Memahami
Vaksin Sel Dendritik Zeily Nurachman ; Guru Biokimia, FMIPA
ITB |
KOMPAS, 22 April 2021
Vaksin Nusantara menjadi heboh setelah
dengar pendapat di DPR. BPOM belum merestui uji klinik tahap II, tetapi
pelaksanaan riset jalan terus di RSPAD Gatot Subroto. Politisi, mantan Panglima TNI, pengusaha,
mantan Menkes, dan pesohor ingin menjadi sukarelawan obyek uji. Hal ini tidak
terjadi pada uji tahap III vaksin Sinovac di Bandung, dengan sukarelawan
kebanyakan rakyat biasa kecuali Gubernur Jawa Barat. Vaksin Covid-19 konvensional diturunkan
dari virus atau komponen virus seperti mRNA, DNA, atau protein. Ada komponen
vaksin berupa zat biologi asing (xenobiologi) yang bila masuk ke tubuh akan
dianggap musuh dan dihancurkan, sebagai respons kekebalan. Uji coba klinik tahap III vaksin
konvensional memunculkan angka kemanjuran (efficacy). Namun, data dampak
negatif jangka panjang tidak diperoleh dari uji coba klinik III. Setelah pelbagai vaksin konvensional
diaplikasikan massal, muncul kasus seperti efek penggumpalan darah,
mengindikasikan ada xenobiologi yang tidak disukai tubuh. Berbeda dengan vaksin konvensional, vaksin
dendritik berasal dari sel dendritik prekursor seseorang yang dilatih melawan
komponen virus di luar tubuh (ex vivo). Setelah ”terampil”, sel dendritik
diinjeksikan kembali ke tubuh. Karena bukan xenobiologi, secara teoretis
risiko jangka panjang vaksin sel dendritik lebih kecil. Vaksin
kanker Vaksin sel dendritik sangat personal dan
tidak dapat diproduksi massal. Sumber sel dendritik langsung dari darah orang
yang akan divaksin. Publikasi riset vaksin sel dendritik pada jurnal ilmiah
kedokteran internasional, banyak fokus pada terapi sel imunoterapi. Ini
karena terapi kanker konvensional, seperti kemoterapi, radioterapi, dan
operasi pengangkatan tumor, dirasa kurang efektif. Sel dendritik (ditemukan oleh Ralph
Steinman pada 1973, bentuknya mirip pohon) bertanggung jawab atas inisiasi
respons kekebalan adaptif sehingga berfungsi sebagai ”penjaga” sistem
kekebalan. Sel dendritik adalah leukosit dari sumsum tulang belakang dan
merupakan jenis sel pembawa antigen paling kuat (major antigen-presenting
cells). Sel dendritik dari sumsum tulang belakang
dan darah diperbanyak secara in vitro menggunakan berbagai kombinasi faktor
pertumbuhan. Sel dendritik dikhususkan untuk menangkap
dan memproses antigen, mengubah protein menjadi peptida, dibawa pada molekul
major histocompatibility complex (MHC) dan dikenali sel T. Sekali diaktifkan, sel dendritik
menghadirkan antigen ke sel T CD4+ dan CD8+, menginduksi respons sel T
pelindung. Sel dendritik sejak lama disarankan sebagai
vaksin berbasis sel karena respons sel T sangat penting untuk memunculkan
respons imun terhadap kanker. Peradangan memainkan peran penting dalam
perkembangan kanker. Peradangan akut merangsang fungsi sel dendritik dan sel
T efektor, selanjutnya memicu aktivitas antitumor. Pada 1990-an, sel dendritik dikembangkan
sebagai vaksin dengan konsep memapari sel dendritik dengan antigen spesifik
tumor ex vivo. Sipuleucel-T adalah
vaksin kanker sel dendritik pertama yang disetujui FDA pada 2010 untuk terapi
kanker prostat. Pada 2017, CDSO India (BPOM-nya India)
menyetujui vaksin dendritik APCEDEN untuk tindakan empat jenis kanker
(prostat, rahim, kolorektal, dan paru sel besar). Sel dendritik prekursor diekstraksi dari
setiap pasien dan kemudian dipapar dengan protein fusi dari asam fosfatase
asam prostat (PAP; suatu antigen yang ditemukan pada sebagian besar sel kanker
prostat) dan sitokin GM-CSF, yang membantu sel dendritik menjadi matang
(”terampil mengenali sel kanker prostat”). Sel dendritik yang telah matang
diinjeksikan kembali ke tubuh pasien selama beberapa siklus. Sebagai metode
baru, tentunya vaksin kanker sel dendritik perlu penyempurnaan. Untuk menghasilkan sel dendritik yang lebih
matang dan efektif, strategi riset perlu diperbaiki, termasuk pengembangan
protokol ex vivo, kombinasi antigen alternatif. Pemaparan sel dendritik
dioptimalkan dan transfeksi sel dendritik dengan RNA atau DNA. Kerja
sama riset Saat
ini, belum ada publikasi ilmiah mengenai vaksin dendritik untuk Covid-19.
Beberapa virus hidup seperti virus influenza dapat menginfeksi semua jenis
sel kekebalan kecuali sel dendritik plasmasitoid. Sel dendritik plasmasitoid
bertanggung jawab pada fagositosis virus dan sekresi interferon tipe 1.
Interferon tipe 1 memainkan peran penting dalam reaksi kekebalan adaptif
terhadap virus. Di sisi lain, dalam vaksin konvensional
berbasis virus utuh yang dimatikan, sel dendritik plasmasitoid justru menelan
seluruh virus mati untuk menghasilkan interferon tipe 1. Ini boleh jadi akan
menghasilkan kekebalan adaptif yang bersifat sesaat, ini mungkin kelemahan
vaksin Sinovac. Terawan dan timnya melakukan riset vaksin
Covid-19 sel dendritik untuk mencari bukti ilmiah (scientific evidences)
dalam rangka menghasilkan kekebalan adaptif yang lebih bersifat permanen.
Oleh sebab itu, riset vaksin Covid-19 sel dendritik layak dilakukan mengingat
tanda-tanda berakhirnya pandemi belum tampak. Bila
riset sekadar menjawab keingintahuan (curiosity), restu dari BPOM tidak
diperlukan. Namun, bila hasil riset akan diaplikasikan untuk terapi, maka
pendampingan, rekomendasi, dan persetujuan BPOM sangat diperlukan. Karena sifatnya personal, respons pada
sukarelawan uji akan bervariasi. Bisa
jadi vaksin dendritik tidak memerlukan uji coba pada binatang percobaan
karena subyek dan perilaku sel dendritik sangat berbeda. Saat kondisi darurat wabah, upaya apa pun
untuk menghentikan pandemi menjadi prioritas. Namun, karena sifatnya riset terobosan, sebaiknya tim peneliti dan tim BPOM
duduk bersama membahas strategi riset. Menguji vaksin dendritik ataupun
vaksin konvensional, tetap harus dilakukan dengan menerapkan kaidah keilmuan yang
lazim agar data yang diperoleh dapat menjadi acuan untuk terbitnya izin. Apa
pun dinamika masalah dapur teknis, janganlah menjadi konsumsi publik. Publik hanya ingin mendengar hasil akhir
riset, apakah vaksin manjur atau tidak, aman atau tidak, disetujui atau tidak. Sebagai peneliti, saya mengusulkan uji coba
membuat vaksin Covid-19 sel dendritik dengan kombinasi tiga antigen (protein
S/untuk menempelkan pada reseptor, protein N/untuk membungkus genom, dan
protein RDRP/untuk pembelahan RNA dari SARS-CoV-2). Bisa
jadi kolega dari tim vaksin Merah-Putih sudah berhasil membuat rekombinan
protein tersebut. Perlu kerja sama antarelemen bangsa agar Indonesia cepat
maju. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar