Penghentian
Bantuan Tunai dan Pemulihan Ekonomi Anwar Abbas ; Statistisi Ahli di
Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Palu |
KOMPAS, 22 April 2021
Awal bulan ini, pemerintah melalui Kementerian
Sosial mengumumkan bantuan sosial tunai atau BST akan berakhir April 2021.
Bantuan Rp 300.000 per bulan per keluarga penerima manfaat itu tidak akan
dilanjutkan lagi karena keterbatasan anggaran. Selama ini, pemerintah telah menyalurkan
BST kurang lebih Rp 12 triliun per bulan ke sekitar 10 juta keluarga penerima
manfaat. BST dimaksudkan sebagai dana bantalan untuk membantu masyarakat
miskin dan rentan miskin dalam memenuhi kebutuhan dasarnya selama pandemi
Covid-19. Paling tidak, mereka tak kian terpuruk dalam kemiskinannya. Februari lalu, BPS dalam rilisnya
menyatakan persentase penduduk miskin Indonesia meningkat menjadi 10,19
persen. Ini membuat banyak kalangan mempertanyakan keefektifan bantuan yang
digelontorkan pemerintah, termasuk BST. BPS menyebutkan, bantuan sosial
membantu penduduk, terutama penduduk lapisan bawah. Paling tidak, persentase
penduduk miskin tak melonjak lebih tinggi seperti diprediksi beberapa lembaga
dan organisasi sebelumnya. Pertanyaannya, apakah perekonomian Indonesia
sudah kembali pulih sehingga program BST tak perlu lagi dilanjutkan? Jika
kita mencermati beberapa data, gejala pemulihan ekonomi memang sudah mulai
tampak. Sebut saja data dari IHS Markit tentang Indeks Manajer Pembelian
(PMI) manufaktur Indonesia yang terus bergerak naik beberapa bulan terakhir.
Bahkan Maret 2021 mencapai 53,2 atau tertinggi dalam 10 tahun terakhir. Peningkatan PMI ini berasal dari
pertumbuhan permintaan baru dan produksi. Selama lima bulan berturut-turut
terjadi kenaikan produksi seiring meningkatnya volume permintaan baru dari
pasar domestik. Sementara permintaan dari pasar luar negeri masih terganggu
akibat pandemi. Geliat positif manufaktur ini diharapkan kembali bisa
menyerap tenaga kerja yang banyak sehingga dapat mengurangi penganggur dan
membantu perekonomian masyarakat di tingkat bawah. Data BPS, pada Agustus 2020 terdapat 29,12
juta penduduk usia kerja yang terdampak Covid-19: 2,56 juta menganggur, 1,77
juta sementara tak bekerja, 24,03 juta mengalami pengurangan jam kerja, dan
sisanya 0,76 juta bukan angkatan kerja. Kondisi ini sangat memengaruhi
kehidupan perekonomian masyarakat, dan jadi salah satu faktor naiknya angka
kemiskinan hingga kembali ke dua digit. Ada kekhawatiran, geliat pertumbuhan
positif ini hanya terjadi pada industri-industri besar, sementara UMKM masih
tertatih-tatih. Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) melaporkan selama 2020
sekitar 30 juta UMKM terpaksa gulung tikar akibat pandemi Covid-19. Rencana pemerintah menaikkan plafon kredit
usaha rakyat (KUR) tanpa jaminan dari Rp 50 juta ke Rp 100 juta patut
diapresiasi. Apalagi pemerintah juga mewacanakan menaikkan plafon KUR bagi
UMKM dari Rp 10 miliar ke Rp 20 miliar. Namun, upaya ini tak cukup jika tak
diiringi upaya meningkatkan serapan KUR bagi UMKM yang masih sangat rendah. Kenaikan produksi dan permintaan baru di
manufaktur juga bisa dibaca sebagai indikasi perbaikan konsumsi masyarakat
sejak pandemi. Gejala ini sebenarnya sudah terlihat pada akhir 2020. Dalam
rilis BPS, walau komponen konsumsi rumah tangga masih terkontraksi hingga
minus 2,63 persen, kontraksi tak sedalam triwulan sebelumnya yang minus 4,05
persen. Dari sisi pengeluaran, perekonomian kita sangat besar dipengaruhi
pengeluaran konsumsi masyarakat. Langkah
antisipatif Perlu langkah antisipatif agar penghentian
BST ini tak menggerus konsumsi masyarakat, terutama level bawah. Jika ini
terjadi, angka kemiskinan bisa kembali naik, atau paling tidak membuat
kemiskinan menjadi lebih dalam. Salah satu langkah antisipatif adalah menjaga
stabilitas harga kebutuhan pokok agar tetap bisa dijangkau dan tak
memberatkan masyarakat. Apalagi, selama Ramadhan, diprediksi
permintaan akan beberapa bahan pokok meningkat sehingga memicu kenaikan
harga. Program bantuan pemerintah lainnya, seperti bantuan pangan nontunai
(BPNT), juga perlu diintensifkan dan dipastikan tepat sasaran. Stimulus untuk pelaku-pelaku usaha lain
juga masih perlu terus dilakukan. Sebagai contoh, pelaku usaha di bidang
transportasi, akomodasi, dan restoran yang selama 2020 terkontraksi cukup
dalam. Pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM), pengurangan hari
libur, dan larangan mudik tentu saja akan kian menekan usaha di sektor-sektor
ini. Keberlangsungan usaha di sektor-sektor ini perlu tetap dijaga agar tak
memunculkan gelombang penganggur baru. Pengurangan hari libur dan pelarangan mudik
juga akan berdampak pada terbatasnya peredaran uang dan tertahannya konsumsi
masyarakat menengah atas. Kebijakan ini sangat kontraproduktif dengan
kebijakan insentif Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) kendaraan
bermotor nol persen, yang diharapkan mendorong masyarakat menengah atas beli
kendaraan baru. Perlu diketahui, 80 persen lebih
pengeluaran konsumsi penduduk Indonesia berasal dari pengeluaran penduduk
kelompok menengah atas. Sebanyak 45,49 persen berasal dari kelompok
masyarakat 20 persen teratas, dan 36,93 persen berasal dari pengeluaran
kelompok masyarakat 40 persen menengah. Tertahannya konsumsi kedua kelompok
masyarakat ini sedikit banyak akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi dari sisi
pengeluaran. Perlu dipikirkan cara lebih jitu untuk
mendorong masyarakat ekonomi menengah atas membelanjakan uangnya dan memberi
trickle down effect (efek menetes) bagi masyarakat di level bawah. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar