Sanksi
Ekonomi AS Lebih Banyak Keburukannya (1) Simon Saragih ; Wartawan
senior Kompas |
KOMPAS, 20 April 2021
Pengantar
Redaksi: Pertarungan
negara-negara adidaya, dalam hal ini antara Amerika Serikat dan China,
diperkirakan masih akan terus mendominasi dunia hingga beberapa tahun ke
depan. Pertarungan tersebut salah satunya bisa dilihat dari pengenaan tekanan
demi tekanan dari AS ke China. Agar China bermain sesuai aturan, demikian argumentasi
AS di balik tekanan itu. Keinginan menundukkan pesaing, itulah misi AS.
Namun, sejauh ini, AS tidak berhasil menundukkan China seperti AS berhasil
menundukkan Jepang. Sanksi ekonomi AS terhadap China bahkan mirip gigitan
nyamuk. Mengapa demikian? Berikut ulasannya dalam dua tulisan. Rentetan sanksi ekonomi AS terhadap China,
sejauh ini tidak berhasil menundukkan China. Menundukkan adalah asumsi utama
di balik pengenaan sanksi oleh AS. Sangat sulit mencari asumsi lain selain
penundukan. Aksi penundukan itu dibalut dengan narasi yang pada umumnya
negatif tentang China. Namun, AS relatif tidak pernah berhasil membuat China
menurut seperti Jepang. Mengapa demikian? Sebab, China sedang
berada di jalur pertumbuhan. Secara umum, sanksi-sanksi ekonomi AS terhadap
sejumlah negara di dunia memang tidak efektif baik bagi negara sasaran maupun
bagi AS sendiri. Sanksi ekonomi yang berubah menjadi persuasi pada zaman
Presiden Ronald Reagan terhadap Toyota juga tidak menancapkan daya saing yang
kuat pada otomotif AS. Akibat gelombang kampanye anti-Jepang pada
awal dekade 1980-an, AS meminta Jepang membatasi ekspor mobil ke pasar AS.
Pada dekade itu, Toyota mencatatkan kenaikan penjualan mobil di pasar AS
karena efisiensi pemakaian energi. Tiga besar otomotif AS (GM, Ford, dan
Chrysler) terbukti tidak menonjol di pasaran dunia. Chrysler malah sudah
bangkrut. Pada 1998, Richard N Haass, Presiden Council on Foreign Relations,
memberikan argumentasi mengapa sanksi ekonomi AS tidak efektif. ”Sanksi
ekonomi semakin sering dipakai sebagai alat kebijakan luar negeri,” kata
Haass. Sanksi ekonomi dipakai untuk negara-negara
yang ingin didikte oleh AS. Tujuannya agar negara-negara tersebut berubah
menjadi seperti yang dikehendaki AS. ”… Dan sanksi lebih merugikan kepentingan
ekonomi AS serta tidak mengubah perilaku negara-negara sasaran sanksi,” tulis
Haass di situs The Brookings Institution, ”Economic Sanctions: Too Much of a
Bad Thing”, (brookings.edu). Banyak
korban Haass menambahkan, sebaiknya sanksi jangan diterapkan
secara sepihak. Penyelesaian persoalan antara AS dan negara-negara yang
dikenakan sanksi lebih bagus ditangani secara saksama, bukan main ancam
dengan mudahnya. Sebab, sanksi yang tidak saksama lebih menyebabkan kerugian. Negara-negara yang dikenakan sanksi akan
berproses mencari solusi yang kemudian merugikan AS sendiri. Iran, misalnya,
yang dihambat secara ekonomi lewat sanksi AS menemukan China sebagai investor
perminyakan dan konsumen minyak Iran. Memperkuat itu Richard Hanania, peneliti dari
Columbia University (AS), pada 18 Februari 2020 menuliskan artikel yang juga
menyatakan sanksi itu lebih banyak efek buruknya. Lewat tulisan berjudul
”Ineffective, Immoral, Politically Convenient: America’s Overreliance on
Economic Sanctions and What to Do about It” di situs Cato Institute, Hanania
menuliskan sanksi-sanksi AS, terutama sanksi ekonomi berefek pada
kemanusiaan. Sanksi-sanksi kemungkinan kontra-produktif. Tentang semua ini ada persetujuan luar
biasa di kalangan para akademisi bahwa sanksi-sanksi menurunkan kinerja
ekonomi di negara-negara sasaran, menurunkan kesehatan publik, menyebabkan
puluhan ribu kematian setiap tahun. Lebih jauh, sanksi gagal mencapai target,
khususnya ketika tujuan utama pengenaan sanksi adalah perubahan rezim atau perubahan
perilaku secara signifikan di negara sasaran. Sanksi-sanksi bahkan memukul
balik, menyebabkan pembunuhan massal, mendorong penindasan sementara potensi
demokratisasi mengecil akibat sanksi. Kebijakan
anarkis Namun, mengapa AS sering mengenakan sanksi?
Hanania menuliskan, popularitas sanksi lebih dipicu kepentingan politik
domestik dan kepentingan para politisi. Ini lebih mengemuka ketimbang
pertimbangan soal kemampuan mereka meraih tujuan geopolitik. Aspek populisme
dalam kasus Donald Trump juga menjadi hal yang tepat untuk menjelaskan sanksi
yang bertubi-tubi dari AS di bawah Trump terhadap China. Agar, ”Bebas mengaum di mana saja,” itulah
sebutan pakar politik AS John Mearsheimer dari University of Chicago tentang
karakter AS yang kuat dan hegemonik. Bebas mengaum secara militer termasuk
secara ekonomi di seluruh dunia, itulah yang juga bisa menjelaskan peluncuran
sanksi-sanksi ekonomi. Semakin berkuasa, AS semakin tidak obyektif
dalam misi kebijakan luar negerinya. Banyak kebijakan luar negeri AS yang
cacat, sebagaimana sering dikatakan oleh Stephen Walt pakar hubungan
internasional dari Harvard University. Secara empiris, sanksi-sanksi AS ini juga
pernah diwujudkan lewat Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Hal inilah yang
memunculkan perlawanan dunia terhadap AS di WTO hingga sekarang. Bahkan,
ketika penerapan sanksi AS lewat WTO tidak mempan, AS juga sangat mudah
mengenakan sanksi lewat fasilitas ”Super 301”, yang dengannya AS bisa
mengenakan sanksi unilateral tanpa persetujuan WTO. Setelah AS tidak mempan
lagi menekan lewat WTO, Trump membawa negara ini mundur dari WTO. Hanania melanjutkan, para pembuat kebijakan
AS memberi sedikit perhatian atas fakta empiris tentang efek buruk
sanksi-sanksi. Dan para pejabat AS sering tidak melengkapi restriksi dagang
dengan upaya diplomasi yang sebenarnya bisa mendukung posisi tawar-menawar
AS. Kontrasnya, kata Hanania, walau sanksi-sanksi berefek buruk, tetap saja
sanksi masuk akal dari prospek politik domestik dan psikologi politik di AS. Unsur politik domestik di balik pengenaan
sanksi ekonomi oleh AS ini menenggelamkan pertimbangan akan sisi positif dari
keberadaan jaringan produksi global (global supply chain). Di sisi lain,
eksistensi jaringan produksi global ini memang sudah sangat susah dipisahkan (decoupling)
karena sudah sangat terkait erat. Jaringan produksi dunia semakin efisien
ketika produksi tidak lagi bergantung pada kekuatan satu negara, tetapi
kombinasi dari kekuatan seluruh negara. Trump tampaknya ingin mengganggu
eksistensi jaringan produksi global tersebut. Namun, Hanania menuliskan, dengan melihat
realitas dari berbagai sudut pandang, sanksi sebaiknya dibatasi. Disarankan
juga, sebaiknya sanksi agar dijalankan saksama sembari pemimpin mengupayakan
pencapaian tujuan politik tanpa mengorbankan kepentingan orang tak berdosa di
seberang. Hanania juga menyarankan agar para penentang sanksi terus bersuara
menyampaikan opini. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar