Bahaya
Infodemi dan Covid-19 Syafiq Basri Assegaff ; Dokter dan Pengajar di Institut Komunikasi
dan Bisnis LSPR, Jakarta |
KOMPAS, 17 Juni 2021
Ini tentang infodemi.
Terma tentang fenomena adanya ”wabah informasi kesehatan”, yang belakangan
dipenuhi fakta palsu menyesatkan. Banyak bukti menunjukkan
dampak negatifnya, seperti pengingkaran realitas ancaman virus atau manfaat
vaksinasi. Akibatnya, muncul berbagai pelanggaran protokol kesehatan sebagai
intervensi nonmedis atau menolak vaksinasi yang efeknya merugikan masyarakat
luas. Diperkirakan setengah
kematian akibat Covid-19 di Amerika Serikat di masa awal pandemi seharusnya
bisa dicegah kalau saja intervensi nonmedis (yakni menjaga jarak dan tetap
tinggal di rumah) dilaksanakan para penderita satu pekan sebelumnya. Itu
disampaikan Leonardo Bursztyn dari University of Chicago dan beberapa
koleganya dalam kertas kerja, September 2020. Infodemi
terkait kesehatan Ketika dokter asal Kanada,
Gunther Eysenbach, mendedahkan kata infodemi (infodemic) pertama kali pada
2002, mungkin ia tak menyangka istilah itu dua dasawarsa kemudian diadopsi
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Bahkan, Sekretaris
Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres pada 14 April 2020
mencuitkan pentingnya memerangi infodemi dengan fakta dan bukti nyata. PBB
mengkhawatirkan wabah informasi terkait kesehatan yang bahayanya bersaing
dengan virus korona sendiri. Eysenbach kecewa. Twitter
belakangan menerbitkan aturan yang di antaranya tak mengizinkan organisasi
sains dan penerbit jurnal ilmiah menyiarkan kontennya di situ karena dianggap
sebagai ”konten yang tak layak” (inappropriate content). Ini sebuah realitas
salah kelola terhadap infodemi di media sosial. ”Padahal tersedia kesempatan
bagi para ahli kesehatan masyarakat untuk mengelola infodemi berikutnya, yang
kita hadapi segera setelah tersedianya vaksin,” tulis Eysenbach di Journal of
Medical Internet Research, Juni 2020. Kekhawatiran Eysenbach
sangat beralasan. Kita semua menyaksikan banyaknya misinformasi,
disinformasi, ataupun hoaks yang kini dikonsumsi orang dari media
konvensional dan medsos. Sebuah studi Cornell University yang dimuat di New
York Times, September 2020, menyebut adanya 38 juta artikel di dunia yang
menunjukkan Presiden Donald Trump adalah sumber terbesar munculnya
misinformasi global. Agustus 2020, Facebook
menghapus 7 juta unggahan yang mengandung misinformasi tentang Covid-19.
Amazon pada Februari 2020 juga menghapus lebih dari 1 juta produk yang
ditawarkan dengan klaim bisa mengobati atau melindungi orang dari virus
korona. Sebagai orang pertama yang
menggagas istilah infodemi (dari infodemiology atau the epidemiology of
misinformation) di American Journal of Medicine (2002), Eysenbach
mendefinisikannya sebagai ”sebuah disiplin riset baru dan metodologi”. Dalam bingkai Eysenbach,
istilah infodemiologi menjadi cara untuk mengidentifikasi area-area tempat
adanya kesenjangan (gap) pada knowledge translation, yakni celah antara bukti-bukti
ilmiah terbaik yang diketahui para ahli dari hasil risetnya dan praktik
tenaga kesehatan di lapangan. Tak pelak lagi akibat
meledaknya informasi terkait pandemi itu banyak orang yang bingung, gundah,
cemas, bahkan stres. Bila infodemi berkaitan dengan kesehatan, sebenarnya
kita juga menghadapi infobesity, yakni fenomena kelewat banyaknya informasi
tentang segala hal yang kita hadapi, tak hanya urusan kesehatan. Fenonema infobesity (dari
info-obesity, alias kelebihan beban informasi) itu terjadi ketika ribuan atau
jutaan informasi menyeruak ke gawai kita setiap saat, sejak pagi hingga saat
tidur. Situasinya diperparah oleh munculnya sejumlah orang yang mengalami
gejala fear of missing out (FOMO). Mereka ini takut ketinggalan informasi dan
ingin tampil sehingga buru-buru menyebarkan dan menerusulangkan (forward)
informasi yang diterimanya tanpa menyaringnya lebih dulu. Kita mengenal tiga jenis
istilah terkait ”penyakit informasi” (information disorder) ini. Pertama,
misinfomasi. Ia punya ”pasangan” yang dinamakan disinformasi. Keduanya
sama-sama mengandung informasi yang tak benar (false atau fake), tetapi
bedanya misinformasi disebarkan oleh orang yang meyakini bahwa itu benar,
sedangkan aktor penyebar disinformasi tahu bahwa info itu palsu tetapi sengaja
menyebarkannya. Dengan kata lain, penyebar
misinformasi tak punya niat jahat sehingga disebut honest mistake. Dosanya
tak sebesar pelantun disinformasi yang sengaja membohongi korban yang hendak
disesatkannya. Itu sebabnya disinformasi
dinamakan deliberate lie to mislead. Sering kali terorganisasikan dan
diperkuat teknologi yang diotomatisasi agar mudah merebak luas. Biasanya
disinformasi menyasar mereka yang punya banyak pengaruh atau pengikut
(follower) di medsos. Disinformasi ini mirip (atau dipakai sebagai alat)
propaganda, tetapi pada propaganda jauh lebih manipulatif. Walakin, barangkali dosa
terbesar ada pada penyebar hoaks, kepalsuan yang sengaja diciptakan agar
seolah tampak sebagai sebuah kebenaran (deliberately fabricated faleshood,
made to masquerade as truth). Serupa dengan tipuan atau
trick, secara etimologi hoax berasal dari kata hocus (yang muncul pada abad
ke-18), yang berarti ”mengelabui”—dan kita tahu ini kerap digunakan dalam
dunia sihir. Sering dipakai untuk menyesatkan pembaca demi keuntungan
finansial atau politik, banyak berita hoaks bernuansa sensasional, deseptif,
atau merekayasa judul (seperti clickbait, umpamanya). Targetnya adalah
meningkatkan jumlah pembaca, dengan harapan masuknya fulus (seperti perolehan
pendapatam iklan) ke kantong penggagas. Adapun jenis ketiga adalah
”malinformasi”. Barangkali termasuk yang paling membahayakan, realitas
informasi yang dikandung malinformation ini bisa mengandung kebenaran atau
sebagian benar. Namun, masalahnya ia digunakan untuk menimbulkan bahaya atau
keburukan pada pihak lain. Parahnya, hal ini kadang
dipakai untuk menyerang negara lain. Sebuah contoh malinformasi adalah ketika
lebih dari 20.000 e-mail pribadi kandidat presiden Perancis, Emmanuel Macron,
diretas dan ditebar menjelang pemilihan presiden ronde kedua, 7 Mei 2017. Meski sebagian e-mail itu
dianggap asli, belakangan ia diramu dengan banyak informasi palsu dan
diberai-beraikan di banyak platform medsos demi merusak nama baik presiden
termuda dalam sejarah Perancis sejak Napoleon itu. Keracunan
informasi Banyak pakar, termasuk
psikolog menjelaskan bahwa kelebihan beban informasi (information overload)
atau ledakan informasi (information explosion) bisa menjadikan kita keracunan
infomasi (infoxication). Akibat pesatnya teknologi informasi, terjadi
peningkatan jumlah informasi yang luar biasa, bagaikan sebuah tsunami. Ini kemudian memunculkan
kecemasan (information anxiety) yang menyebabkan kita susah memahami perkara
yang ada dan sulit mengambil keputusan. Jika input melebihi kapasitas otak
memproses, kata Roetzel (2019), maka information overload itu—apalagi bila
informasi itu rumit, kompleks, dan saling kontradiksi—menyebabkan kualitas
keputusan menurun atau menyebabkan kita sulit ambil keputusan. Alvin Toffler (1970) dan
Bertram Gross (1964) juga menegaskan dampak information overload ini. Penjelasan lebih detail
diungkapkan George Armitage Miller. Penggagas psikologi kognitif dan Guru
Besar Princeton itu berpendapat, kapasitas memori jangka-pendek otak manusia
hanya bisa menyerap dan mengolah tujuh plus minus dua (yakni 5-9) ”bongkah”
informasi pada satu saat. Bagi Miller, otak manusia
itu mirip dengan komputer: memproses informasi dalam empat tahap: memaparkan
diri pada informasi (membaca, menyimak), mengodifikasi, menyimpan, dan
mengungkapkannya kembali (retrieve). Jika beban otak lebih dari kapasitasnya,
orang jadi bingung dan akhirnya mengambil keputusan yang kurang tepat atau
salah. Walakin, angka tujuh
terlalu besar, kata Nicholas Carr. Menurut Carr, memori kita hanya memiliki
kapasitas maksimum tiga hingga empat elemen. Carr yang menulis ”The
Shallows: What The Internet Is Doing To Our Brains” mengatakan bahwa ledakan
keinginan mencari informasi baru itu menyebabkan orang kecanduan informasi
sehingga memunculkan hambatan berpikir secara mendalam (obstructing deep
thinking), mencegah pemahaman, dan makin sulit dalam belajar. Ini disebutnya
sebagai cognitive overload. Empat
kunci lawan hoaks Kalau Eysenbach
menganjurkan penelitian konten terkait kesehatan sebagai infoveillance, kita
bisa menyelidiki dan menanggulangi hoaks bagi informasi secara umum melalui
empat cara praktis ini. Pertama dan terpenting,
cek keterandalan (reliability) sumber informasi. Dari mana ia berasal.
Informasi dari media arus utama (Kompas, Tempo, Reuters, BBC) lebih dapat
dijamin ketimbang kutipan dari platform jejaring sosial seperti Facebook.
Telitilah nama penulis dan institusi pembuat informasi itu: pemerintah,
aktivis politik, atau siapa? Ingat, tidak semua yang
”viral” dijamin benar dan sering kali pencipta hoaks mengutip pihak lain
untuk menyesatkan, sedangkan nama penulis sendiri tidak ada di situ. Kedua, pertanyakan konten
yang terasa aneh karena kemungkinan memang ia sebuah kepalsuan. Jika isinya
sesuatu yang amat penting atau berita besar, mengapa tidak ada di media arus
utama? Gunakan intuisi Anda: jika perasaan kita meragukannya, mungkin memang
”palsu”. Kita harus makin waspada bila informasi itu sebuah forward dari
tempat lain. Ketiga, waspadai ”bias
diri”. Kebencian atau cinta berlebihan pada seorang tokoh, biasanya di dunia
politik menjelang pemilu, sering kali menjadi pemicu munculnya kebohongan.
Jangan mudah percaya atau ingin dianggap hebat (akibat FOMO), misalnya dengan
buru-buru menekan tombol share atau forward. Boleh jadi Anda ikut menanggung
dosa kalau itu fitnah. Keempat, tengarai
ciri-ciri kepalsuan. Salah ketik, tata bahasa yang kacau, atau tidak ada nama
penulis dalam sebuah utas informasi sangat mencurigakan sebagai palsu. Patut
diingat bahwa banyak konstruksi berita merupakan sebuah rekayasa untuk tujuan
tertentu. Itu sebabnya di media arus
utama, para redaksi mengedit dan meneliti semua tulisan yang akan
dipublikasikan. Itulah di antara fungsi gatekeeper (penjaga gawang) di media,
sesuatu yang absen pada media sosial. Gunakanlah situs untuk
meneliti adanya hoaks. Banyak yang malas, padahal kita bisa meneliti sebentar
melalui kanal seperti Factcheck.org, situs Kominfo, NewsGuard, dan
cekfakta.com, sebuah laman yang muncul pada 2018 dan secara gotong royong
dikurasi oleh 22 media massa seperti Kompas, Liputan6, Jakarta Post, Tirto,
dan Detik. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar