Beberapa
Masyarakat André Möller ; Penyusun Kamus
Swedia-Indonesia, Tinggal di Lund, Swedia |
KOMPAS, 27 April 2021
Pandemi sudah menggagalkan banyak rencana
perjalanan, dan kekecewaan umum makin menumpuk. Bagi kami yang sudah lama
tidak bisa mengunjungi Indonesia, Nusantara serta penghuninya dalam khayal
kami makin diagungkan dan dimuliakan. Begitu pula dengan makanan, minuman,
tempat, kegiatan, dan cuaca yang kami rindukan. Untuk menyeimbangi rasa itu,
ada gunanya mengingat-ingat beberapa ucapan yang selalu mengganggu, bagaikan
goresan di zamrud. Yang pertama adalah beberapa masyarakat.
Sebenarnya tak ada yang salah dengan ucapan ini kalau digunakan secara tepat,
tapi cukup sering justru diselewengkan. "Masyarakat" dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai 'sejumlah manusia dalam arti
seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama'.
Dengan kata lain, suatu masyarakat bisa berupa suatu golongan etnisitas, tapi
bisa juga terdiri dari orang-orang yang memiliki identitas lain yang sama.
Maka, KBBI memberikan sejumlah contoh gabungan, seperti "masyarakat
adat", "masyarakat perdesaan", dan "masyarakat
modern". Tesaurus Bahasa Indonesia (Tesamoko) memberikan tiga definisi
yang sedikit berbeda: ‘bangsa, khalayak’;
‘komunitas, paguyuban’; dan
‘asosiasi, kelompok’. Yang jelas, "masyarakat" itu banyak
orang. Oleh karena itu, saya selalu menggaruk-garuk di kepala saya yang
gundul ketika membaca kalimat seperti “saya bertanya kepada beberapa
masyarakat”. Rupanya orang gemar menyamakan "orang" atau
"manusia" dengan "masyarakat", tapi mereka menghilangkan
arti ‘dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan’. Kabupaten
Pati, di laman resminya, menulis bahwa ada “sejumlah masyarakat masih tak
percaya Covid-19” dan bahwa ada “masyarakat yang enggan memakai masker.”
Kompas pun menulis bahwa “masih ada beberapa masyarakat yang tak acuh dan
tidak tahu tentang wacana pemindahan ibu kota negara.” Saya yakin, yang
dimaksudkan bukan "masyarakat", melainkan "manusia" atau
"orang". Ucapan kedua yang sering mengganggu adalah
air dalam kemasan yang juga cukup populer. "Kemasan" itu 'bungkus
pelindung barang dagangan' menurut KBBI dan 'bungkusan, buntelan, paket' menurut
Tesamoko. Di toko-toko dan restoran kita sebagai pelanggan kerap ditawari
“air (mineral) dalam kemasan”. Iyalah, tentu saja airnya diwadahi. Bagaimana
kita bisa membelinya kalau tidak? Apakah para kasir hendak menuangkan air
mineral ke dalam saku-saku kita? Atau hendakkah kita membawa bungkusan
sendiri? Orang yang menjual bensin di pinggir jalan dalam botol tidak pernah
mengaku bahwa mereka menjual “bensin dalam kemasan” dan kita juga tidak
pernah jumpai penjual yang menyuguhkan “coca-cola dalam kemasan” atau tukang
bengkel yang menawarkan “oli dalam botol”. Kita juga tak pernah membeli “gula
dalam kemasan”, “tepung dalam kemasan”, atau “minyak goreng dalam kemasan”.
Sudah tentu dagangan ini diberi wadah yang tepat. Yang ketiga yang sering mengganggu saya
juga berhubungan dengan toko dan perniagaan. Setiap kali hendak membayar di
kas, pastilah si kasir dengan penuh percaya diri bertanya: “Ada member-nya?”
Saya selalu gelisah ketika menerima tanyaan ini. Bagaimana saya bisa tahu
apakah ada anggota? Pasti ada, tapi bukan urusan saya membawa daftarnya.
Mengapa saya yang ditanya? Di lain pihak, saya pernah mendengar pelanggan
lain menjawab “nggak ada” ketika menerima tanyaan serupa, dan kenyataan itu
langsung diterima si kasir. Terakhir dan pendek-pendek saja, makanan
berat itu juga ucapan yang mengganjal. Ya, ada “makanan ringan”, tapi itu
tidak berarti harus ada lawanan dalam bentuk tersebut. Cukuplah “makanan”
atau “makanan utama” kalau perlu dibedakan dengan hidangan-hidangan yang
lain. Nah, semoga ucapan-ucapan yang menjaili ini
bisa mengurangi rasa rindu kami kepada Indonesia. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar