Kenangan
Asia Afrika Linda Christanty ; Penulis kolom
“Analisis Budaya” Kompas |
KOMPAS, 24 April 2021
Langit kota Rabat biru cerah. Udara panas
dan berangin di bulan Juni. Sopir taksi ini mengemudi Peugeot tuanya ke
Kasbah Oudaya, benteng abad ke-12 yang menghadap Sungai Bou Regreg dan
Samudra Atlantik Utara. Namanya Mohammed, orang Amazigh, suku asli Maroko. Ia
sedikit menguasai bahasa Inggris.
Ketika saya menyebut asal negara, ia berseru, ”Soekarno!” Setelah mobil memasuki kawasan tertentu, ia
menunjuk papan nama jalan: Rue Soukarno, dalam huruf Arab dan huruf Latin.
Katanya, seharusnya ada nama Jalan Asia Afrika untuk mengenang konferensi
bersejarah. Ia membagi warisan memori tentang masa itu dengan rasa bangga.
Maroko masih dijajah Perancis ketika mengirim peninjau ke Konferensi Asia
Afrika pada 1955. Kemerdekaannya setahun kemudian. Meski peran Presiden Soekarno sering
dibicarakan, Ali Sastroamidjojo telah berjasa menggagas, merintis, dan
mengorganisasi Konferensi Asia Afrika. Ia seorang visioner dan diplomat ulung
yang dimatangkan pengalaman. Pergaulannya dengan kaum intelektual dan aktivis
antikolonial Asia Afrika semasa kuliah hukum di Belanda menumbuhkan kesadaran
serta tanggung jawab untuk membangun solidaritas antarbangsa agar bebas dari
penjajahan dan penindasan. Pertemuan pemikiran dengan para pemimpin dunia
ketika menjabat duta besar dan perdana menteri menguatkan tekadnya. Perwujudan impian membutuhkan strategi saat
dunia memasuki era Perang Dingin. Ali membicarakan idenya dengan empat
perdana menteri sepemikiran, yaitu Pandit Jawaharlal Nehru dari India,
Mohammad Ali Bogra dari Pakistan, Sir John Kotelawala dari Sri Lanka, dan U
Nu dari Burma (nama lama Myanmar), seraya mengusulkan Indonesia jadi tuan
rumah konsolidasi politik pertama itu. Wildan Sena Utama, sejarawan dari
Universitas Gadjah Mada, menulis buku tentang konferensi tersebut yang
diterbitkan pada 2017, Konferensi Asia-Afrika, 1955: Asal-Usul Intelektual dan Warisannya
bagi Gerakan Global Antiimperialisme. Dalam wawancara dengan situs Hubungan
Internasional Indonesia, ia mengungkap sejumlah alasannya, termasuk ”fenomena
sejarah yang memperlihatkan bahwa jaringan yang ditempa aktivis
antiimperial/antikolonial Asia dan Afrika berujung pada satu momen
pascakolonial penting di pertengahan abad ke-20, yaitu Konferensi Asia
Afrika.” Tahun lalu, sebelum pandemi, saya
berkunjung ke Museum Konferensi Asia Afrika di Bandung, Jawa Barat, untuk
melihat masa kini kita melalui masa silam. Bangunan bergaya art deco di
kawasan Braga itu dulu bernama Gedung Merdeka. Pada 24 April 1980, Presiden
Soeharto meresmikannya sebagai museum. Konferensi berlangsung dari 18 April sampai
24 April 1955, dihadiri delegasi 29 negara dan para peninjau. Delegasi
Indonesia dipimpin Ali, yang juga ketua umum konferensi. Ruslan Abdulgani
menjabat sekretaris jenderal. Anggota delegasi berjumlah 33 orang, termasuk
Menteri Luar Negeri Sunario, Silas Papare, Maria Ulfah Santoso, dan Achmad
Soebardjo, Menteri Luar Negeri pertama Indonesia. Kliping-kliping surat kabar dalam dan luar
negeri pada dinding museum mengungkap sambutan ataupun reaksi di sejumlah
negara. Surat kabar terbesar Sri Lanka, Ceylon Daily News, melansir berita
dengan tajuk ”Bandung Mendukung Konferensi Regional dengan Syarat:
Kolonialisme Dikecam di Segala Manifestasinya”. Judul berita surat kabar
Amerika Serikat mencoba menepis kekhawatiran bangsa kulit putih yang
dikaitkan dengan praktik kolonialisme Barat, ”Bahaya Perang Salib Anti-Putih
akibat Perundingan Bandung Dianggap Terlalu Berlebihan”. Sinpo bernada
optimistis, ”Bangsa Asia-Afrika Buka Lembaran Sejarah Baru di Bandung.” Kolonialisme pun ditampilkan melalui
reproduksi foto-foto hitam putih. Budak-budak Afrika berbaris, dengan leher
dirantai sambung-menyambung. Lelaki dengan wajah tertutup keffiyeh, penutup
kepala khas Timur Tengah, kecuali sepasang matanya, membopong bocah dalam
pelukan. Tragedi terjadi seminggu sebelum
konferensi. Pada 11 April 1955, pesawat maskapai India, Khasmir Princess,
yang terbang dari Hong Kong ke Jakarta meledak hingga jatuh di perairan
Kepulauan Natuna. Delapan anggota delegasi China meninggal, juga dua jurnalis
Austria dan Polandia. Pemerintah China menduga dinas rahasia Amerika Serikat
dan pemimpin Taiwan, Chiang Kai Shek, terlibat. Kehadiran Perdana Menteri sekaligus Menteri
Luar Negeri China Chou En Lai pun didahului silang pendapat. Nehru ingin
mengundang China. U Nu sepakat. Mohammad Ali dan Kotelawala keberatan karena
khawatir memengaruhi kesediaan hadir sejumlah negara yang cenderung di pihak
Amerika Serikat atau blok Barat. Utusan Irak, Mohammad Fadhil El Jamali,
mencemaskan komunisme. Dalam wawancara dengan jurnal Impact: International
Fortnightly edisi 24 November-7 Desember 1972, El Jamali yang pernah menjabat
Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri Irak itu mengenang perdebatannya
secara tertutup dengan Nehru di Bandung, ”Saya mengatakan, kolonialisme sudah
pergi dan kami berhasil menghadapinya, tetapi komunisme adalah kolonialisme
yang akan datang, dan lebih berbahaya.” Empat tahun setelah konferensi, Nehru
mengunjungi China untuk mempertanyakan batas wilayah India yang dilanggar.
Namun, Chou menyatakan China tidak mengakui perbatasan warisan kolonial
Inggris. Sengketa perbatasan itu belum berakhir. Burma pasca-U Nu menjalani
masa suram hak-hak asasi manusia. Irak mengalami berkali-kali turbulensi yang
melibatkan kekuatan besar dunia, begitu pula Iran. Hubungan Pakistan dan
India suam-suam kuku. Situasi Indonesia diwarnai pasang surut demokrasi. Dasa Sila Bandung disepakati pada akhir
konferensi. Namun, pelaksanaan butir-butir pentingnya, yang meliputi
menjunjung tinggi hak-hak dasar manusia sesuai Piagam Perserikatan
Bangsa-Bangsa, menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua bangsa,
menyelesaikan sengketa dengan jalan damai, dan menghormati hukum
internasional menghadapi rintangan besar. Saya masih sering teringat pertemuan dengan
sopir taksi di Rabat beberapa tahun lalu. Masa kini Asia Afrika seharusnya
lebih baik dibandingkan masa silam. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar