Kontraterorisme
Berbasis Jender Milda Istiqomah ; Dosen Fakultas Hukum Universitas
Brawijaya |
KOMPAS,
10 April
2021
Ibarat api dilawan dengan api. Ketika
mempertimbangkan formulasi kebijakan kontraterorisme oleh negara menghadapi
teror saat ini, warna kekerasan terasa begitu tebal dan mengedepan. Akibatnya, berbagai kalangan yang
termarjinalkan seperti subyek perempuan dan anak dalam lingkaran teror kian
berada pada posisi rentan termanipulasi oleh aktivitas teror yang bersumber
dari ekspresi kuasa patriarki. Pada titik inilah perspektif jender yang
peduli subyek terpinggirkan perlu ditampilkan sebagai narasi utama dalam
pendekatan kontraterorisme. Refleksi pemikiran di atas bersumber pada
pengalaman saya pada 2012, saat melakukan penelitian lapangan ke Desa
Tenggulun, Lamongan, Jawa Timur, untuk mewawancarai beberapa anggota keluarga
dua bersaudara, Amrozi dan Ali Gufron. Sepuluh tahun sejak peristiwa Bom Bali
1 yang menewaskan 202 orang, desa itu terlihat sepi dan tidak banyak
aktivitas warga. ”Jangan terlalu banyak ditanya, ya mbak,
Ibu terkena stroke dan masih dalam kondisi pemulihan,” kata seorang ustazah
Pondok Pesantren Al-Islam yang mengantarkan saya bertemu istri terpidana mati
Amrozi. Kami kemudian berbicara singkat seputar jihad dan peran perempuan
dalam Islam. Ingatan akan perempuan-perempuan tersebut
menyeruak kembali ke dalam pikiran, saat mendengar aksi bom bunuh diri yang
terjadi di Gereja Katedral di Makassar dan penembakan di Mabes Polri beberapa
waktu lalu. Keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme secara aktif memang
bukan hal baru. Dian Yulia Novi, terpidana kasus teror bom
panci yang menargetkan Istana Kepresidenan, ditangkap pada 2016. Dua tahun
kemudian, Puji Kuswati bersama dengan suami dan empat anaknya meledakkan diri
di beberapa gereja di Surabaya yang menewaskan 18 orang. Laporan Institute for Economic and Peace
(IPAC) menyebutkan bahwa selama kurun 2004-2020 terdapat 32 orang perempuan
yang telah dan sedang menjalani pemidanaan terkait aksi terorisme (IPAC,
2020). Kehadiran perempuan di garis depan
aktivitas terorisme, justru memperlihatkan betapa posisi perempuan menjadi
semakin rentan sebagai obyek yang mengalami lingkaran manipulasi dan
eksploitasi oleh kelompok-kelompok yang memiliki orientasi ideologis anti hak
perempuan, kekerasan dan machoism patriarchy sebagai pilar-pilar tertinggi
dari keberadaannya. Sementara negara dengan kebijakan
kontraterorismenya tidak memberikan perhatian terhadap kehadiran perempuan
sebagai agensi utama teror ataupun relasi kuasa dalam aksi terorisme. Kebijakan kontraterorisme seperti
mereplikasi pendekatan arus utama secara berulang yang lebih memprioritaskan
pada kontra-kekerasan ataupun persuasi yang tidak mempertimbangkan
ketertindasan perempuan, baik dalam relasi kekuasaan maupun pentingnya
kehadiran agensi perempuan dan formulasi kebijakan yang melampaui pendekatan
berbasis kekerasan. Strategi
kontraterorisme Kaitannya dengan kebijakan pencegahan dan penanggulangan
terorisme di Indonesia, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)
mengambil peranan dengan melakukan program pencegahan yang terdiri dari dua
lapisan (layer), yaitu strategi deradikalisasi dan kontraradikalisasi (Bakti,
2012). Baik strategi deradikalisasi yang
dimaksudkan sebagai upaya harm reduction yang ditujukan bagi mereka yang
telah terpapar dan terlibat langsung dalam aksi teror maupun pendekatan
kontraradikalisasi yang bertujuan membentengi masyarakat luas dari aktivitas
teror, tak menekankan pendekatan kritikal dimensi ketimpangan relasi kuasa
jender dan kultur patriarki sebagai penghambat keampuhan dari pendekatan itu. Sementara itu, berhubungan dengan strategi
kontraterorisme Indonesia, seperti yang dilakukan oleh Densus 88, strategi
ini dianggap mampu mengungkap jaringan terorisme berideologi Islam radikal.
Sebagai ilustrasi, sejak 2002, lebih dari 1.200 orang tertangkap dan 600 di
antaranya telah menjalani pemidanaan (Singh, 2016). Namun, kita juga perlu mempertimbangkan berbagai
kritik tajam seperti dugaan penyiksaan terhadap tersangka terorisme dan
praktik extra-judical killings yang dilakukan Densus 88 yang menafikan asas
praduga tidak bersalah dan mencederai nilai-nilai demokrasi. Tekanan utama terhadap pendekatan koersif
juga semakin menyeruak seiring dengan kehendak untuk melibatkan militer dalam
aksi terorisme seperti yang diatur di dalam rancangan peraturan presiden
tentang pelibatan TNI dalam aksi kontraterorisme. Hal ini, disadari ataupun
tidak, cukup mengganggu dalam pembangunan mekanisme sistem peradilan pidana,
HAM, ataupun demokrasi. Perempuan
dalam kontraterorisme Koersi dan kekerasan sebagai simbol
maskulinitas yang saat ini tengah menjadi panglima dalam pendekatan
kontraterorisme tak menjawab rentanitas dari subyek perempuan yang saat ini
menjadi garis depan aksi terorisme. Ketika kekerasan demi kekerasan jadi
pertimbangan utama aparatus negara dalam menindak terorisme, akibatnya adalah
kegagalan dalam menjelaskan keadaan dan peran perempuan dalam pusaran terorisme
(Sjoberg & Gentry, 2007). Kasus penembakan di Mabes Polri oleh ZA
sebagai jihadis perempuan membutuhkan suatu pendekatan kontrateror yang tak
hanya bertumpu pada argumen kekerasan. Kehadiran subyek rentan kaum perempuan
sebagai ujung tombak teror membutuhkan pelibatan nalar pengetahuan yang
peduli terhadap posisi kaum perempuan dan melibatkan agensi perempuan Strategi kontraterorisme Indonesia demikian
kompleks, tetapi variabel penting, yakni jender, sering kali belum
dieksplorasi. Perspektif jender bermanfaat untuk membangun konstruksi baru
terhadap perempuan sebagai pelaku terorisme yang didasari oleh pengalaman dan
kepentingan perempuan. Inilah saatnya untuk melibatkan pengetahuan berbasis
diskursus jender sebagai bagian dari governmentality pengelolaan dan solusi
dalam kebijakan bernegara menghadapi persoalan terorisme. Dalam mewujudkan pemenuhan dan perlindungan
hak asasi dan keadilan bagi perempuan, pemerintah perlu merombak kembali
regulasi dan kebijakan hukum terkait kontraterorisme dengan mempertimbangkan
pengalaman perempuan dan hak perempuan sebagai basis utama pengambilan
kebijakan demokratik melawan terorisme. Wujud dari masuknya nalar feminis dalam
kebijakan kontraterorisme adalah melalui jalan prinsip kesetaraan,
solidaritas, peduli berbagai dimensi penindasan sebagai semangat kebijakan
bernegara. Secara praktikal berbagai hal yang tak
terpikirkan dalam kebijakan kontraterorisme seperti analisis ketimpangan
struktur sosial yang mencakup budaya patriarki, kemiskinan, rendahnya akses pendidikan
dan diskriminasi pada perempuan harus diletakkan di atas meja kebijakan
secara terang dan melibatkan partisipasi warga, terutama perempuan! ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar