Ibu
Saya Kartini Putu Fajar Arcana ; Penulis
Kolom “Sosial Budaya” Kompas |
KOMPAS, 21 April 2021
Jika dibandingkan Raden Ajeng Kartini, ibu
saya bukan siapa-siapa. Ni Nyoman Loten cuma pensiunan guru sekolah dasar,
pernah menjalani hidup sebagai petani, kini berdagang kecil-kecilan di pasar
desa. Ia lahir tahun 1939, artinya usianya kini sudah mencapai 82 tahun! Harus diakui, ini usia yang sangat sepuh
untuk seseorang yang masih terus berjuang dari pukul empat subuh sampai sore
hari. Ia akan bersungut-sungut, jalan setapak demi setapak mencapai pasar
desa yang jaraknya kira-kira 1 kilometer. Sekitar pukul 10.00 ia sudah
kembali ke rumah. Bukan untuk beristirahat, tetapi meneruskan pekerjaannya
membuat jajan-jajan khusus untuk upacara. Siang hari ia biasa tidur sejenak, 15-30
menit. Sesudahnya bangkit kembali membuat adonan kue, seperti jaje begine,
jaje kaliadrem, atau jaje uli. Semua untuk upacara. Terkadang ia juga
berjualan telur yang dibelinya dari para pemasok dari sejumlah daerah. Mungkin karena kesibukannya, ia tak peduli
tubuhnya yang kian hari kian bongkok. Tulang belakangnya melengkung ke
samping sehingga kalau mengenakan kebaya, tampak tidak simetris. Sehari sebelum Galungan, menantunya, Ratna
Sari Dewi, membelikannya baju kebaya warna putih di Denpasar. Ia pikir,
mertuanya sudah waktunya berganti kebaya untuk persembahyangan nanti.
Ukurannya sudah tepat. Tetapi ia lupa, bahwa tubuh mertuanya yang kian
bongkok membutuhkan ukuran pakaian yang benar-benar harus mengikuti bentuk
tubuhnya. Alhasil ketika dicoba, kebaya berenda
bunga-bunga itu tampak terlalu sempit pada bagian pinggul. Kancingnya jadi
terlihat terlalu kencang. ”Saya lupa badan Mbah makin melengkung ke samping.
Mungkin karena kebiasaan menggoreng kue di dapur selama berjam-jam,” ujar
Ratna. Akhirnya, ibu kembali mengenakan kebaya
brokat warna kuning yang dipakainya tahun lalu. ”Pakai yang lama juga ndak
apa-apa,” katanya. Saya berpisah dengan ibu tahun 1984, ketika
harus melanjutkan pendidikan di Kota Denpasar. Meski setiap saat pulang
kampung, terutama jika ada hari raya atau upacara, saya tidak lagi saksama
mengikuti perkembangan kesehatan ibu. Secara fisik ia nyaris tak pernah sakit. Ia
tipe perempuan pekerja yang tak kenal menyerah, terutama dalam memperjuangkan
masa depan anak-anaknya. Kami akhirnya makin berjarak, ketika saya dan
keluarga harus memulai tugas di Pulau Jawa tahun 1999. Bahkan tahun 2001,
saya mulai bertugas di Jakarta. Perhatian kepada ibu hanya saya lakukan
lewat telepon. Kalau kami bertanya tentang kesehatannya, ibu selalu
menjawab,”Sehat.” Ia hanya selalu mengingatkan, vitaminnya sudah hampir
habis. Dan dengan sigap seperti biasa, menantunya, memesankannya. Ketika kami pulang kampung untuk merayakan
Galungan, 14 April 2021 lalu, irama hidup ibu nyaris tak berubah. Hanya
pendengarannya yang sudah jauh menurun serta itu tadi, tubuhnya yang kian
bongkok seperti ditindih usianya yang makin menua. Saat memandangnya tidur di balai-balai yang
kami buat khusus untuk upacara, wajahnya teduh. Gurat-gurat keriput wajahnya
seperti penanda bahwa perempuan ini tak kenal lelah, apalagi menyerah. Suatu hari menjelang saya kuliah, ibu
datang ke sebuah koperasi guru yang pengelolanya masih bersepupu dengan
bapak. Mereka sama-sama guru. Hanya saja, sepupu bapak sekira tahun 1984 itu
sudah jadi penilik sekolah. ”Kalau kamu kemari pasti mau pinjem uang
kan?” kata sepupu itu. Ibu hanya senyum kecil mendengarkan sapaan,
yang saya pikir kurang berkenan di hatinya. ”Kalau
miskin, tak perlu sekolahkan anak sampai tinggi-tinggi,” tiba-tiba
kata sepupu itu lagi. Lagi-lagi ibu hanya senyum. Aku yang
mengantarkannya ingin menjawab, tetapi ibu memberi isyarat untuk diam saja. ”Saya saja yang sudah jadi penilik sekolah,
paling nanti hanya sekolahkan anak di akademi saja. Kuliah tinggi dan jauh
hanya habiskan biaya, ya kalau dapat kerja, nanti ujung-ujungnya
pengangguran…. Utangmu akan tambah banyak,” katanya. Rasanya sepupu bapak ini
jadi semakin tak terkendali. Muka ibu merah padam. Saya yakin ia merasa
terhina. Sekali lagi, sebagai seorang guru rendahan dan petani kecil, ibu
merasa tak sepadan kalau berdebat dengan sepupu Bapak. Ia hanya buru-buru
minta staf administrasi kantor koperasi guru itu membereskan permohonan
mengajukan pinjaman uangnya. Saya ingat ibu hanya meminjam uang sebesar
Rp 100.000. Sebagian besar akan kami gunakan untuk membayar SPP kuliahku
sebesar Rp 63.000, sisanya untuk biaya kamar kos-kosan, buku, dan memulai
hidup di Denpasar. Semua pinjaman itu dipotongkan dari gaji
ibu, yang belakangan saya tahu sudah minus. Artinya, ibu justru tidak
mendapatkan gaji, ia bahkan harus membayar angsuran dari hasil bertanam padi
dan palawija di atas tanah garapannya. Kebetulan seorang paman ibu berbaik hati
memberi kami sawah garapan. Ibu, bapak, dan saya bahu-membahu mengolah sawah
untuk mempertahankan hidup kami. Ketika kami pulang dari kantor koperasi,
ibu tak mengatakan apa-apa. Kira-kira seminggu kemudian saat mengantarkan
saya mencari rumah kos di Denpasar, ibu bilang, ”Ingat, penghinaan itu adalah
kekuatan, penindasan itu adalah bahan bakar.” Waktu itu aku belum memahami
sepenuhnya konteks nasihat ibu. Belakangan ketika membaca surat-surat RA
Kartini, saya menemukan kutipan ini: ”Belajar pada usia yang matang ada
pulalah keuntungannya. Kami sekarang mengerti jauh lebih baik dan memahami
segala sesuatunya. Dan banyak hal yang dulu mati sekarang menjadi hidup. Kami
tertarik terhadap sangat banyak hal yang dulu tidak kami pedulikan,
semata-mata hanyalah karena kami tidak mengerti. Alangkah bahagia kami,
apabila sekarang ada seseorang yang dapat menerangkan hal-hal yang sangat
menarik itu kepada kami. Guru-guru yang diam itu sekarang harus menjawab
semua pertanyaan kami…” (Sulastin Sutrisno, Surat-surat Kartini: Renungan
tentang dan untuk Bangsanya). Saya yakin ibu tahu perihal RA Kartini,
tetapi saya tidak yakin dia membaca buku Habis Gelap Terbitlah Terang yang
berisi himpunan surat-surat Kartini. Surat-surat berbahasa Belanda yang
dihimpun oleh JA Abendanon, Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia
Belanda tahun 1911 itu, menjadi kesaksian perjuangan Kartini. Lewat
surat-surat itu, Pemerintah Hindia Belanda tahu bahwa perempuan juga butuh
kesetaraan, terutama dalam soal memperoleh pendidikan. Kartini tidak berteriak, apalagi memanggul
bambu runcing untuk berjuang bersama di medan laga. Ia menulis surat kepada
orang-orang Belanda, para sahabatnya, untuk mengabarkan penindasan,
ketidakdilan, serta perlakuan diskriminatif terhadap kaum perempuan di Jawa. Jika surat-surat Kartini kemudian mengubah
kebijakan Pemerintah Hindia Belanda di tanah jajahan, ibu saya tidak menulis
surat di atas kertas. Ia menulis surat-surat lewat lelaku hidup. Suatu hari
ia katakan, ”bekerja itu cara belajar terbaik”. Meski berprofesi sebagai guru, ia guru dari
masa lalu. Bahwa buku teks penting untuk memenuhi target kurikulum, tetapi
buku terbaik dalam hidup adalah pengalaman. Jadi, ibu memberi dan mengajarkan
pengalaman. Oleh sebab itulah, sejak kecil ia selalu mengajakku ke berbagai
tempat dan pekerjaan. Ia yang menyentuhku dengan mengatakan,
”Bapak benar, kamu harus turun ke sawah untuk mengerti tentang padi.” Ia
tidak mengatakan itu ajarannya, tetapi senantiasa mengatakan itu permintaan
bapak. Pada padi kemudian aku mengerti tentang
banyak hal. Padi bukan cuma soal ilmu biologi, tetapi sebuah tradisi yang
telah membangun peradaban beribu-ribu tahun. Padi diperlakukan dengan hormat,
karena ia telah memberi hidup manusia dari generasi ke generasi. Bahkan dari padanya telah lahir pula, apa
yang kau kemudian kenal dengan tradisi agraris, dengan segala turunan
pengetahuannya. Jika kau ingin bertanam tentang padi, kau tak cukup hanya
mengerti tentang membibit, menanam, merawat, dan memanen, tetapi kau harus
paham tentang musim. Artinya, untuk bertanam padi dan
mendapatkan hasil yang baik, kau harus mengenal kapan musim hujan dan kapan
musim kemarau. Bahkan di desaku, disuratkan dalam lontar kapan hari baik dan
kapan hari buruk untuk menanam padi. Jadi, kau juga harus belajar tentang
wariga, sebuah ilmu astronomi tradisional yang diwariskan oleh leluhur saya
sampai hari ini. Semua itu seperti lembar-lembar surat yang
digoreskan ibu ke sekujur tubuh saya. Bahkan kini ketika usianya sudah sangat
sepuh, ia masih terus menulis. Ia memang perempuan nekat, yang tak kenal
lelah. Satu kutipan yang amat dalam membekas dalam
hatiku berbunyi, ”Tong ngelah karang sawah, karang awake tandurin”. Syair itu
ditulis dalam Geguritan Salampah Laku karya Ida Pedanda Made Sidemen (1858-1984).
Artinya, jika kau tidak memiliki tanah sawah, maka tanamilah dirimu sendiri. Kalimat ini bermakna sangat dalam.
Kemiskinan tak dapat mengalahkanmu untuk terus memperoleh pengetahuan. Bahkan
jika kau sama sekali tidak memiliki harta apa pun dalam hidupmu, pengetahuan
akan memberimu jalan terang untuk menatap kehidupan di depan secara lebih
baik. Lagi-lagi saya yakin, ibu tak pernah
mendengar nama wiku besar seperti Ida Pedanda Made Sidemen. Ibu cuma seorang
pensiunan guru sekolah dasar yang sederhana. Buku bacaannya tidak banyak,
cukup buku-buku pelajaran sebagaimana disyaratkan dalam kurikulum. Ia tidak
sepandai bapak dalam mengakses pengetahuan lewat lontar-lontar. Namun begitu, laku hidupnya telah menjadi
buku tebal yang barangkali tak habis-habisnya saya baca. Setiap saat sampai
kini ia masih terus menulis, berjilid-jilid, dan saya menjadi pembaca yang
selalu terlambat. Entah kapan saya bisa menuntaskannya.
Semoga ia dikarunia usia panjang dan dari padanya saya bisa terus belajar
membaca, terus membaca, sampai benar-benar paham menjadi orang baik seperti
dirinya. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar