Paradoks
Ramadhan Biyanto ; Guru
Besar UIN Sunan Ampel; Wakil Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa
Timur |
KOMPAS, 21 April 2021
Banyak pelajaran berharga yang dapat
diperoleh selama kita menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Di antaranya,
pembelajaran tentang nilai-nilai kejujuran, kesabaran, kesederhanaan,
solidaritas sosial, serta pengharapan pada pahala dan kenikmatan yang
dijanjikan Allah SWT. Namun, sayang sekali tak semua orang mampu
menuai hasil dari pelatihan spiritual melalui ibadah Ramadhan. Bahkan ada
sebagian umat yang menunjukkan perilaku bertentangan dengan nilai-nilai
Ramadhan. Paling tidak ada tiga jenis perilaku sebagai paradoks Ramadhan yang
bisa merusak nilai-nilai ibadah puasa. Pertama, perilaku boros dan konsumtif.
Perilaku boros dapat diamati melalui kebiasaan suka berbelanja secara
berlebihan saat Ramadhan. Pola konsumtif biasanya kian meningkat jelang Idul
Fitri. Sebagian umat berpikiran Idul Fitri harus disambut dengan pakaian dan
perhiasan serba baru. Padahal, substansi Idul Fitri adalah bertambahnya
ketakwaan kepada Allah sebagai hasil dari pendidikan selama Ramadhan. Karena berperilaku konsumtif itulah,
sebagian orang menyambut Ramadhan dengan ungkapan marhaban ya bulan belanja.
Ungkapan ini antitesis marhaban ya Ramadhan. Anekdot ini menunjukkan betapa
budaya konsumtif telah jadi gaya hidup sebagian umat selama Ramadhan. Budaya
konsumtif jelas paradoks Ramadhan yang mengajarkan nilai-nilai kesederhanaan.
Apalagi dilakukan di tengah masyarakat yang sedang kesulitan akibat pandemi
dan bencana. Paradoks kedua, perilaku tidak sabar. Hal
itu dapat diamati dari kegiatan sebagian kelompok masyarakat yang suka
menempuh jalan anarkistis dengan alasan ingin menjaga suasana Ramadhan.
Dengan mengatasnamakan dakwah untuk memerintah kebaikan dan melarang
kemungkaran, mereka tak segan melakukan tindakan kekerasan. Padahal, prinsip dalam berdakwah semestinya
mengajak dan merangkul. Nabi Muhammad SAW berpesan agar dalam berdakwah
selalu berpegang pada prinsip mempermudah dan tak mempersulit, menggembirakan
dan tidak menakut-nakuti. Ramadhan jelas mengajarkan nilai-nilai
kasih sayang kepada sesama (rahmah). Ramadhan juga menekankan pentingnya
kesabaran seperti tampak dalam ajaran untuk menjaga diri dari tindakan yang
dapat membatalkan dan merusak ibadah puasa. Prinsip menjaga diri (imsak)
itulah substansi dari ibadah puasa. Hal itu berarti setiap orang yang
berpuasa tak boleh melakukan kekerasan kepada siapa pun dan atas nama apa
pun. Justru sikap berempati pada orang lain
harus dikedepankan. Pihak-pihak yang berpotensi merusak suasana Ramadhan juga
harus menunjukkan sikap empati kepada orang berpuasa. Perilaku
malas Paradoks ketiga, perilaku bermalas-malasan.
Jika sifat bermalas-malasan menjadi budaya selama Ramadhan, produktivitas
kerja umat akan menurun drastis. Tak bisa dimungkiri, kondisi berpuasa dapat
menimbulkan daya tahan tubuh menurun. Namun, itu bukan alasan mengurangi
produktivitas. Sifat malas merupakan paradoks Ramadhan
yang harus dijauhi. Sifat bermalas-malasan juga bertentangan dengan Al Quran
yang menegaskan bahwa Allah terus berada dalam kesibukan (QS Al-Rahman: 29). Kalam Ilahi itu menekankan pentingnya
spirit bekerja keras. Melalui kerja keras itulah kita menyaksikan banyak
karya besar Nabi Muhammad dan sahabatnya lahir di bulan Ramadhan, seperti
kemenangan pasukan Muslim dalam perang Badar dan penaklukan kota Mekkah. Sejarah keemasan Islam juga diwarnai
prestasi hebat yang diukir pada bulan Ramadhan, seperti keberhasilan
menaklukkan Spanyol dan kemenangan dalam Perang Salib. Kemerdekaan RI juga
diproklamasikan pada bulan Ramadhan. Semua itu menunjukkan, Ramadhan tak boleh
dijadikan alasan untuk mengurangi kerja keras dan produktivitas. Bukankah Ramadhan
secara bahasa berarti ’membakar’? Yang harus dibakar, karakter yang
bertentangan dengan nilai-nilai Ramadhan. Semoga kita mampu menghiasi Ramadhan tahun
kedua pandemi ini dengan banyak beramal kebaikan dan menjauhi perilaku yang
menjadi paradoks Ramadhan. Dengan cara itu, pasca-Ramadhan nanti kita akan
terlahir kembali menjadi hamba yang lebih dekat dengan Allah. Karakter ini
merupakan bagian dari nilai-nilai ketakwaan yang sangat penting sebagai
capaian tertinggi dari seluruh rangkaian ibadah Ramadhan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar