Bank
Sentral Perlu Mengembalikan Perempuan di Uang Kertas Herman Saksono ; Peneliti
Postdoktoral, Harvard University |
KOMPAS, 26 April 2021
Bank Indonesia perlu memperbanyak potret pahlawan
perempuan pada desain uang kertas di masa datang. Saat ini, tujuh dari
delapan desain uang kertas rupiah didominasi gambar pahlawan laki-laki. Di
sisi sebaliknya, hampir semua bergambar perempuan penari tradisional. Dengan desain ini, negara menyampaikan
pesan tersirat bahwa tugas laki-laki adalah menjadi tokoh, sementara
perempuan bertugas menari dan menghibur masyarakat. Bahwa desain uang tahun
2016 ini beredar tanpa banyak kontroversi, justru menegaskan bahwa masyarakat
kita telah tanpa sadar mengamini paham jender yang tidak adil. Walaupun nilai nominal uang lebih utama
daripada desainnya, desain menyimbolkan kepedulian negara. Saat ini,
perempuan belum mendapat kepedulian yang memadai. Partisipasi perempuan di
dunia kerja formal stagnan di 54 persen, tetapi kekerasan terhadap perempuan
dan pernikahan dini terus meningkat setiap hari. Artinya, kita perlu dobrakan
untuk menyelesaikan permasalahan rumit ini, termasuk memperbaiki pilihan
desain uang. Uang kertas bukan sekadar tinta yang
melekat pada kertas serat kapas. Tinta tersebut juga membentuk simbol-simbol
yang penting. Tinta yang membentuk ”100 000” membawa simbol yang senilai
dengan 1 kilogram cabai rawit merah. Demikian juga tinta yang membentuk
gambar laki-laki pahlawan dan perempuan penari tradisional. Mereka
menyimbolkan peran perempuan di masyarakat. Tentu kita harus menghargai BI yang
menyertakan keragaman seni Nusantara dalam desain uang. Kita juga harus
mengapresiasi para pekerja seni perempuan yang telah memeragakan kesenian
tersebut. Namun, kita juga perlu menilik tujuan kesenian tersebut. Ambil contoh tari gambyong dari Jawa Tengah
yang muncul di uang kertas Rp 5.000. Dalam tradisi bangsawan Jawa, tari
gambyong digunakan untuk menyambut tamu. Dengan kata lain, uang kertas Rp 5.000
mengusung simbol bahwa peran perempuan itu menyambut tamu dengan gerakan
badannya. Padahal, perempuan Indonesia telah terlibat
lebih sentral dalam kesenian, yaitu sebagai pencipta karya seni. Uang kertas
bisa menampilkan perempuan pengarang, pelukis, pemusik, atau pencipta tari,
seperti dr Bulantrisna Djelantik. Kita juga perlu terus mengangkat
tokoh-tokoh perempuan seperti SK Trimurti dan Ruhana Kuddus untuk menegaskan
bahwa Indonesia dibangun oleh kerja sama perempuan dan laki-laki. Adanya desain uang yang tidak memihak
perempuan ini tidak berarti BI telah sengaja meminggirkan perempuan. BI
adalah korban dari budaya patriarki yang mengalir dalam tiap denyut interaksi
sosial kita. Budaya ini mewajarkan laki-laki mendominasi politik dan ekonomi
formal, sementara tugas perempuan dibatasi di dapur, melahirkan anak, dan
menghibur laki-laki. Tanpa sadar, BI dan masyarakat kita telah meminggirkan
perempuan karena budaya patriarki ini sudah lama, turun-temurun. Oleh karena budaya patriarki mewajarkan
pembagian peran jender yang kaku, kita tidak lagi mempertanyakan peran
jender. Kita tidak lagi mempertanyakan kerugian yang ditanggung masyarakat
akibat minimnya peran laki-laki dalam pengasuhan anak dan sedikitnya peran
perempuan di dunia kerja. Padahal, penelitian McKinsey di tahun 2015
mengatakan bahwa meningkatnya keterlibatan perempuan dalam bisnis akan
membawa gagasan dan bakat-bakat baru yang menggenjot profit. Implikasinya,
bisnis harus menciptakan lingkungan kerja yang ramah untuk perempuan,
termasuk menyediakan cuti haid dan cuti hamil yang memadai serta cuti
kehamilan istri untuk suami. Namun, desain uang ini bukan sekadar
masalah simbol, melainkan juga soal sains kognitif. Dalam psikologi sosial,
perilaku manusia cenderung meniru sekelilingnya. Manusia, secara alami, lebih
termotivasi untuk mengikuti jejak orang yang karakteristiknya mirip dengan
diri mereka. Contohnya, riset selama empat dekade menunjukkan bahwa perempuan
cenderung lebih mudah mempelajari keterampilan baru jika diberi contoh oleh perempuan
yang sukses. Dengan kata lain, partisipasi produktif
perempuan di masyarakat dan dunia kerja bisa bertambah jika kita banyak
melihat kiprah produktif perempuan. Memang, memperbanyak contoh bukanlah
satu-satunya strategi. Masyarakat juga perlu mendorong pembagian
tugas domestik rumah tangga yang adil antara suami dan istri. Pemerintah dan
dunia bisnis harus menciptakan lingkungan kerja yang ramah terhadap
perempuan. Aktivis perempuan telah memperjuangkan ini selama puluhan tahun
dan kita harus terus mendukung mereka. Akan tetapi, yang tidak kalah penting
adalah menggaungkan contoh kesuksesan perempuan untuk menginspirasi anak-anak
bahwa mereka punya pilihan karier yang beragam, mulai dari menjadi tokoh
penting di masyarakat hingga menjadi ibu/ayah rumah tangga yang mengasuh
anaknya. BI bisa menggaungkan kesuksesan perempuan
dengan redesain uang kertas yang mewakili peran besar perempuan dalam sejarah
Indonesia. Redesain ini akan mendobrak paham usang dan sekaligus memenuhi
janji kebinekaan di setiap lembar uang rupiah: bahwa Indonesia beragam dalam
etnis, suku, dan juga dalam peran jender. Dengan redesain ini, BI akan menginspirasi
generasi muda bahwa kesempatan untuk berkarya di negara ini terbuka luas
untuk semua jender. Sekaligus mendukung pelaksanaan pembangunan yang
responsif jender. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar