Beras
dan Politik Elementer Bangsa Fachry Ali ; Salah satu pendiri
Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha (LSPEU Indonesia) |
KOMPAS, 23 April 2021
Polemik impor beras sejuta ton belum lama
ini mengingatkan pada dua tulisan saya di "Kompas" abad lalu.
Tulisan pertama, terbit pada 30 November 1978, berjudul “Menjadikan Desa
Sebagai Guru Orang Kota”. Tulisan ini mendapat penghargaan utama Persatuan
Sarjana Ekonomi Pertanian (Perhepi) di bawah kepemimpinan Prof Mubyarto
(1938-2005). Kedua, persis dua tahun kemudian, yaitu 12
November 1980, Kompas menerbitkan tulisan saya: “Urbanisasi: Wadah Mobilitas
Vertikal Massa Miskin Kota?” Kedua tulisan yang telah berumur lebih dari 40
tahun itu membicarakan premis yang hampir sama. Judul tulisan pertama, “Menjadikan Desa
Sebagai Guru Orang Kota”, sebenarnya sebuah “sindiran”. Teknokratisme sedang
dominan kala itu. Mereka yang, kata Michel Foucault (1926-94), dalam
ceramahnya pada 1967, “mempunyai kartu permainan.” Dan, seperti dikutip
Sharon D Welch di “The Lush Life: Foucault’s Analytics of Power and a Jazz
Aesthetic” (2001), “would allow a definition of what ‘happiness’ of man.” Dalam tulisan 1978 itu, tentu saya belum
membaca buku Patrick Allan Sharma, Robert McNamara’s Other War: The World
Bank and International Development (2017), yang menyebut adanya kedekatan
McNamara (1916-2009), ketika menjadi menteri pertahanan AS di masa Presiden
Lyndon B Johnson (1908-73), dengan Indonesia. Pada 1978 itu saya sudah menyitir pidatonya
sebagai presiden Bank Dunia di Nairobi, yang mendeklarasikan arah baru
program kredit Bank Dunia yang lebih terfokus pada pembangunan desa dan
pertanian. Pidato ini mengubah arah pembangunan negara
berkembang, termasuk Indonesia. Anjuran saya “Menjadikan Desa Sebagai Guru
Orang Kota” bersentuhan dengan arah baru kebijakan Bank Dunia di bawah
McNamara. Tulisan kedua, “Urbanisasi sebagai Wadah
Mobilitas Vertikal Massa Miskin Kota” menceritakan bagaimana modernisasi
pedesaan telah mengubah struktur hubungan sosial di kawasan itu. Karena elite desa lebih diuntungkan melalui
modernisasi dan mekanisasi pertanian, hubungan patron-client yang berlaku
sebelumnya “terkoreksi”. Karena mental elite desa, yaitu petani pemilik tanah
“luas”, melalui mekanisasi pertanian itu, mulai mengarah pada mekanisme
pasar, kaum buruh-tani tanpa tanah kehilangan “perlindungan sosial”. Urbanisasi, dengan demikian, satu-satunya
jalan keluar pihak terakhir. Kota-kota besar, yang menampung proses urbanisasi
itu, memberi tempat artikulasi ekonomi bagi mereka: sektor informal. Dalam
daya kinerja mereka sektor terakhir inilah saya di 1980 itu, secara
spekulatif menyatakan adanya potensi mobilitas vertikal massa miskin kota. Ternyata, puluhan tahun kemudian, seperti
saya lukiskan dalam “Aktor Ekonomi Akar Rumput” (Kompas, 17/4/2015),
“mobilitas vertikal” massa miskin kota itu hanya terjadi secara ekstra
perlahan. Contoh ekstremnya adalah perempuan setengah baya penjual es buah
yang dipanggil Bude di Pasar Cibubur. Berasal dari Klaten, Jawa Tengah, Bude
menantang Jakarta awal 2000-an. Ia hanya mampu menyewa kamar seharga Rp
25.000 per bulan. Setelah 12 tahun, melalui serangkaian
peralihan komoditas yang dijual, sampai 2015 Bude berhasil menyewa kamar
seharga Rp 350.000 per bulan. Baginya, kemampuan menyewa kamar seharga itu
“prestasi” luar biasa. Tetapi, sejatinya, ini ritme mobilitas
vertikal massa miskin kota yang bukan saja supra lamban, melainkan “merosot”,
karena tiga tahun kemudian, Maret 2018, Bude tak lagi mampu menyewa kios di
Pasar Cibubur. Tragisnya, pada 2019, Bude meninggal dunia di Klaten. Pasca-“urbanisasi
tanpa industrialisasi” Dua fenomena sosial-ekonomi di atas
terpersatukan oleh apa yang saya sebut periode pasca-“urbanisasi tanpa industrialisasi”.
Ini terinspirasi dari frasa Clifford Geertz (1926-2006), urbanization without
industrialization (urbanisasi tanpa industrialisasi). Dalam bukunya,
Agricultural Involution (1962), Geertz melihat masalah besar yang menekan
wilayah desa Jawa dan kota sekaligus. Tanpa ada kemungkinan land supply (tawaran
tambahan tanah), pertumbuhan pesat penduduk di pedesaan Jawa yang telah
berlangsung beberapa abad lalu telah menyebabkan agricultural involution
(involusi pertanian). Yakni sebuah perkembangan dunia sawah yang “melipat ke
dalam”, menyerap pertumbuhan penduduk, sebesar apapun, ke dalamnya. Situasi
struktural inilah yang melahirkan frasa Geertz terkenal: shared poverty
(kemiskinan yang terbagi) di kalangan masyarakat desa Jawa. Ini ironi karena pada saat yang sama
wilayah kota tak mampu menampung kelebihan penduduk pedesaan itu secara
produktif. Masih kuat dipengaruhi colonial mode of production (modal produksi
kolonial) yang bertelekan pada sektor ekspor hasil pertanian dan ekstraktif
sejak 1830, industrialisasi tak berkembang di wilayah kota. Sampai
Agricultural Involution diterbitkan awal 1960-an, yang terjadi di Indonesia
adalah “urbanisasi tanpa industrialisasi”. Akan tetapi, akhir 1970-an dan awal
1980-an, seperti direkam dengan rapi oleh buku suntingan Anne Booth dan Peter
McCawley, The Indonesian Economy During the Soeharto Era (1981), pembangunan
ekonomi Orde Baru (1967-1998) telah bergerak ke dalam dua arah. Sementara
dunia pertanian perdesaan mengalami modernisasi dan mekanisasi, pada saat
yang sama industrialisasi atau lebih tepat manufakturisasi berlangsung di
perkotaan. Efeknya, kehidupan sosial-ekonomi kawasan
perkotaan memasuki periode “pasca-urbanisasi tanpa industrialisasi”. Semua
ini bukan saja menyebabkan relatif terkikisnya pengaruh colonial mode of
production dalam perekonomian Indonesia, melainkan mendorong perubahan
struktur ekonomi. Ini ditandai oleh kian bertambahnya sumbangan sektor-sektor
non-pertanian (manufaktur, perdagangan dan jasa) ke dalam produk nasional
bruto, dan mengecilnya sumbangan sektor pertanian. Semua ini mendorong urbanisasi masif,
terutama di Jawa. Di samping urbanisasi “tradisional”, yaitu mereka yang
“terlempar” dari pedesaan karena terdesak modernisasi dan mekanisasi
pertanian, proses urbanisasi ini digenapkan oleh akselerasi pendidikan di
kawasan yang sama. Anak-anak desa yang kian terdidik bukan
saja memerlukan tingkat pendidikan lanjutan, hingga ke tingkat perguruan
tinggi. Melainkan, seperti pernah disinggung penyair WS Rendra (1935-2009)
dalam “Sajak Seonggok Jagung”, telah membuat mereka tak “relevan” dalam
kehidupan ekonomi desa, kecuali tertampung dalam sektor manufaktur dan
lainnya di perkotaan. Efek samping ekonomi yang diakibatkannya
adalah kota-kota besar menjadi pusat peredaran uang. Maka, penduduk kota kian
lama kian besar. Mereka adalah gabungan dari urbanisasi “tradisional”, kaum
Bude penjual es buah di atas, dan kaum muda yang kian terdidik, yang
keterampilan mereka lebih cocok digunakan di dalam okupasi-okupasi
non-pertanian di wilayah perkotaan. Beras
dan politik inflasi Sampai di sini, ketersediaan beras jadi
persoalan eksistensial. Proses urbanisasi masif bukan saja telah menyebabkan
terjadinya penyebaran demografis yang lebih besar ke wilayah perkotaan,
melainkan juga adanya historical bottleneck pola dan distribusi kepemilikan
tanah di kawasan pedesaan Jawa. Ini berkaitan, seperti dinyatakan Ong Hok
Ham dalam Madiun dalam Kemelut Sejarah: Priyayi dan Petani di Keresidenan
Madiun Abad XIX (2018), dengan sistem pajak kolonial Belanda yang, pada abad
ke-19, lebih mendorong kepemilikan tanah secara komunal daripada peorangan. Sebagai akibatnya, tanah-tanah milik
pribadi hanya merupakan bagian-bagian kecil. Ditambah pesatnya pertumbuhan
penduduk, melalui sistem warisan, kepemilikan rakyat desa akan lahan bercocok
tanam kian jadi pecahan-pecahan kecil. Maka, seperti yang saya lihat bersama
antropolog Aris Arif Mundayat di desa Kemusuk, Yogyakarta, pada 1999, walau
subur dan memiliki sistem irigasi bagus, petani desa tempat Soeharto lahir
itu, hanya mampu memproduksi padi untuk dikonsumsi selama tiga bulan. Itu artinya bukan saja penduduk kota yang,
melalui proses urbanisasi, kian besar jumlahnya itu membutuhkan pembelian
beras untuk dikonsumsi, melainkan sebagian besar petani di kawasan pedesaan
Jawa, oleh kepemilikan lahan sawah berukuran gurem, terpaksa melakukan hal
yang sama. Hasilnya, semata-mata karena tingginya
pertumbuhan penduduk yang “menyeluruh” antar kawasan geografis, pertambahan
jumlah, menggunakan frasa Geertz, “mulut” untuk mengonsumsi beras jauh lebih
besar daripada kemampuan produksinya pada tingkat domestik. Di sinilah kita melihat logika “politik
inflasi”. Sebagaimana acap kita dengar dalam konferensi pers BPS, beras
dianggap komoditas “berat” dalam perekonomian Indonesia. Dalam arti, karena
sebagian besar struktur pendapatan mayoritas penduduk Indonesia dibelanjakan
untuk porsi pangan, maka kelangkaan beras sangat sensitif terhadap inflasi. Dengan demikian, beras untuk perekonomian
Indonesia termasuk ke dalam apa yang disebut ekonom Irving S Friedman dalam
Inflation: A World-Wide Disaster (1973), “kelebihan permintaan yang menetap”
(chronic excess demand). Permintaan yang senantiasa tinggi terhadap
sebuah komoditas niscaya mendorong naik harganya. Dan setiap kelangkaan beras
dalam struktur chronic excess demand ini bukan saja menaikkan harga komoditas
itu saja, melainkan, karena “berbobot berat”, menarik naiknya harga
komoditas-komoditas lainnya di perkotaan maupun pedesaan. Maka, ketersediaan beras bagi 200 juta
lebih “mulut” secara struktural bergeser dari masalah ekonomi ke masalah
politik-ekonomi, di atas mana legitimasi sebuah kekuasaan dipertaruhkan. Di
samping digunakan “membujuk” penduduk kota di masa Orde Baru, seperti
diungkap William Liddle dalam “The Politics of Shared Growth: Some Indonesian
Cases” (1996), ketersediaan beras secara proporsional berfungsi sebagai
pengendali inflasi. Sebagaimana saya, Imam Ahmad dkk uraikan
dalam Beras, Koperasi dan Politik Orde Baru: Bustanil Arifin 70 Tahun (1996),
inflasi yang berkaitan dengan beras telah jadi momok menakutkan bagi penguasa
Orde Baru. Betapapun kejatuhan kekuasaan Soekarno
(1901-1970) pada pertengahan 1960-an telah berlalu beberapa dekade, trauma
merosotnya legitimasi politik penguasa yang digantikannya itu akibat
hiperinflasi, membekas kuat di ingatan kolektif mereka. Sebab, mereka sadar,
pangkal hiperinflasi ini berasal dari kelangkaan beras. Trauma inilah yang mendorong penguasa Orde
Baru mengefektifkan fungsi Bulog; trauma ini pula yang mendorong Soeharto
(1921-2008) bertekad menciptakan program swasembada beras, yang terwujud di
1984. Pesan
kuat pembangunan pangan Akan tetapi, kita tahu bahwa periode
swasembada beras tidak bertahan lama. Kendati stabil pada 1985-1986, di bawah
serangan musim paceklik pada 1987, keran impor beras kembali dibuka. Dari
sinilah timbul “kesan” bahwa baik karena kebutuhan riil maupun kepentingan
menjaga legitimasi politik sebuah pemerintahan, kebijakan impor beras menjadi
bersifat sine qua non. Di samping suara-suara yang bertebaran di
DPR dan publik, “kesan” inilah yang jadi dasar “polemik” impor beras dewasa
ini. Untuk memberikan kejelasan masalah, Kompas (30/3/2021) perlu menurunkan
dua tulisan atas tema polemik ini: “Candu Impor Pangan”, oleh ekonom Enny Sri
Hartati dan “Impor Beras dan Cadangan Pemerintah” oleh mantan Kabulog Sapuan
Gafar. Jika Sri Hartati berpijak pada data
kuantitatif untuk menolak impor, Sapuan lebih memberikan penjelasan
administratif tentang kapan seharusnya impor dilakukan. Yang kita lupakan, seluruh sejarah
politik-ekonomi Indonesia telah memberikan pesan kuat bahwa politik
pembangunan ekonomi Indonesia sejak dulu, sekarang dan di masa datang
haruslah berpijak pada swasembada pangan, terutama beras. Apa yang kita sebut rice-based economic
development (pembangunan ekonomi berdasarkan beras) akan semakin absah jika
mengingat ketakterelakan pertumbuhan penduduk dan dinamika peta demografi. Yang terakhir ini bukan saja memperlihatkan
fakta kian seimbangnya distribusi penduduk kota dan desa, melainkan, karena
penciutan lahan pertanian akibat tekanan pertumbuhan penduduk, jumlah “mulut”
yang butuh beras di perdesaan sudah pasti bertambah. Hemat saya, pada usaha mewujudkan
rice-based economic development inilah energi politik DPR, “teknokratisme”
aparat negara dan intelektualisme para sarjana pertanian berbagai perguruan
tinggi, harus dikonsentrasikan. Dengan ini, bukan saja ‘ritual” tahunan
“polemik” impor beras menjadi tampak ridicule (menggelikan). Melainkan,
melalui keberhasilan rice-based economic development itu, stabilitas
politik-ekonomi yang paling elementer dapat diciptakan. Sebab, walau mengaku
bangsa besar, bukanlah hal paling elementer ini tak bisa kita pecahkan
sepanjang Indonesia merdeka? ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar