Radhar
Panca Dahana, Mewakafkan Hidup untuk Kebudayaan Kenedi Nurhan ; Wartawan
Kompas |
KOMPAS, 22 April 2021
Budayawan
Radhar Panca Dahana telah berpulang, Kamis (22/4/2021) malam di RS Cipto
Mangunkusumo, Jakarta. Untuk mengenang beliau, berikut ini adalah wawancara
Kompas dengan Radhar yang diterbitkan Kamis (26/6/2014). Di hari itu pula,
Radhar menerima penghargaan Cendekiawan Berdedikasi Kompas 2014. Entah oleh siapa dan kapan pertama kali
sebutan ”budayawan” dilekatkan kepada lelaki bertubuh ringkih itu. Sebuah
atribusi yang disematkan untuk mengukuhkan kerja-kerja kebudayaan yang dia
geluti secara serius sejak usia sangat muda: 13 tahun! Dia sendiri, sebagai pribadi, merasa risi
atas pelabelan itu. Dalam beberapa kesempatan di hadapan banyak orang,
semisal ketika tampil sebagai pembicara di satu seminar saat pemandu
memperkenalkan para pembicara, ia bahkan kerap menyatakan penolakannya atas
sebutan superlatif ”budayawan” itu. Terlebih ketika kini banyak beredar
”budayawan-budayawan” salon, yang dalam kenyataan sesungguhnya tidak lebih
hanya berperan sebagai joker alias badut untuk menghibur para elite atau
pemegang kekuasaan. Para ”budayawan” semacam ini hanya memainkan elektisisme
obskur dalam pelisanan yang diindah-indahkan, sekadar untuk membuat publik
tercengang dan bahkan geli. ”Secara tidak bergurau saya lebih memilih
posisi sebagai kuncen kebudayaan. (Semacam) anjing penjaga kebudayaan di mana
orang datang hanya untuk berziarah, mengenang, mencari wangsit, atau malah
mensyukuri bahwa kebudayaan (di negeri ini) telah terbujur seperti mayat,
menjadi zombie,” kata lelaki, yang sejak 13 tahun terakhir harus bolak-balik
ke rumah sakit —tiga kali seminggu—untuk menjalani hemodialisis (cuci darah)
karena masalah gagal ginjal yang menderanya. Dia, lelaki bertubuh ringkih itu, tak lain
adalah Radhar Panca Dahana. Dalam jagat kebudayaan di Tanah Air, ia tak hanya
dikenal sebagai penyair, cerpenis, novelis, esais, serta pekerja dan pengkaji
teater. Dia pun bukan sekadar inisiator berbagai
kegiatan kebudayaan. Sebutlah seperti ketika ia menggagas penyelenggaraan
debat capres dan cawapres dengan para budayawan di Taman Ismail Marzuki (TIM)
Jakarta, menjelang Pemilu 2009. Bahkan, kalau mau jujur, Forum Kebudayaan
Dunia (World Culture Summit) di Bali pada 2013 kiranya tak lepas dari gagasan
yang ia usulkan kepada pasangan SBY/Boediono agar bila terpilih (saat itu)
kiranya mempertimbangkan untuk menyelenggarakan KTT Kebudayaan Dunia, lengkap
dengan berbagai argumentasi yang melatarbelakanginya. Lebih dari dari itu, alumnus FISIP UI yang
kemudian memperdalam kajian bidang sosiologi di Ecole des Hautes Etudes en
Sciences Sociales (EHESS) Paris, Perancis, ini adalah sosok pemikir lintas-disiplin
ilmu. Namun, bagaimanapun, masalah-masalah kebudayaan selalu melapiki setiap
kajian dan atau analisis yang ia dedahkan ke khalayak terhadap berbagai
fenomena keindonesiaan kita hari ini. Selalu
mencari Sebagai warga bangsa yang secara sadar
memosisikan diri sebagai kuncen kebudayaan, mencoba hidup sedikit zumud atau
asketis agar terhindar dari seretan arus kepentingan di pusaran kuasa pada
berbagai bidang kehidupan, Radhar bahkan sampai pada pilihan hidup yang
mungkin terdengar muskil sekaligus berlebihan: hidup dari dan untuk
kebudayaan! Alasannya sederhana. Bahwa, kebudayaan
harus dijaga demi masih tegaknya maruah manusia dan realitas sebagai socius
atau bangsa. Karena itu, kata Radhar, ”Saya secara spesifik mewakafkan
seluruh daya kemanusiaan saya untuk menjaga, memelihara, dan—jika masih
bisa—tetap mengembangkan kebudayaan. Karena dengannya sebuah bangsa, juga
manusia dalam satuan terkecilnya, masih dapat mengalami perkembangan kualitas
di semua dimensi kehidupannya.” Dalam pandangan Radhar, kebudayaan
Indonesia dalam arti yang sesungguhnya saat ini diperlakukan tidak sebagai
organisme yang hidup. Banyak kalangan, terutama pemerintah (dan negara),
hanya memperalat kebudayaan untuk kepentingan masing-masing. Bahkan makna
kebudayaan dipersempit, disalahpahami, hanya sebagai pernyataan dan produk
yang dapat teramati. Kebudayaan di negeri ini mengalami apa yang
ia sebut semacam materialisasi hingga ke tempat yang paling sempit:
komodifikasi! ”Satu bentuk apresiasi kasar yang menempatkan kebudayaan lebih
sebagai perangkat yang dapat dikooptasi atau diperalat untuk meneguhkan
kekuasaan,” ujarnya. Kebudayaan dalam pemaknaan semacam itulah
yang merisaukan Radhar. Ketika hampir semua elemen bangsa bukan hanya tidak
mengacuhkannya, tetapi juga menganggapnya secara keliru sebagai manekin di
etalase peradaban, kata Radhar, kebudayaan kita sesungguhnya sudah dalam
keadaan mati suri. Meski belum mati dalam arti yang sebenarnya, tetapi ia
sudah terbujur bagai mayat dan tinggal menunggu waktu untuk dimakamkan. Maka, di sanalah lelaki bertubuh ringkih
itu memutuskan berdiri sebagai kuncen kebudayaan. ”Maka, dengan romantis
murahan,” kata Radhar sambil terkekeh, ”saya tegas menyatakan kepada hampir
semua elite negeri ini, termasuk ketika tampil di hadapan sejumlah petinggi
satu partai besar: siapa pun yang masih berusaha mendekati makam itu dan
mencoba memastikan kematian kebudayaan, ia harus melompati dulu tulang
belulang kuncennya!” Karena itu, Radhar tak pernah berhenti
mencari di mana, kapan dan mengapa kebudayaan sejatinya bangsa ini terkubur,
sebelum akhirnya diambilalih oleh model ”kebudayaan baru” yang kemudian
membentuk peradaban kita hari ini. Sebuah ”peradaban baru” yang dalam
pendekatannya berpotensi melahirkan konflik, antara lain karena kecenderungannya
yang dominatif dan materialistik. Model kebudayaan semacam itu jelas kian
menjauhkan kita dari model kebudayaan yang membentuk peradaban sejatinya
manusia kepulauan seperti Indonesia. Dalam proses pencarian itu, Radhar
menelusurinya jauh ke belakang, bahkan hingga ke masa prasejarah. Ia tak tak
pernah berhenti menggali berbagai sumber tertulis tentang peradaban awal
bangsa ini lewat tulisan-tulisan hasil penelitian para ahli di bidangnya,
juga menemui dan berdiskusi dengan mereka. Dan dalam pencarian itu Radhar
semakin diyakinkan pada tesis awalnya: bahwa peradaban dan keadaban bangsa
kepulauan ini sejatinya dilapiki oleh model kehidupan manusia sebagai
individu yang komunal. Mereka, kata Radhar, mengembangkan
peradaban dan keadaban sebagai ”manusia maritim”, di mana keberadaan
individu-individu yang komunal itu secara eksistensial berangkat dari
pemahaman dan kesadaran—dari ontologis hingga kosmologis—pada tata cara hidup
dan kebudayaan yang berbasis pada dunia laut dan pesisir. Dunia bersama, yang
mengartikulasikan kepentingan individu dalam konteks komunitas. Sebuah ciri
khas peradaban ”manusia maritim”. ”Manusia yang dibentuk oleh kultur laut dan
pesisir adalah manusia yang membangun permukiman, sosial, ekonomi, dan
politiknya dalam sebuah ’kota’ pantai atau bandar. Di sanalah manusia maritim
Indonesia berkembang sesuai kondisi alamiah: menjadi masyarakat hibrid
(melting pot society) yang berpikiran terbuka, adoptif, sekaligus adaptif,”
tutur Radhar. Kebudayaan dalam perspektif peradaban dan
keadaban sebagai sebuah bangsa maritim—bukan bangsa agraris yang salah kaprah
itu, berikut peradaban kontinental, ”peradaban daratan”, yang justru kini
lebih mendominasi alam pikir dan alam tindak masyarakat di negeri kepulauan
ini—jika dijadikan acuan dalam kehidupan berbangsa, diyakininya akan menjadi
katalisator bagi perubahan Indonesia ke arah yang lebih baik di masa depan.
”Manusia maritim, itulah jati diri sesungguhnya bangsa ini,” kata Radhar. Manusia
pemberontak Radhar adalah tipikal manusia pemberontak.
Pada usia 10 tahun ia sudah menulis cerpen (”Tamu Tak Diundang”), yang
materinya ia ambil dari peristiwa di lingkungan terdekat: teror yang tiap
hari dialami ibunya dari penagih utang. Sejak itu, memasuki usia pra-remaja,
Radhar kecil sudah ikut sibuk berkesenian di berbagai tempat. Takut pada ancaman sang bapak yang tak
memperbolehkannya ikut berbagai kegiatan tersebut, pada usia 13 tahun ia
memutuskan kabur dari rumah orangtuanya di kawasan Lebak Bulus, Jakarta
Selatan. ”Pukul 10 malam, sehabis dihukum habis-habisan dengan pukulan rotan,
dengan mulut masih menyimpan darah, saya berdiri di pintu belakang rumah dan
berkata, ’tidak ada demokrasi di rumah ini’, lalu menghilang di gelap malam.” Setelah itu pergi lagi, dan memulai apa
yang ia sebut sebagai perantauan hidup. ”Sampai hari ini, merantau di tanah
kelahiran sendiri,” ujarnya. Sejak itu ia menjalani kehidupan bohemian
di berbagai pusat kesenian, terutama di kawasan Gelanggang Remaja Bulungan,
Jakarta Selatan. Sejak itu pula ia banyak bergaul dengan banyak seniman dan
sesekali bertatap muka dengan mereka yang sudah ditasbihkan sebagai
budayawan, seperti Rendra dan Umar Kayam, sambil tetap bersekolah. Untuk hidup ia mengandalkan honor tulisan
dari berbagai majalah anak dan remaja, sampai akhirnya ia mendapat kesempatan
membantu Koma, koran remaja sisipan majalah Hai. Lebih dari itu, selama
beberapa tahun Radhar kecil ikut membantu liputan untuk harian Kompas. Tak
hanya liputan kebudayaan, ia juga kerap mendapat tugas liputan di bidang metropolitan
(biasanya berita-berita kriminalitas) dan olahraga. ”Di Kompas saya tak hanya belajar segala
hal, juga mendapat honor yang membuat saya merasa menjadi remaja terkaya di
Bulungan. Agar tidak diketahui bapak, nama asli sengaja saya sembunyikan, lalu
dipakailah nama Reza Morta Vileni sebagai nama pena untuk berita dan
tulisan-tulisan kreatif saya di saat remaja,” kata Radhar sembari tertawa
mengenang masa remajanya yang penuh warna. Saat magang di Kompas, perhatian Radhar
pada masalah-masalah manusia dan kemanusiaan diakuinya makin terasah.
Lihatlah satu berita kecil pada edisi Kompas Minggu, 27 Februari 1983.
Terselip di sela-sela komik strip dan rubrik ”Teka Teki Silang”, sebuah
berita kriminalitas muncul di bawah judul: ”Surat cintanya dicolong maling”.
Isi beritanya, rumah dramawan Putu Wijaya dibobol maling. Alih-alih berfokus pada emas dan berlian
bernilai sekitar Rp 1 juta (nilai saat itu) yang raib, Reza si penulis berita
yang tak lain adalah Radhar Panca Dahana justru lebih memilih sudut pandang
berbeda: segepok surat cinta Putu Wijaya dan istrinya yang ikut lenyap
disambar maling yang justru jadi bahan cerita dalam berita kecil tersebut. Kini, dalam kondisi sakit yang menderanya,
semangat hidupnya lebih ditopang karena kecintaannya pada kebudayaan. Adapun
aktivitas menulis menjadi semacam obat penyembuh. Sedikitnya sudah 20 buku ia
terbitkan, beberapa lagi masih menunggu pihak penerbit untuk dibukukan. ”Sobat, tanpa bisa menulis, dan tanpa ada
ruang untuk menampung tulisan-tulisanku, sebetulnya aku sudah bukan apa-apa
lagi,” ujarnya sekali waktu, terdengar sangat memelas, ketika pada 2007 ia
”dihukum” tak boleh menulis selama tiga bulan di harian ini lantaran
artikelnya yang dimuat Kompas juga dimuat di media lain. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar