Memahami
Perubahan Undang-undang PPN Benny Gunawan Ardiansyah ; Dosen Politeknik Keuangan Negara STAN,
Kementerian Keuangan |
KOMPAS, 24 Juni 2021
Publik tengah dihebohkan
dengan rencana pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas sembilan bahan
pokok (sembako), pendidikan, dan yang terbaru atas jasa pelayanan medis. Rencana tersebut terdapat
dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas nasional tentang RUU
Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan (KUP), meskipun pembahasan antara pemerintah bersama
DPR belum dimulai. Menteri Keuangan Sri
Mulyani Indrawati menepis isu tersebut dan menekankan isu utama saat ini
bukanlah mengenakan pajak, tetapi lebih ke arah program Pemulihan Ekonomi
Nasional (PEN). Rezim PPN sendiri berlaku
di Indonesia sejak reformasi perpajakan pertama tahun 1983. Indonesia
termasuk negara yang sejak awal menggunakan pendekatan pertambahan nilai
dalam mengenakan pajak atas konsumsi. Sebelumnya, Indonesia
menerapkan pajak penjualan; sebuah sistem yang lebih sederhana, tetapi lebih
menimbulkan distorsi bagi perekonomian. Sistem PPN cukup menimbulkan
kerumitan sehingga pemberlakuannya ditunda sampai dengan tanggal 1 Januari
1986. Dibutuhkan waktu dua tahun
untuk mempersiapkan sistem ini. Saat ini, PPN merupakan salah satu jenis
pajak yang memiliki sustainabilitas tinggi. Pertumbuhan penerimaan negara
dari PPN sejalan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia. Hal ini tidak
terjadi pada Pajak Penghasilan (PPh). PPh badan (perusahaan)
terus mengalami penurunan tarif dari 30 persen menjadi di bawah 20 persen
dalam kurun dua dekade terakhir, mengikuti tren negara-negara seluruh dunia
yang mengarah kepada race to the bottom. Sementara itu, PPh
perseorangan gagal menjalankan fungsinya dalam melakukan redistribusi
penghasilan penduduk Indonesia. Selama 35 tahun rezim PPN
berlaku di Indonesia terdapat tiga kali perubahan UU PPN mengikuti perkembangan
zaman dan situasi (kondisi). Misalnya saat terjadi big
bang decentralization Indonesia pada tahun 1998, UU PPN membagi kewenangan
pemajakan jenis pajak konsumsi tertentu, yaitu pajak restoran dan pajak
hiburan, dengan pemerintah daerah. Perubahan UU PPN sendiri
cenderung mengalami perubahan dari basis pemajakan yang sangat luas menjadi
terbatas. Bahkan UU PPN yang berlaku saat ini (berdasarkan perubahan tahun
2009) mengikuti perkembangan perpajakan beberapa negara menjadi lebih menuju
ke goods and services tax (GST). Basis pemajakan atas
konsumsi barang dan jasa sudah ditentukan, selain itu untuk melakukan
perubahan harus melakukan amandemen undang-undang. Amandemen undang-undang di
Indonesia harus melalui jalan yang berliku dan memakan waktu yang lama
sehingga tidak praktis dengan perkembangan zaman, apalagi dengan akselerasi
revolusi industri 4.0 yang terjadi saat ini. Kembali
ke UU PPN 1984 Terlepas dari pemberlakuan
sistem pemajakan atas konsumsi, maka yang lebih penting adalah kesesuaian UU perpajakan
dengan sistem hukum yang berlaku di suatu negara. Dalam hal ini, beberapa
pengaturan UU PPN yang berlaku saat ini bertentangan dengan UU Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Hal ini dapat dilihat
pada PPN atas sembako yang sedang diperdebatkan saat ini. Berdasarkan Pasal 4A UU
PPN diatur bahwa salah jenis barang yang tidak dikenai PPN adalah barang
kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak. Dalam penjelasannya
disebutkan bahwa “barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat
banyak meliputi beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur,
susu perah yang tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya,
buah-buahan dan sayur-sayuran". Sementara itu, UU Nomor 12
Tahun 2011 mengatur bahwa penjelasan UU berfungsi sebagai tafsir resmi
pembentuk peraturan perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang
tubuh. Penjelasan hanya memuat
uraian terhadap kata, frasa, kalimat atau padanan kata/istilah asing dalam
norma yang dapat disertai dengan contoh. Atau, dengan kata lain
penjelasan tidak memiliki kekuatan mengikat, dalam hal ini barang kebutuhan
pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak seharusnya bisa saja meliputi
jenis barang yang tidak disebutkan dalam penjelasan UU tersebut, seperti
misalnya ikan, tahu, tempe dan lain-lain. Kesalahan penyusunan UU
tersebut dapat dilihat pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor
39/PUU-VIV/ 2016 tentang penjelasan Pasal 4A Ayat (2) huruf b UU PPN tahun
2009 dengan Pasal 28C Ayat (1) dan Pasal 28H Ayat (1) UUD 1945. Permohonan
itu diajukan oleh dua pemohon, yakni ibu rumah tangga dan pedagang komoditas
pangan. Hasil putusan MK tersebut
menyatakan bahwa penjelasan Pasal 4A Ayat (2) huruf b UU PPN tahun 2009
bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat sepanjang rincian “barang kebutuhan pokok yang sangat
dibutuhkan” mengandung makna yang limitatif. Dengan demikian, amandemen
Pasal 4A UU PPN merupakan suatu kewajiban kontinjen bagi pihak eksekutif dan
legislatif. Amandemen terutama dilakukan terhadap Pasal 4A Ayat (2) mengatur
mengenai jenis barang yang tidak dikenai PPN dan ayat (3) mengatur mengenai
jenis jasa yang tidak dikenai PPN. Penghapusan tersebut bukan
berarti bahwa jenis barang dan jenis jasa tersebut akan terutang PPN. Jenis
barang dan jasa yang tidak dikenai PPN dapat diatur lebih lanjut dengan
peraturan pemerintah (PP). Hal ini sebenarnya sudah
diatur dalam UU PPN tahun 1984 akan tetapi sudah dihapus. Pengaturan
pengecualian jenis barang dan PPN dengan PP, atau bahkan dengan peraturan
menteri keuangan, akan mempermudah pemerintah dalam melakukan perubahan
dibandingkan dengan melakukan amandemen UU. Satu hal yang positif
dalam perdebatan ini adalah terdapat peningkatan kesadaran rakyat terhadap
pengenaan pajak. Transparansi penetapan kebijakan publik akan terus dituntut
dan momentum ini seharusnya dimanfaatkan oleh otoritas pajak untuk
meningkatkan kesadaran pajak rakyat Indonesia. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar