”Buron”,
”Buronan”, atau ”Buruan”? Nur Adji ; Penyelaras Bahasa Kompas |
KOMPAS, 19 Juni 2021
Sejak digunakan
bertahun-tahun lalu, bahasa Indonesia memiliki bentuk bersaing. Kedua kata
yang bersaing itu punya kedudukan yang sama kuat di masyarakat. Salah satu contoh kata
bersaing yang masih beradu kuat untuk tampil sebagai pemenang adalah kata
buron dan buronan. Kata ini mengikuti jejak kata-kata lain yang lebih dulu
bersaingan. Masjid bersaingan dengan mesjid, jemaah dengan jamaah, genteng
dengan genting, pimpinan dengan pemimpin, dan seterusnya. Yang menang akhirnya
menjadi lema yang diterima dalam kamus besar, sedangkan yang keok diberi
status ”bentuk yang tidak baku”. Yang menang berstatus kata formal, yang
kalah berstatus tidak formal. Yang formal biasanya
dianggap sebagai kata yang ”berderajat tinggi” karena dipakai oleh ”orang
yang tahu bahasa”. Sebaliknya, yang tidak formal dianggap sebagai kata yang
”berderajat kurang tinggi” karena dipakai oleh ”orang yang tidak tahu
bahasa”. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, kata buron menjadi bentuk baku dengan kata buruan sebagai bentuk
yang tidak baku. Akan halnya buronan, kata ini menjadi lema, tetapi diacu ke
buron. Dengan kata lain, kata
buronan dianggap sebagai kata yang belum sepenuhnya baku karena untuk
mengetahui maknanya, pemakai bahasa akan mendapatkannya pada kata buron.
Sudah jelas kepada kita, jika kita membuka kamus, kata-kata yang mempunyai
maknalah yang dianggap sebagai kata baku. Dalam KBBI kata buron
bermakna ’orang yang (sedang) diburu (oleh polisi); orang yang melarikan
diri’. Makna ini pun dilekatkan pada kata buruan sebagai makna kedua. Makna
buruan yang pertama adalah ’binatang yang diburu’, di samping ada makna
ketiga ’terburu-buru’ (cakapan). Karena diacukan kepada buron, makna kata
buronan pun menjadi sama dengan buron. Penyebab kata buron
mempunyai makna yang sama dengan buruan terkait dengan proses pembentukan
katanya. Buron merupakan bentuk lain dari buruan. Kita tahu bahwa buruan
merupakan hasil dari pengimbuhan -an pada kata buru (buru + -an). Akhiran -an
yang melekat pada kata buru merupakan pembentuk kata benda. Dalam hal ini
pengimbuhan -an menyebabkan munculnya
makna ’yang biasa dikenai tindakan; yang di’. Jadi, kata buruan bermakna
’yang diburu’. Gejala
bahasa Kemunculan kata buron
boleh jadi merupakan cara pemakai bahasa memendekkan kata yang dianggap
terlalu panjang. Ketimbang buruan, mereka lebih senang menggunakan buron yang
lebih singkat. Gejala bahasa yang
menunjukkan pemakai bahasa memendekkan kata sudah lama ada. Kata satai,
misalnya dipendekkan menjadi sate, cabai menjadi cabe, gulai menjadi gule. Namun, dalam kasus ini,
bentuk pendeknya (sate, cabe, gule) masih ditandai dengan cak (yang berarti
bahasa percakapan). Ketiganya belum betul-betul dianggap seratus persen
sebagai kata baku. Untuk kasus buruan menjadi
buron, bisa juga karena pemakai bahasa menggunakannya berdasarkan bentuk yang
sudah ada (analogi). Dulu kita pernah mendengar atau menemukan kata keratuan
dan kedatuan sebelum menjadi keraton dan kedaton. Keratuan dan kedatuan
masing-masing dibentuk dari kata ratu dan datu yang mendapat imbuhan ke- +
-an. Ratu dan datu bermakna ’permaisuri’ dan ’raja/ratu’. Keratuan dan
kedatuan merupakan tempat tinggal ratu dan raja. Baik keratuan/kedatuan
maupun keraton/kedaton hidup berdampingan dengan mesra di KBBI. Keduanya
tercatat sebagai lema baku bahasa Indonesia. Berbeda dengan
keratuan/kedatuan dan keraton/kedaton, kata buronan belum diterima sepenuhnya
oleh KBBI. Hal itu terbukti dari perlakuan yang berbeda terhadap kata-kata
tersebut. Jika keratuan/kedatuan, keraton/kedaton—dan buron atau buruan—sudah
disertai dengan makna masing-masing, kata buronan belum diberi makna. Penyebabnya kemungkinan
ialah kata buronan merupakan bentuk yang lewah. Sudah dijelaskan sebelumnya
bahwa kata buron berasal dari kata buruan, yang merupakan hasil pemendekan
atau analogi. Penambahan -an pada buron
(buronan) menyebabkan ada dua kali penambahan imbuhan -an. Jadi, kata buronan
berasal dari kata buru dengan dua akhiran -an (buru + -an + -an). Ini bentuk
lewah. Mubazir. Selain itu, penambahan
akhiran -an yang kedua itu tidak berpengaruh terhadap makna buron (buruan).
Maknanya tetap sama, yaitu ’orang yang diburu polisi’. Jadi, -an yang
terakhir itu tidak ada gunanya. Sebab, baik dengan maupun tanpa -an, makna
buron tidak berubah. Dalam kalimat, kata buron
bisa menduduki posisi apa saja. Bisa subyek, predikat, juga obyek. Contoh:
Polisi sudah menangkap sepuluh buron. Buron kejaksaan itu kebanyakan
ditangkap di luar negeri. Mereka jadi buron bertahun-tahun lalu. Apakah kata seperti
buronan yang lewah ini akan berkembang terus, atau malah mati, tergantung
penggunanya. Namun, kecermatan memilih kata dan tahu proses pembentukannya
sangat dibutuhkan dalam pengembangan bahasa. Bahasa yang memiliki
proses pembentukan kata yang jelas akan mempermudah penggunanya jika
menemukan kasus-kasus kebahasaan lain yang sejenis. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar