaran. Beda kedua, terbalik dari
RI, hukum mereka membatasi peluang bagi lembaga negara dan perusahaan besar
mengadu kasus pencemaran. Tak lazim bagi politikus di Amerika atau Inggris
mengadu kasus pencemaran walau kerja mereka rutin dicaci dan diolok-olok. Di
Indonesia, menurut SAFEnet, 70 persen pengadu UU ITE (2008-2020) adalah kaum
elite, sebagian besarnya pejabat publik. Di atas kertas, warga RI
dilindungi hukum dari pencemaran. Pejabat negara juga warga negara, jadi
otomatis sudah ikut terlindungi. Untuk apa tambahan pasal perlindungan bagi
pejabat? Padahal yang rentan jadi korban pidana itu rakyat biasa. Penyakit gila hormat bisa
menular pada siapa saja. Bukan cuma pejabat negara. Banyak warga kelas
menengah kini mudah tersinggung dan bergegas lapor polisi. Bukan cuma jumlah
aduan membengkak. Yang lebih memprihatinkan banyak aduan remeh-temeh
keseharian, seperti kasus serempetan kecil mobil dua pesohor. Dulu penjajah Belanda
mengandalkan haatzaai artikelen untuk memadamkan revolusi antikolonialisme.
Orde Baru mengobral pasal penghinaan untuk menindas aktivis prodemokrasi.
Tidak seperti sekarang. Dulu yang dipidana bukan ibu-ibu yang mengeluh
jeleknya jasa publik. Bukan warga yang mengejek satu lembaga negara sebagai
”kacung” lembaga dunia. Kini media sosial
memperparah masalah. Jurnalis yang terdidik etika penerbitan bisa khilaf dan
mencemarkan orang. Padahal, tulisannya diperiksa redaktur sebelum
diterbitkan. Apalagi netizen awam yang mendadak jadi penulis dan penerbit
digital tanpa pantauan redaksional dari siapa pun. Maraknya media sosial
menuntut pembaruan hukum. Keseimbangan antara kebebasan berpendapat dan
pencemaran perlu disesuaikan. Tetapi bukan dengan pasal pidana. Bukan dengan
perlindungan istimewa bagi pejabat negara seperti tradisi keraton atau
kolonialisme, sejoli mesra yang dimusuhi pejuang revolusioner pada awal abad
ke-20. Sia-sia berdebat semantik
tentang beda kritik dan hinaan jika faktanya para pengkritik kebijakan
pemerintah jadi korban utama hukum pidana. Yang lebih perlu dan mudah
dibedakan adalah dua jenis sasaran pernyataan negatif, entah disebut kritik
atau hinaan. Pertama, yang menyerang kinerja atau kebijakan pejabat atau
lembaga publik. Kedua, serangan pribadi terhadap individu, entah ia pejabat
atau bukan. Yang pertama wajar di
negara demokrasi; pelakunya tidak perlu dihukum. Yang kedua bisa berbuntut
sengketa di banyak negara. Apalagi di negara yang mengobral aneka pasal
aduan. Dalam catatan SAFEnet, selama 2017-2020 petugas pidana siber meneliti
15.000 aduan UU ITE. Pantas, ada pepatah sarkas ”kalau bisa rumit,
bertele-tele, dan mahal, kenapa dibikin sederhana, cepat, dan hemat?” Yang terjadi di Australia
justru sebaliknya. Di sana kejaksaan berjuang merevisi berbagai aturan agar
sengketa hukum kasus penghinaan atau pencemaran jumlahnya ditekan sekecil
mungkin. Yang bersengketa didorong mencari penyelesaian di luar pengadilan.
Hakim didesak menggugurkan gugatan remeh-temeh. Sumber daya kepolisian dan
pengadilan di negara mana pun terbatas. Sayang jika waktu dan tenaga mereka
terkuras habis oleh banjir aduan remeh-temeh. Banyak masalah lain yang lebih
layak diutamakan, misalnya perlindungan data konsumen, pelecehan seksual, dan
kerusakan lingkungan. Ujaran kebencian mustahil
dibasmi. Kita perlu belajar hidup lebih santai dan dewasa di zaman yang gaduh
omong kosong, fitnah dan dengki, baik yang pro maupun anti-pemerintah. Kita
perlu lebih kebal melawan wabah gila hormat. Perlu memilah masalah pribadi
dari urusan dinas. Perlu lebih merdeka dari sisa-sisa warisan kolonial Eropa
dan budaya keraton pribumi. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar