Politik
yang Berkebudayaan M Alfan Alfian ; Dosen Magister Ilmu Politik Universitas
Nasional, Jakarta |
KOMPAS, 25 Juni 2021
Di tengah kondisi bangsa
yang masih dilanda pandemi Covid-19, terlintas pertanyaan, apa yang menarik
dari politik kita sekarang? Pertanyaan ini klasik
semata. Ia bisa muncul kapan saja, dalam masa apa saja. Lazim, salah satu
jawaban peringkat pertamanya menjelaskan bahwa politik tidak menarik manakala
tidak dinamis. Kata politik itu sendiri berkonotasi dinamis. Manakala situasi politik
terasa statis saja, apa menariknya politik? Dalam batas tertentu, situasi
statis itu terasa dalam dinamika politik formal dewasa ini. Tulisan ini
sekadar renungan, mengajak pembaca merenungkan kembali konteks kebudayaan
dalam politik. Dari perspektif ini, politik menjadi tidak menarik karena
kontennya jauh dari dimensi kebudayaan yang lebih luas. Dalam sebuah diskusi, saya
mencatat pendapat alamarhum Radhar Panca Dahana bahwa politik itu berpintu
satu, sedangkan kebudayaan itu berpintu banyak. Dia menjelaskan betapa
sempitnya manakala segala hal dilihat dari sudut pandang politik. Yang
membuat politik itu sempit karena pintunya cuma satu, yakni kepentingan. Ketika segala hal diukur
dari semata-mata kepentingan, ia menutup kemungkinan lain dalam memandang
dunia. Kebudayaan lebih luas ketimbang politik. Kebudayaan bermuara pada
kearifan. Ini perlu disadari oleh para politikus yang dalam demokrasi
kontestatif, berpeluang menjadi pemimpin politik formal. Tanpa wawasan kebudayaan,
peluang untuk terjebak kepada pemimpin yang pernah disitir Kuntowijoyo
sebagai berkacamata kuda sangat tinggi. Pemimpin berkacamata kuda itulah yang
ngotot mempertahankan politik berpintu satu. Politikus yang levelnya pemimpin
seyogianya meniscayakan dirinya terbuka bagi ragam sudut pandang. Apalagi,
manakala yang diurus masalah-masalah kebangsaan yang kompleks. Satu masalah yang kita
kira kecil sesungguhnya terkait dan berdampak ke banyak hal. Semua harus
diperhitungkan secara multispektrum. Inilah yang, menurut Kuntowijoyo,
disebut obyektifikasi. Karena itu, politisi yang sekadar terbiasa dengan
sudut pandang tunggal akan gagal merumuskan hal-hal yang obyektif. Kebijakan
yang diambilnya pun sekadar sebatas menyesuaikan kepentingan pragmatisnya.
Aspek kemaslahatan bangsa dan rakyat yang lebih luas terabaikan. Kita sedih
manakala aspek kemaslahatan justru tidak pernah masuk ke kamus kaum
politikus. Intelektualisasi
politisi Dalam khazanah politik Indonesia,
gagasan intelektualisasi politisi lazim. Kaum politikus memang seyogianya
intelektual pula. Ini bisa dipahami karena mereka merespons banyak hal,
mengurus ragam bidang strategis tempat bangsa dan rakyat menggantungkan
nasibnya. Intelektual yang dimaksud
tidak semata-mata kaum akademisi, tetapi lebih ke maknanya yang lebih luas
sebagai mereka yang memiliki komitmen pada ilmu pengetahuan. Intelektualisasi
politikus, karenanya juga ikhtiar mencegahnya menjadi kaum pragmatis dan
pemburu rente. Saat ini, kita merasakan,
para budayawan dan akademisi memiliki keterbatasan. Ruang gerak mereka
terbatas, apakah disebabkan oleh merebaknya hoaks, gencarnya buzzer politik,
hingga kendala birokrasi. Kondisi demikian
memprihatinkan karena dapat dipahami sebagai melangkanya daya kritis, yang
ironisnya, mengemuka di abad digital. Informasi mudah dicari, dengan
menyisihkan berita-berita yang tidak valid di mesin pencari. Namun, hikmah
dan kebijaksanaa, susahnya minta ampun untuk dicari secara orisinal. Hikmah dan kebijaksanaan
terlampir di potongan klip-klip pendek yang tidak tuntas. Si pendari
kehilangan konteks kecakrawalaan yang luas. Inilah yang membuat kita
semakin galau. Di satu sisi, politik statis dan para politikus erat dengan
kacamata kuda masing-masing, sementara akses ke kebudayaan yang luas
terhambat oleh hal-hal yang absurd. Politik harus disambungkan dengan
kebudayaan yang lebih luass ehingga mentalitas yang hadir bukan mental blok
atau mental kacamata kuda. Keluasan pikir,
kesanggupan belajar, memerlukan sikap membuka diri. Kebudayaan ialah sikap
membuka diri. Politik menutupnya. Bahwa, semua hal harus ditafsirkan secara
tunggal berbasis kepentingan. Kalau itu yang dominan, peradaban politik akan
semakin hancur. Memang, politik juga menyertakan konsensus, tetapi kacamata
pandang kebudayaan menyisakan pertanyaan, apakah konsensus berdampak nyata
bagi kemaslahatan bangsa? ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar