Sabtu, 10 April 2021

 

Indo

 Ariel Heryanto ; Profesor Emeritus dari Universitas Monash Australia

                                                         KOMPAS, 10 April 2021

 

 

                                                           

Secara hukum, masyarakat kolonial Hindia Belanda dibagi dua. Ada dua lembaga pengadilan berbeda untuk masing-masing. Pertama, keturunan Eropa dan bangsa-bangsa tertentu yang statusnya disetarakan, termasuk Jepang, Turki, dan Siam. Kedua, warga pribumi dan mereka yang disetarakan, termasuk Timur Asing, misalnya peranakan Tionghoa dan Arab.

 

Masyarakat jajahan dikelola berdasar sebuah fiksi, yakni identitas ras. Oleh karenanya, ada aturan membatasi perilaku seks, pernikahan, dan akta keturunan. Namun, di mana pun kegiatan seks warga tak mungkin sepenuhnya dikendalikan negara. Hukum kolonial jadi amburadul. Masyarakat kolonial lebih majemuk berwarna-warni ketimbang yang diwacanakan sejarah nasional RI.

 

Strategi negara kolonial juga digagalkan kebijakan yang bertolak belakang. Sejak abad ke-17 berpuluh ribu pria Eropa dikirim ke Hindia Belanda yang kemudian bernama Indonesia. Akan tetapi, wanita Eropa dihambat masuk Hindia Belanda selama 200 tahun berikutnya. Pria Eropa didorong hidup bersama wanita pribumi. Mirip suami-istri tanpa nikah resmi. Keturunan mereka kita kenal sebagai Indo.

 

Anak Indo hanya dapat menikmati status sebagai warga Eropa apabila diakui resmi oleh ayah mereka. Namun, mereka, juga warga pribumi dan keturunan Timur Asing, bisa mengajukan permohonan status disetarakan Eropa. Banyak yang berhasil.

 

Di kalangan sesama pribumi, ada perbedaan kelas sosial. Juga di kalangan kulit putih. Walau berstatus Eropa, banyak keturunan Indo hidup miskin di kampung pribumi. Mereka tidak pernah ke Eropa dan tak bisa berbahasa Eropa.

 

Bukan kebetulan pelopor gerakan antikolonialisme terdiri dari lapisan elite di kalangan peranakan Indo dan Tionghoa. Ini bukan soal ras, melainkan kelas sosial walau keduanya berkait. Kepentingan kelas mereka bentrok keras dengan kebijakan negara kolonial.

 

Media cetak berbahasa Belanda dan Melayu di Hindia Belanda didominasi peranakan Indo dan Tionghoa sejak abad ke-19. Awalnya yang mereka perjuangkan bukan kemerdekaan nasional, melainkan kebebasan berdagang dan kemerdekaan berpendapat. Berkali-kali mereka didenda atau dipenjara karena publikasi mereka menjengkelkan pemerintah. Lama-lama, mereka sadar perlunya organisasi politik dan hak-hak berpolitik.

 

Sejak abad ke-19 kelas menengah Indo mencita-citakan kemerdekaan bagi keturunan Indo (disebut Indiers atau Indisch) yang lahir dan besar di Hindia Belanda. Mereka ingin merdeka dari Kerajaan Belanda. Juga bebas dari dominasi pegawai Belanda totok yang dianakemaskan pemerintah kolonial. Waktu itu belum ada yang mencita-citakan Indonesia merdeka.

 

Tahun 1900, elite Tionghoa mendirikan Tiong Hoa Hwee Kwan (THHK) sebagai organisasi swasta dan modern pertama di Hindia Belanda. THHK membuka sekolah modern berbahasa Inggris karena kaumnya dihambat masuk sekolah untuk warga Eropa.

 

Bukan kebetulan pelopor istilah ”Indonesia” di media untuk menggantikan ”Hindia” atau ”Indies” adalah koran milik peranakan Tionghoa, yakni Sin Po. Lagu ”Indonesia Raya” pertama kali disebarkan tercetak, lengkap dengan notasinya, oleh Sin Po.

 

Bukan kebetulan partai politik yang pertama menuntut kemerdekaan Indonesia, Indische Partij (1912), dipimpin jurnalis Indo bernama Douwes Dekker. Ia mengajak Soewardi Soerjaningrat (Ki Hajar Dewantara) dan Tjipto Mangoenkoesoemo sebagai rekan utama seperjuangan. Yang pertama jurnalis Jawa yang banyak bergaul dengan aktivis Indo. Yang kedua menikahi gadis Indo.

 

Sejak awal, Dekker merancang Indische Partij sebagai partai nasionalis lintas ras dan lintas agama. Tak semua Indo sependapat. Tahun-tahun sebelumnya terbentang sejarah panjang perdebatan di kalangan jurnalis Indo yang rindu merdeka dari kolonialisme Belanda. Sebelum dan sesudah Boedi Oetomo berdiri (1908), mereka berdebat apakah elite Tionghoa dan pribumi layak diajak ikut perjuangan politik yang mereka rintis.

 

Berusia enam bulan, Indische Partij dibubarkan pemerintah kolonial. Pimpinannya dihukum pengasingan. Semua terjadi tanpa proses peradilan. Pemerintah khawatir, jika partai ini diberi angin, ”bahaya ekstremis Islam” akan menjadi-jadi, menimbang suksesnya kebangkitan Sarekat Islam (1912).

 

Nama-nama yang disebut di atas tidak mewakili warga etnis mereka. Setiap kelompok etnis itu majemuk dan terbelah-belah. Akan tetapi, ada gejala umum yang global. Di banyak tanah jajahan, keturunan Indo (ayah Eropa, ibu pribumi) menonjol dalam kebangkitan nasionalisme. Juga elite peranakan lain, misalnya Tionghoa.

 

Di Amerika Latin dan Filipina, keturunan mereka hingga kini berada di puncak-puncak lembaga politik. Sejarah kepeloporan mereka tercatat resmi. Yang terjadi di Indonesia sebaliknya.

 

Revolusi kemerdekaan makan banyak korban, termasuk ratusan ribu warga sipil keturunan Indo. Setelah Indonesia merdeka, sejarah nasional terpusat pada kisah hebatnya pahlawan pribumi. Kepeloporan Indo secara umum dalam politik, media, ataupun berbagai bidang lain nyaris lenyap dari perhatian publik.

 

Rasisme kolonial berlanjut dengan menukar ras yang dimuliakan. Warga Indo dianggap kurang Indonesia. Hanya wajah Indo yang laris di film dan iklan. Ketika terjadi ledakan produksi film komersial berlatar sejarah kemerdekaan, tak ada protagonis peranakan Indo atau Tionghoa. Sesekali mereka tampil selintas, biasanya sebagai tokoh jahat.

 

Jasa Douwes Dekker dan Indische Partij diakui resmi oleh Pemerintah RI. Beberapa keturunan Indo menjadi tokoh nasional di berbagai profesi hingga kini. Namun, agaknya tak ada komunitas Indo di Tanah Air yang terhimpun dalam organisasi dan berkiprah secara publik.

 

Komunitas peranakan Tionghoa, Arab, dan India di Tanah Air ataupun negara tetangga giat merayakan warisan leluhurnya. Komunitas keturunan Indo dari Indonesia yang kini hidup di Eropa, Amerika, dan Australia giat merayakan ”tempo doeloe” kakek-neneknya. Generasi muda keturunan Indo di Tanah Air sendiri mungkin kurang kenal atau kurang peduli sejarah dan zaman emas leluhur mereka.

 

Indonesia diberkahi kemajemukan. Sayang, kemajemukan itu sering disangkal atau dihapus. Juga diabaikan mereka yang mempromosikan antikolonialisme, kemajemukan nasional, dan toleransi. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar