Riset
dan Inovasi di Simpang Jalan Yanuar Nugroho ; Penasihat
Centre for Innovation Policy & Governance; Anggota ALMI; Visiting Senior
Fellow ISEAS Singapura; Deputi II Kepala Staf Kepresidenan RI 2015-2019 |
KOMPAS, 15 April 2021
Rapat Paripurna DPR (9/4/2021) menyetujui
permintaan Presiden Joko Widodo lewat surat Nomor R-14/Pres/03/2021 tentang
Pertimbangan Pengubahan Kementerian. Hasilnya: selain membentuk Kementerian Investasi,
sebagian tugas dan fungsi Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek)
digabungkan ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menjadi
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
(Kemendikbud-Ristek). Adapun Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang
selama ini menyatu dengan Kemenristek akan menjadi badan otonom. Eksekusinya? Tinggal menunggu pengumuman
Presiden. Memang sejak dibentuk, kementerian yang
menangani urusan riset berulang kali berubah. Pertama, Kementerian Urusan
Riset Nasional (1962), lalu menjadi Kementerian Negara Riset (1973),
Kementerian Negara Riset dan Teknologi (1986), Kemenristek (2004),
Kemenristek dan Pendidikan Tinggi (2014), Kemenristek/BRIN (2019), dan
akhirnya dibubarkan (2021). Bubar? Iya. Karena praktis penggabungan
fungsi ristek ke Kemendikbud berarti tak ada lagi kementerian yang secara
khusus menangani urusan riset. Apalagi, jumlah kementerian dibatasi hanya 34
oleh UU Kementerian Negara. Kemenristek tampaknya ”dikorbankan” demi Kementerian
Investasi. Dinamika Sebagian menanggapi positif perkembangan
ini, sebagian lagi tak terlalu optimistis—jika bukan pesimistis, atau malah
sinis. Bisa dimengerti: akarnya mungkin karena perubahan ini menunjukkan
tiadanya, atau lemahnya, visi pemerintah tentang peran riset dan inovasi
dalam pembangunan. Perkecualiannya, barangkali, hanya saat BJ Habibie menjadi
Menristek di era Orde Baru. Lalu, sejak Orde Baru tumbang, praktis
wacana tentang ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) absen dari ruang
publik. Bahkan dalam rencana pembangunan sejak Reformasi hingga 2014 (artinya
sejak Presiden Gus Dur, Megawati, hingga SBY), riset dan iptek—dan lalu
inovasi—tidak pernah sungguh menjadi prioritas. Yang ada hanya perubahan
nomenklatur kementerian. Situasi ini ternyata juga relatif tak
berubah hingga pemerintahan Presiden Jokowi. Padahal, saat Kabinet Kerja
terbentuk, ada optimisme besar ketika fungsi pendidikan tinggi digabungkan ke
dalam Kemenristek. Langkah ini dipandang tepat untuk kembali mengarusutamakan
riset, teknologi, dan inovasi yang secara substansi memang lebih dekat pada
pendidikan tinggi. Apalagi, rencana Presiden memajukan Indonesia lewat
Nawacita dan visi Indonesia 2045 mensyaratkan riset dan inovasi. Namun, barangkali harapan ini terlalu besar
untuk disangga oleh realitas tata kelola riset dan inovasi kita. Jalannya
riset lebih ditentukan oleh ad hoc-ism: serba mendadak, serba tergesa,
impulsif, tidak berdasarkan rencana, apalagi strategi. Prioritas Riset
Nasional (PRN) dan Rencana Induk Riset Nasional (RIRN) tidak pernah sungguh
menjadi acuan. Akibatnya, Kemenristek-Dikti pun mengalami kesulitan. Maka, pada periode kedua, Presiden Jokowi
mengembalikan urusan Dikti ke Kemendikbud, sedangkan Kemenristek digabungkan
dengan BRIN yang pembentukannya merupakan amanat UU No 11/2019 tentang Sistem
Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas Iptek) menjadi
Kemenristek/BRIN. BRIN diharapkan menjadi dirigen seluruh riset dan inovasi
untuk pembangunan. Namun, hingga 16 bulan sejak Kabinet Indonesia
Maju dilantik, Kemenristek/BRIN tidak kunjung punya struktur. Rumornya: ia
tersandera kepentingan politis yang menginginkan adanya Dewan Pengarah dan
struktur yang masif, yang tidak bisa dipenuhi selama BRIN masih menyatu
dengan Kemenristek. Jadi, langkah Presiden yang didukung DPR
untuk memisahkan Kemenristek dari BRIN, membubarkan Kemenristek dengan
menggabungkannya ke dalam Kemendikbud, dan menjadikan BRIN badan otonom,
seolah menegaskan dan membenarkan rumor itu. Bagi mereka yang sungguh paham peran riset
dan inovasi dalam pembangunan, langkah ini amat sulit diterima dan tidak
masuk akal. Jelas, ini jalan keluar politis. Tapi, tentu kita tahu, meski tak
bisa lepas dari politik, riset dan inovasi pertama-tama dan terutama justru
bukan soal politik. Karena itu, daripada meratapi keputusan ini, lebih baik
dipikirkan konsekuensi dan implikasinya agar bisa diantisipasi dan, jika
perlu, dimitigasi dampaknya. Konsekuensi
dan tantangan Prinsip mengelola konsekuensi dan implikasi
ini adalah memastikan tata kelola riset, iptek, dan inovasi terbangun dan
berjalan dengan baik. Dari kacamata kebijakan publik, tata kelola ini
mensyaratkan pemisahan antara kebijakan dan implementasi. Dari sini,
setidaknya dua konsekuensi segera terlihat. Pertama, fungsi kebijakan riset dan inovasi
yang dulunya ada di Kemenristek kini menjadi tanggung jawab
Kemendikbud-Ristek. Tugas paling mendesak sebenarnya adalah menyelesaikan
aturan turunan UU Sisnas Iptek, yang tenggatnya Agustus 2021 ini. Tugas
berikutnya adalah menata kebijakan untuk mengorkestrasi riset dan inovasi
sebagai tulang punggung pembangunan. Memang, berbagai prioritas nasional dan
rencana legacy Presiden Jokowi mesti ditata secara strategis riset dan
inovasinya. Mulai dari infrastruktur, ibu kota negara baru, vaksin
Merah-Putih dan Nusantara, peta jalan kendaraan bermotor listrik, hingga
reformasi birokrasi. Mungkin masih banyak lagi. Tapi, yang terpenting,
memastikan lewat kebijakan agar riset dan inovasi terencana dan punya
strategi. Bukan sekenanya, apalagi seadanya, karena serba mau cepat dan
tergesa-gesa. Di sini, tugas mahaberat ada di pundak
Kemendikbud-Ristek. Barangkali hanya di negeri ini ada kementerian dengan
tanggung jawab kebijakan seluas ini: dari hulu (pendidikan usia dini, dasar,
menengah, dan pembentukan karakter-budaya) sampai ke hilir (vokasi,
pendidikan tinggi, riset, teknologi, dan inovasi). Tampaknya Presiden perlu
memikirkan bagaimana semua kebijakan ini dikelola Kemendikbud-Ristek. Karena,
risikonya, bisa-bisa pendidikan, ristek, dan inovasi berjalan
setengah-setengah, atau malah berantakan. Kedua, fungsi implementasi riset dan
inovasi mesti menjadi fokus BRIN, yang menurut UU No 11/2019 tugasnya
menjalankan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta
invensi dan inovasi yang terintegrasi. Karena itu, yang paling mendesak
adalah segera menyusun organisasi BRIN, yang sejak dibentuk lewat Perpres No
74/2019 tak juga kunjung selesai. Tantangannya besar. Karena, menurut
rencana, semua lembaga pemerintah nonkementerian (LPNK) ristek, seperti
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi (BPPT), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Badan
Tenaga Nuklir Nasional (Batan), dan Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten),
serta badan/unit penelitian dan pengembangan (litbang) di kementerian dan
lembaga (K/L) akan diintegrasikan ke dalam BRIN sesuai Pasal 48 UU tersebut. Tantangan ini perlu segera diatasi karena
struktur BRIN mesti ditetapkan agar bisa beroperasi. Struktur ini harus mencerminkan
profesionalisme dan mewadahi kepentingan riset dan inovasi. Misalnya,
organisasinya harus lincah; para deputinya harus diisi profesional riset dan
inovasi dari bidangnya, bukan semata PNS; mekanisme koordinasi harus efektif.
Ini penting karena BRIN akan jadi ”rumah” bagi peneliti, akademisi, ilmuwan,
dan inovator negeri ini. Mesti diingat, BRIN adalah pelaksana. Jadi,
jangan menambahkan fungsi kebijakan pada BRIN dengan alasan apa pun. Misalnya
dalih karena terlalu banyak kebijakan di Kemendikbud-Ristek, atau karena
kemungkinan adanya Dewan Pengarah yang santer dibicarakan. Sebab, penyatuan
kebijakan dengan implementasi, apalagi ditambah pengawasan, melanggar prinsip
tata kelola yang baik dan rentan penyelewengan kekuasaan. Selain soal peran, tantangan di depan mata
adalah administrasi. Belajar dari penggabungan atau pembentukan K/L baru
selama ini, akan butuh waktu untuk menata anggaran dan struktur organisasi
dan tata kerja (SOTK). Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP),
Badan Restorasi Gambut (BRG), bahkan Kemenristek-Dikti butuh lebih dari
setahun sebelum bisa beroperasi sepenuhnya. Nasib Kemendikbud-Ristek dan BRIN
pun mungkin tidak akan jauh berbeda. Peleburan Kemenristek ke Kemendikbud
pasti punya konsekuensi organisasi yang panjang. Selain itu, integrasi LPNK
Ristek dan litbang K/L ke BRIN juga tidak gampang. Situasi ini mesti diantisipasi sejak
sekarang untuk menghindari kekosongan tata kelola ristek dan inovasi yang
akan berdampak tidak hanya pada peneliti, ilmuwan, dan pelaku inovasi, tetapi
juga pada seluruh kinerja riset dan inovasi negeri. Riset dan inovasi bukan hanya sentral untuk
menangani pandemi saat ini dan memulihkan ekonomi, ataupun mewujudkan visi
politik Presiden Jokowi, melainkan kunci untuk menggapai mimpi Indonesia Maju
yang dicita-citakan itu. Presiden sendiri, kalau perlu, mesti memastikan
anggaran dan SOTK Kemendikbud-Ristek dan BRIN selesai tahun ini juga agar
mereka bisa segera bekerja. Ekosistem
pengetahuan dan inovasi Sepanjang 2020, Kemenristek/BRIN, Kementerian
PPN/Bappenas, dan Kemepan dan RB melibatkan lebih dari 15 kementerian/lembaga
(termasuk Kemendikbud) menyusun dan merampungkan Cetak Biru Ekosistem
Pengetahuan dan Inovasi (EPI, 2020). Cetak biru ini bukan dokumen kebijakan
publik dan tidak punya status hukum, melainkan disepakati menjadi salah satu
referensi bagi pemerintah dalam membangun EPI. Dan memang diputuskan cetak
biru ini diimplementasikan mulai 2021, dikomandani Kemenristek/BRIN didukung
Kementerian PPN/Bappenas dan Kementerian PAN-RB. Argumen utama cetak biru ini: satu-satunya
jalan mewujudkan mimpi Indonesia 2045 adalah dengan transformasi ekonomi—dari
ekonomi berbasis komoditas menjadi ekonomi berbasis pengetahuan dan
inovasi—dan itu dilakukan dengan membangun EPI. Ini pun sejalan arahan
Presiden Jokowi. Maka, bersama Bappenas dan Kemenpan dan RB,
Kemendikbud-Ristek dan BRIN bisa menjadi komandan ”baru-tapi-lama”
implementasi Cetak Biru EPI, sekaligus menjadikannya salah satu rujukan
menata riset dan inovasi di Tanah Air. Karena, jika terwujud baik, EPI tidak hanya
akan meningkatkan daya saing bangsa lewat komersialisasi dan hilirisasi riset
dan inovasi, tetapi kebijakan publik juga akan makin berkualitas karena
dibuat berdasar bukti dan pengetahuan. Kualitas ASN dan kinerja institusi
pemerintahan makin baik karena kapasitas negara meningkat. Memang mewujudkan EPI tidak gampang dan
butuh waktu. Namun, itu prasyarat kalau Indonesia mau maju. Sejarah sudah ditorehkan. Mungkin kita
sedang ada di simpang jalan: entah seperti apa keputusan tentang ristek dan
inovasi ini akan dikenang oleh anak cucu kita nanti. Yang kita tahu, negeri
yang besar akan bertahan dengan ilmu; tanpa itu, ia sirna ditelan masa. Semoga keputusan ini tidak menandakan
matinya keberpihakan negara pada riset dan inovasi. Semangat peneliti dan
ilmuwan kita mesti terus dirawat agar tidak berhenti mencintai negeri ini dan
terus berkarya lewat ilmu dan inovasi. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar