Pengkhianatan
Pancasila Sudirman Said ; Ketua Institut Harkat Negeri/Dosen
Kepemimpinan STAN |
KOMPAS, 18 Juni 2021
Judul tulisan ini diambil
dari perkataan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri. Kompas
TV melaporkan bahwa Firli menyebut siapa pun yang korupsi ialah pengkhianat
Pancasila (Kompas TV, 1 Juni 2021). Pemberian predikat pengkhianat Pancasila
sebab korupsi merupakan kejahatan yang bertentangan dengan butir-butir sila
Pancasila. Lebih jauh dikatakan,
”Sila Pertama Ketuhanan yang Maha Esa memberi tauladan untuk berbuat baik,
bukan buruk seperti korupsi. Tauladan kebaikan itu akan menjadikan masyarakat
menjadi manusia yang adil dan beradab.” Demikian perkataan Ketua KPK dalam
pidato pelantikan 1.271 pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN),
Senin (1/6/2021). Pernyataan itu perlu
mendapatkan apresiasi karena pada perkataan tersebut termuat substansi, yakni
pengakuan bahwa korupsi merupakan kejahatan luar biasa. Bahkan, dalam
ungkapan ”pengkhianat Pancasila”, terkandung arti yang lebih dalam terkait
keberadaan negara: korupsi tidak sekadar mencuri uang negara, tetapi
merupakan ancaman bagi keberlangsungan negara. Dalam bagian menimbang
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, pada bagian b tertulis bahwa akibat tindak pidana korupsi yang
terjadi selama ini selain merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang
menuntut efisiensi tinggi. Bagi publik yang plural,
dapat diduga akan memberi respons beragam. Jika dibuat kutub berseberangan,
mungkin terdapat dua pandangan. Pertama, menganggap bahwa ungkapan tersebut
merupakan bentuk kesungguhan di tengah sentimen negatif yang makin membentuk
sedimentasi yang tebal. Dapat dikatakan, pernyataan Ketua KPK seperti hendak
menepis anggapan tengah berlangsungnya pelemahan KPK, baik dari segi regulasi
maupun personalia. Kedua, menganggap bahwa
ungkapan tersebut sekadar susunan kata yang tidak merujuk pada tindakan nyata
yang diharapkan publik. Sikap Koalisi Guru Besar Antikorupsi meminta Presiden
Joko Widodo menunda pelantikan para pegawai KPK menjadi ASN (Kompas.com, 31
Mei 2021) merupakan saksi dari apa yang dapat dipandang sebagai adanya
keengganan pimpinan KPK mendengar suara publik. Bila anggapan pertama yang
berlangsung, tentu publik tidak perlu dalam cemas. Namun, hal tersebut bukan
tanda untuk meniadakan kontrol, malah sebaliknya. Kesungguhan KPK untuk menjalankan
mandat reformasi, tidak dengan sendirinya membuatnya mampu mengatasi
tantangan korupsi, telah menyebar jauh melampaui imajinasi publik. Hendak
dikatakan bahwa justru karena kesungguhan itu, dukungan publik amat
dibutuhkan, agar tenaga pemberantasan korupsi menjadi semakin besar dari
waktu ke waktu. Sebaliknya, jika anggapan
kedua yang sebenarnya sedang terjadi, tentu menjadi tantangan bagi publik
untuk bersama-sama, dengan seluruh komponen bangsa, melahirkan tenaga baru
yang sepenuhnya dapat memulihkan tenaga bangsa untuk menghadirkan KPK ideal,
yang sepenuhnya memikul kehendak publik. Dari kedua pengandaian
tersebut, publik mendapati kenyataan bahwa apa pun yang tengah berlangsung,
sesungguhnya sangat dibutuhkan kontrol publik yang efektif, baik kontrol
formal melalui parlemen maupun kontrol di luar itu, yang dijalankan dalam
koridor keadaban publik. Bobot baru yang disampaikan oleh pimpinan KPK,
dengan menyebut tindak korupsi sebagai pengkhianat Pancasila, tentu menambah
dasar pembenar bagi keharusan terkonsolidasinya kesadaran publik. Mengapa demikian? Apabila
kata benar-benar mewakili maksud, apakah hal itu berarti bahwa rumusan
pimpinan KPK tengah memanggil publik dalam keseluruhannya, untuk lebih aktif
menyampaikan kritik, mengingat ancaman korupsi tidak saja mengganggu program
pemerintah, tetapi membahayakan dasar negara? Apakah hal ini berarti bahwa
tindakan korupsi telah dipandang sebagai suatu kejahatan terencana yang tidak
menghendaki bangsa mencapai apa yang menjadi cita-cita luhurnya? Pancasila Kalau masuk dan menyelami
suasana sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan/BPUPK) pada 1 Juni 1945, yakni ketika Soekarno
menyampaikan pidatonya, maka akan terasa bahwa yang menjadi fokus perhatian adalah
upaya bersama untuk segera dapat mendirikan negara. Oleh karena itu, pidato
tidak langsung bicara tentang philosofische grondslag, tetapi dimulai dengan
membahas perkataan ”merdeka”. Soekarno mengatakan,
”Paduka tuan Ketua yang mulia, tetapi lebih dahulu izinkanlah saya
membicarakan, memberi tahukan kepada tuan-tuan sekalian, apakah yang saya
artikan dengan perkataan ’merdeka’.” Untuk menjawab pertanyaan
yang diajukannya sendiri, Soekarno menyampaikan, ”Apakah yang dinamakan
merdeka? Di dalam tahun ’33 saya telah menulis satu risalah, risalah yang
bernama ’Mencapai Indonesia Merdeka’. Maka, di dalam risalah tahun ’33 itu,
telah saya katakan, bahwa kemerdekaan, politieke onafhankelijkheid, political
independence, tak lain dan tak bukan, ialah satu jembatan emas. Saya katakan
di dalam kitab itu, bahwa di seberangnya jembatan itulah kita sempurnakan
kita punya masyarakat.” Dari pandangan ini, dapat
ditafsirkan bahwa kemerdekaan merupakan momen pindah (baca: melintasi
jembatan), dari alam jajahan kepada alam merdeka. Segala yang merendahkan
martabat bangsa tidak boleh lagi ada. Bagaimana membuat bangsa
dapat mengubah keadaan? Pada titik inilah penting untuk memahami lebih letak
gagasan philosofische grondslag yang diajukan Soekarno, yakni di dalam kehendak
membentuk hidup bersama sebagai bangsa merdeka. Dalam pidato 1 Juni 1945,
secara jelas dikatakan, ”Kita hendak mendirikan suatu negara ’semua buat
semua’. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan
bangsawan, maupun golongan yang kaya, tetapi ’semua buat semua’.” Pernyataan ini demikian
gamblang menunjukkan bahwa apa yang hendak dirumuskan sebagai dasar negara
merupakan landasan dari keinginan membangun ruang hidup bersama yang merdeka,
bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Franz Magnis-Suseno dalam
Pancasila, Tidak Kurang Tidak Lebih (Kompas, 31/5/2021) menggambarkan:
”Pancasila, padanya ’negara Republik Indonesia … berdasar’ adalah persis, dan
secara eksklusif, lima sila yang disebut pada akhir Pembukaan UUD 1945,
seperti yang ditetapkan pada 18 Agustus 1945. Tidak kurang, tetapi juga tidak
lebih.” Dalam kursus di Istana
Negara pada 16 Juni 1958, Presiden Soekarno menggambarkan kualitas Pancasila,
sebagai dasar yang menjawab dua kebutuhan, yakni mempersatukan dan memberi
arah perikehidupan negara. Sementara itu, Buya Syafii
Maarif dalam Lumpuhnya Pancasila (Kompas, 31/5/2021) menulis: ”Kecuali
kelompok sempalan sumbu pendek, tak seorang pun meragukan Pancasila adalah
pilihan dan keputusan terbaik sebagai pedoman utama untuk mengawal perjalanan
bangsa dan negara ini untuk masa yang tak terbatas.” Dengan Pancasila, bangsa
Indonesia bukan hanya mampu bersatu, melainkan juga seharusnya dapat mengubah
nasibnya. Demokrasi Tentu persoalannya adalah
mengapa tidak semua hal baik tersebut langsung dapat hadir sebagai suatu
kebenaran yang nyata dalam kehidupan sehari-hari? Bahkan, kini, bangsa tengah
dihadapkan pada persoalan yang sangat serius, yang bukan merupakan tantangan
eksternal, melainkan masalah dari dalam. Masalah yang dimaksud adalah
korupsi. Suatu tindakan yang masuk dalam kategori kejahatan luar biasa karena
dampak yang ditimbulkannya. Bahkan, bukan tidak mungkin tantangan eksternal
akan datang melalui pintu masalah internal tersebut, dalam wujud hadirnya
kebijakan yang justru tidak membela kepentingan nasional. Sebagai bangsa kita telah
menyadari, dan karena itu, telah terbit gelombang reformasi, yang salah satu
tuntutannya adalah pemberantasan korupsi. Namun, Menteri Koordinator Bidang
Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan, korupsi yang terjadi saat
ini jauh lebih buruk jika dibandingkan masa Orde Baru (Kompas.com, 5/6/2021).
Suara publik menyebut bahwa reformasi telah dikorupsi. Mungkin karena hal
dasar tersebut, pimpinan KPK memberi predikat pada mereka yang melakukan
tindak pidana korupsi sebagai pengkhianat Pancasila. Jika pandangan ini benar,
maka soal pokoknya adalah bagaimana menjaga agar agenda reformasi dapat
dijalankan, dan pada sisi yang lain, nilai-nilai Pancasila dapat diwujudkan
menjadi kenyataan dalam hidup bangsa? Teks Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 sebenarnya telah membuat garis jelas, yakni
memastikan kekuasaan negara sepenuhnya berorientasi publik dan
penyelenggaraannya dijalankan dengan kedaulatan rakyat (demokrasi). Kita
memahami rumusan tersebut sebagai bagian dari ekspresi kebangsaan, yakni
bahwa gerak membangun bangsa hanya mungkin terwujud manakala seluruh elemen
bangsa, tanpa terkecuali, ambil bagian. Secara demikian, kerja
demokrasi, di mana seluruh warga terlibat, dengan landasan kesetaraan, pada
dasarnya merupakan bentuk nasionalitas. Partisipasi, dalam kerangka ini,
tidak saja merupakan panggilan demokrasi, tetapi juga panggilan kebangsaan.
Dengan demikian, segala tindakan yang tidak memungkinkan demokrasi bekerja
optimal, atau tindakan yang akan menggagalkan kerja negara dalam menjalankan
kewajiban konstitusionalnya, merupakan tindakan yang melawan kepentingan
bangsa. Presiden Joko Widodo,
sebagaimana dikutip oleh jurnalis senior Budiman Tanuredjo dalam kolom
catatan politik dan hukum, ”Demokrasi Itu Mendengar Suara Rakyat” (5/6/2021),
membuat semacam rumusan operasional yang penting tentang demokrasi, yakni
”Demokrasi adalah mendengar suara rakyat dan melaksanakannya. Demokrasi
adalah datang ke pelelangan ikan, datang ke bantaran sungai, karena kami
ingin mendengar suara rakyat… Setiap masalah harus diselesaikan dengan
dialog, mengundang makan dan mengajak bicara….” (9 Juni 2014). Rumus sederhana tetapi
mendasar tersebut akan membantu warga dalam melihat bagaimana kinerja
demokrasi. Yakni apakah kekuasaan berjalan dengan suara rakyat sebagai sumber
dan tujuannya ataukah tidak. Jika suara rakyat tidak menjadi rujukan, artinya
akses keterlibatan rakyat dibatasi dan terbatas. Suatu tanda berlangsung
pembatasan demokrasi. Masalahnya tentu tidak
sekadar demokrasi dalam pengertian yang eksklusif, tetapi akan terkait dengan
keseluruhan keberadaan negara, yang garis besar kerjanya telah diatur oleh
konstitusi. Memang suara rakyat perlu diatur ekspresinya agar tidak menjadi
jenis kegaduhan, yang juga berdampak pada kinerja negara. Namun, pengaturan tentang
suara rakyat, tidak bisa mengurangi atau bahkan menghilangkan substansinya,
bahwa seluruh perilaku kekuasaan tidak dapat tanpa legitimitas. Manakala
suatu kebijakan kehilangan basis legitimitasnya, berarti, pertama, patut
diduga bahwa kebijakan tersebut telah mengabaikan hak rakyat untuk terlibat
dalam proses pembentukan kebijakan. Kedua, patut diragukan orientasi
kebijakan tersebut karena potensinya berlawan dengan kepentingan warga dan kepentingan
nasional. Keduanya dapat ditafsirkan
sebagai alpanya kemauan politik untuk memastikan kualitas kinerja yang dengan
sistematis menghadirkan Pancasila dalam kehidupan nyata, melalui pelibatan
rakyat. Dengan pemahaman ini, segala tindakan yang patut diduga sebagai
pelemahan demokrasi, mengeksklusi partisipasi rakyat, atau tidak didengarnya
suara rakyat, merupakan tindakan yang menghalang-halangi pengejawantahan
Pancasila. Mungkinkah ada perbuatan
yang masuk dalam kategori tersebut? Kita tentu meragukan. Kita justru percaya
bahwa semua pihak ingin benar-benar mewujudkan Pancasila dalam yang
operasional dan konkret. Memang kita menyadari
bahwa arena politik memiliki kompleksitas tersendiri. Justru dalam hal ini,
kita beruntung mendapatkan rumus sederhana bahwa demokrasi adalah mendengar
dan melaksanakan suara rakyat. Yang kini tengah dinantikan publik adalah
tidak adanya halangan yang beroperasi di pusat-pusat pengambilan keputusan,
sedemikian rupa sehingga suara rakyat dapat sampai dan menjadi pedoman. Dalam
penuh rasa percaya, publik diharapkan tidak jemu bersuara. Pada pengujung pidato 1
Juni 1945, Soekarno mengingatkan, ”Tetapi saya sendiri mengerti
seinsaf-insafnya, bahwa tidak satu weltanschauung dapat menjelma dengan
sendirinya, menjadi realiteit dengan sendirinya. Tidak ada satu
weltanschauung dapat menjadi kenyataan, menjadi realiteit, jika tidak dengan
perjuangan!” ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar