Humor
di Mata Daniel Dhakidae Darminto M Sudarmo; Pemerhati
Humor dan Co-Founder Institut Humor Indonesia Kini (Ihik3) |
KOMPAS, 17 April 2021
Sejujurnya, tak banyak cendekiawan Indonesia
yang memiliki perhatian serius pada humor. Berbeda dengan Daniel Dhakidae (22
Agustus 1945 - 6 April 2021). Sebagai ilmuwan sosial, ia juga menyisakan
sebagian waktunya untuk mempelajari humor secara ilmiah. Sebagaimana yang
dilakukan Arwah Setiawan, Jaya Suprana, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan
beberapa peminat studi humor lainnya. Di mata Daniel humor itu sebuah fenomena
yang khas. Karena itu ia punya rasa kepenasaran besar untuk menyingkap
misteri di baliknya. Ia pelajari batang tubuh humor secara seksama. Kemudian,
tak lupa ia cermati juga dahan ranting, daun, bunga dan buahnya. Humor sebagai induk seni lelucon yang
anak-cucu-cicitnya cukup banyak itu sangat menarik perhatiannya, seperti:
lelucon tulis/ucap (joke), pertunjukan (lawak/stand up comedy,pembicara
publik, teater, musik, pantomim, film/animasi), gambar (kartun, karikatur,
meme) dan beberapa lainnya telah merasuk dalam peta pemahamannya. Pendek kata Daniel terus berburu
pengetahuan tentang humor hingga paham anatomi, ruas-ruas persendian, bahkan
proses kerja julur-julur saraf dan metabolisme, hingga aliran darah. Sebagai cendekiawan, Daniel punya perhatian
besar pada masalah politik dan kekuasaan. Begitu juga selera humornya. Lebih
banyak mengerucut ke sana. Di mata Daniel (2016), kaum pelawak,
penulis lelucon, justru berada di dalam dunia: serius dan main-main. Tanpa
bermain-main mereka tidak bisa bersungguh-sungguh. Mereka hanya bisa
bersungguh-sungguh ketika mereka bermain-main. Paada saat yang sama, mereka berada di
tengah modal, money capital, dan social capital, dan knowledge, pengetahuan.
Dalam posisinya mereka menggabungkan beberapa perkara berbeda yaitu
pengetahuan, modal, dan kekuasaan. Hampir semua kaum pekerja humor adalah
mereka yang berkecimpung dengan pengetahuan dalam arti seluas-luasnya, dalam
science dan humanities, sejarah, musik, olahraga, dan lain-lain. Dunia
Antara Di tengah dunia antara itulah, menurut
Daniel, kaum pekerja humor, dengan kata-kata, gerak, lukisan, drama dan
lain-lain menjadi intelektual/cendekiawan yang mempermainkan fakta untuk
mencari makna di baliknya. Mereka membawa hidup ke titik ekstrim untuk
menemukan sesuatu yang tidak terduga. Inilah suatu kerja kaum cendekiawan
sesungguhnya. Daniel melihat kaum pekerja humor sebagai
kelas sosial. Tidak mudah mengatakan bahwa kaum pekerja humor itu adalah
suatu kelas tersendiri di dalam masyarakat sebagaimana buruh, dan kaum
kapitalis. Namun, bila diperhatikan posisinya yang
unik dalam hubungan dengan kapital, mereka dibayar untuk membanyol, menjadi
bagian tak terpisahkan dalam kapital pertelevisian, seperti dalam kasus
kelompok pembanyol seperti kelompok “Srimulat”, “Warung Kopi, Warkop
Prambors, DonoKasino- Indro” hampir tidak mungkin membayangkan mereka bukan
sebagai suatu kelas tertentu yang dibentuk dalam hubungannya dengan modal,
pengetahuan, dan kekuasaaan. Munculnya istilah “Tukang Insinyur” dalam
Film Si Doel Anak Sekolahan, juga contoh bagaimana “realitas” sindiran
dimunculkan sebagai paradoks antara sistem nilai yang rendah (tukang) dan
insinyur (tinggi) agar terjadi silang persepsi yang mengapung dan
terus-menerus menggelitik rasa humor masyarakat. Kelas
Baru - Sekutu Lama Di mata Daniel, cendekiawan, termasuk kaum
pelawak, pekerja humor, sebagai kelas baru, juga bisa dilihat sebagai suatu
momen baru dalam suatu rentetan panjang sirkulasi elite historis. Kelas baru
cendekiawan tersebut bisa juga muncul sebagai aliansi kelas lama, as old
class ally, seperti para punakawan istana dalam tradisi Jawa. Mereka terdiri
dari kaum “profesional” penuh dedikasi yang akan mengangkat kelas berharta
lama, old moneyed class, menjadi elite yang berorientasi kolektif. Kelas baru kaum cendekiawan tersebut dalam
pandangan kritis Daniel bisa juga terdiri dari mereka yang menjadi budak
kekuasaan. Kelas baru ini berada di bawah kelas berharta yang masih ingin
mempertahankan hartanya dan hanya memakai kaum cendekiawan itu untuk
mempertahankan dominasinya di dalam masyarakat. Bagi Daniel, posisi mereka benar-benar
berada “in the eyes of the beholder” dengan alasan yang sekiranya sudah
jelas, karena critical discourse yang dipakainya tidak pernah netral. Mereka
membagi dua masyarakat ke dalam kelompok yang pro dan anti, suka dan benci;
meski dalam kebencian selalu ada senyum di ujung mulutnya. Bagi yang tidak terkena sindiran mereka
adalah pahlawan karena mengangkat soal yang tidak biasa, yang orang biasa
tidak lihat maupun berpikir tentangnya, ujar Daniel menjelaskan. Dalam alur
diskursusnya mereka selalu mampu “menelikung” audiens, berbelok ke wilayah
yang tidak pernah terduga sebelumnya sehingga semuanya “aneh”, “lucu”,
“menggelikan”. Mereka meloncat masuk ke dalam akar-akar
soal. Bagi politisi dan kaum birokrat yang sering menjadi sasarannya, mereka
adalah momok dan terutama bagi rezim otoriter mereka adalah “setan” yang
harus dihabisi hidupnya. Daniel mencontohkan, Uni Soviet membuat
undang-undang menghukum para pekerja humor dengan hukuman yang bervariasi
dari 10/15 tahun sampai 25 tahun. Setiap lelucon yang menertawakan dan
menghina Lenin mendapat hukuman mati, vishki. Pandangan Daniel yang sebenarnya tajam dan
esensial ini memang sulit untuk ditarik dalam diskusi yang lebih holistik dan
komprehensif, karena faktanya sejak era tahun 1950-an (awal debut “Srimulat”,
karya tulis, gambar, ucap dll dibuat) hingga hari ini, nyaris belum ada
“humoris” yang berurusan dengan pihak otoritas karena gagasan humor
perlawanan politik maupun satire-nya membuat ia harus digelandang ke meja
hijau atau dijebloskan ke penjara (kecuali kasus Augustine Sibarani--
kemudian cair setelah ia mendapat penghargaan budaya beberapa tahun lalu --
dan pehumor lain yang terimbas karena haluan politik kiri) . Kalau ada dari mereka yang kemudian
berurusan dengan pihak berwajib, lebih karena kasus-kasus
non-politis/ideologis, seperti narkoba, disalahpahami sebagai SARA dan
sebagainya. Sebagian besar sinyalemen Daniel nyaris
terbukti sesuai fakta, bahwa “kelas baru” para pekerja humor itu, juga bagian
dari agen pendukung kemapanan, kelompok yang lebih memilih jalan selaras dengan
garis-garis elit penguasa sampai akhir hayat mereka. Berikut sebagian contoh lelucon politik
yang disenangi Daniel baik yang terjadi di Uni Soviet maupun di Indonesia
pada masa Orde Baru. Central Planning yang dijalankan Uni Soviet
tidak pernah memberikan hasil selayaknya bagi kemakmuran rakyat. Yang makmur
dan hidup bermewah-mewah adalah elite partai komunis Uni Soviet. Di tengah ketidakmampuan mengurus ekonomi
Ketua Brezhnev mendapat pertanyaan yang tidak terduga dari tamu seorang
menteri RRT tentang bagaimana keadaan ekonomi bangsanya. Sebaiknya saya jawab begini saja, kata
Breznev: “Reagan punya 100 penasihat ekonomi dan salah satunya adalah seorang
agen mata-mata (Soviet, DD), tapi dia tidak tahu yang mana. Mitterand punya
100 kekasih selingkuhan, dan salah satunya mengidap AIDS tapi dia tidak tahu
yang mana. Saya punya 100 ekonom dan salah satunya brilian; tapi saya tidak
tahu yang mana.” Namun, ketika Gorbachev mengumumkan
“Glasnost dan Perestroika”/Keterbukaan dan Restrukturisasi keadaan menjadi
kacau-balau. Ketergantungan kepada negara dihilangkan dan ekonomi
dikembalikan menjadi pekerjaan individu. Semuanya menghasilkan frustrasi
sosial yang dengan gamblang dilukiskan sebagai berikut: Dua orang antre membeli Vodka. Setelah satu
jam, dua jam, baris antrean tidak bergerak. Semua menjadi tidak sabaran.
Akhirnya salah satunya tidak kuasa menahan diri: “Sudah cukup! Saya muak
dengan hidup begini. Di mana-mana orang antre, tidak ada yang bisa dibeli,
laci toko kosong-melompong. Semua ini gara-gara Gorbachev dengan perestroika
konyol itu. Sekarang saya akan ke Kremlin untuk membunuhnya.” Sesudah dua jam orang itu kembali, dan
masih marah-marah, dan berkata: “Bangsat! Di Kremlin baris antrean orang
untuk membunuh Gorbachev lebih panjang lagi dari ini.” Menurut penulis Nikolai Zlobin, Gorbachev
sangat suka dengan lelucon di atas tentang dirinya, yang selalu
diceritakannya sendiri dalam berbagai pertemuan, dan diulang-ulang dalam
berbagai kesempatan. Menurut Daniel, tidak banyak humor terbuka
yang bisa dikumpulkan tentang Orde Baru. Butet pada saat-saat terakhir
ketika Orde Baru sudah hampir jatuh membuat banyolan dengan meniru suara
Soeharto dalam monolog yang memukau. Namun, humor tertulis sebagaimana di Uni
Soviet tidak banyak bisa ditemukan; kalaupun ada banyak yang dibuat, setelah
Orde Baru jatuh. Jenderal Soeharto tanpa mengumumkan dirinya
menjadi presiden seumur hidup menjalankan kepresidenan seumur hidup dan tidak
pernah diprotes kecuali oleh mahasiswa 1974-1978; dan terakhir ketika menjatuhkannya
pada tahun 1998. Alkisah, Cak Lontong dalam suatu pertemuan
ketika Presiden Gus Dur hadir di gedung pusat NU di Kramat, Jakarta Pusat,
membanyol sebagai berikut. + Gus Dur itu Presiden RI kesembilan kan
...? - Presiden keempat---sela tamu-tamu secara
serempak sambil tertawa. + Oh bukan ... Presiden pertama kan
Soekarno; kedua Soeharto, ketiga Soeharto, keempat
Soeharto, kelima Soeharto, keenam Soeharto, ketujuh
Soeharto, kedelapan Soeharto! ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar