Vaksin
Konvensional dan Vaksin Dendritik untuk Covid-19 Sampurno ; Direktur
Perum Bio Farma 1994-1996, Dirjen POM 1998-2001, Kepala Badan POM RI
2001-2006 |
KOMPAS, 19 April 2021
Dalam beberapa bulan terakhir ini Indonesia
mengimpor vaksin untuk Covid-19 dari beberapa negara dalam jumlah yang besar.
Vaksin Covid-19 yang telah dan sedang dalam proses evaluasi untuk masuk ke
Indonesia adalah Sinovac, AstraZeneca, Moderna, Pfizer, Sinopharm, dan
Sputnic V. Semua vaksin tersebut diimpor dalam bentuk
finish product (produk jadi), kecuali sebagian vaksin Sinovac yang bulk-nya
diimpor dari China kemudian diproduksi dan dikemas oleh PT (Persero) Bio
Farma. Penelitian dan uji klinis semua vaksin tersebut dilakukan di negara
pembuatnya. Hanya vaksin Sinovac sebagian uji klinis
tahap 2 dilakukan di Indonesia. Izin edar vaksin-vaksin ini di Indonesia
semua berbasis emergency use authorization (EUA) atau izin penggunaan
darurat. Vaksin Covid-19 yang diimpor sebagian
berbasis platform antigen yang dilemahkan/dimatikan. Beberapa vaksin memiliki
bahan dasar yang berbeda: Pfizer dan Moderna menggunakan bahan dasar mRNA dan
AstraZeneca menggunakan viral vector. Platform vaksin konvensional Covid-19 memang
sangat berbeda dengan platform vaksin Nusantara yang berbasis pada sel
dendritik (dendritic cell). Oleh karena itu, regulasi dan standar pembuatan
kedua vaksin tersebut dalam implementasinya terdapat beberapa perbedaan. Apabila tidak memahami keduanya, maka sulit
untuk dipertemukan karena berbeda platform ataupun proses teknologinya. Vaksin
konvensional Prosedur pembuatan vaksin Covid-19 dengan
platform virus yang dilemahkan dan mRNA cukup rumit dan memerlukan waktu yang
sangat panjang. Apabila ditempuh prosedur normal, pembuatan
vaksin konvensional tersebut, mulai dari penelitian awal sampai dengan uji
klinis tahap 3, memerlukan waktu dari sepuluh tahun hingga 15 tahun. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dengan
alasan darurat pandemi mendorong agar proses evaluasi dan penggunaan vaksin
Covid-19 dapat dipercepat melalui skema EUA. Dewasa ini WHO memiliki daftar
vaksin Covid-19 sekitar 31 vaksin yang telah dirilis ataupun yang sedang
dalam tahap uji klinis. Sebagai gambaran dapat dicermati bagaimana
perusahaan biofarmasi Sinopharm (China) mengembangkan vaksin Covid-19 dari
virus tak aktif yang disebut BBIBP-CorV. Para peneliti mempelajari sampel
virus SARS-CoV-2 yang berasal dari tiga orang, kemudian memilih satu di
antara ketiga sampel untuk bahan dasar vaksin. Virus tersebut kemudian dikembangkan dalam
sel dengan menggunakan bahan kimia yang disebut beta-propiolakton untuk
menonaktifkan virus. Bahan ini mengubah materi genetik virus sehingga tidak
bisa bereplikasi. Perusahaan lain yang menggunakan virus
inaktif melakukan pendekatan hampir serupa. Para ilmuwan di Sinovac (China)
mengembangkan vaksin Covid-19 dari virus yang dinonaktifkan yang disebut
CoronaVac. Bharat Biotech dan Dewan Riset Medis India mengembangkan Covaxin. Untuk meningkatkan efektivitasnya,
vaksin-vaksin ini mengandung aluminium hidroksida, yang berfungsi sebagai
adjuvant. Untuk meningkatkan efektivitasnya, vaksin-vaksin tersebut diberi
tambahan toll-like reseptor (TLR) 7/8 agonis untuk memicu respons imun
menjadi lebih kuat. Sebelum diproduksi dan dipasarkan, vaksin
harus melewati kajian eksplorasi dan serangkai uji klinis yang panjang.
Peneliti harus melakukan kajian eksplorasi melalui penelitian di laboratorium
untuk mengetahui antigen alami atau sintetik untuk merangsang pembentukan
antibodi dalam tubuh. Setelah itu dilakukan uji praklinis dengan
memberikan vaksin kepada hewan percobaan untuk mengetahui efektivitas dan
keamanannya serta untuk mengetahui efek samping yang mungkin ditimbulkannya. Setelah uji praklinis diselesaikan,
selanjutnya dilakukan uji klinis tahap 1 sampai tahap 3 yang memerlukan waktu
cukup lama dan biaya yang besar. Apabila serangkaian uji klinis tersebut
hasilnya positif dan telah mendapat izin edar dari otoritas pemerintah,
vaksin baru tersebut boleh diproduksi dan diedarkan untuk digunakan oleh
masyarakat luas. Tidak mustahil, setelah dilakukan uji
klinis secara lengkap dan digunakan oleh masyarakat, terjadi kasus yang
merugikan kesehatan pasien pada tingkat ringan, sedang, dan serius (kejadian
ikutan pasca-imunisasi/KIPI). Vaksin AstraZeneca tercatat telah menimbulkan
kasus pembekuan darah di otak terhadap beberapa orang subyek dan menimbulkan
kematian di Australia. Beberapa kasus serius terjadi di Denmark
yang menyebabkan pemerintah menghentikan sementara penggunaan vaksin
AstraZeneca di negara itu. Vaksin
Nusantara Sangat berbeda dengan pembuatan vaksin
konvensional Covid-19, pembuatan vaksin Nusantara tidak memasukkan virus
korona nonaktif ke tubuh penerima. Vaksin Nusantara dibuat melalui tahapan
yang berbeda dengan vaksin konvensional Covid-19. Pertama-tama, diambil darah dari tubuh
seorang subyek/pasien. Selanjutnya darah tersebut dipisahkan antara sel darah
putih dan sel dendritik (bagian dari sel darah putih). Sel dendritik ini akan
dipertemukan dengan rekombinan antigen di laboratorium sehingga memiliki
kemampuan untuk mengenali virus SARS-CoV-2. Sel dendritik ini mempunyai memori untuk
mengenali dan melawan SARS-CoV-2. Setelah sel berhasil mengenali virus
korona, sel dendritik akan kembali diambil untuk disuntikkan ke dalam tubuh
pasien yang sama dalam bentuk vaksin. Dengan diberikan vaksin ini, diharapkan
pasien memiliki kekebalan atau antibodi dalam melawan Covid-19. Dari proses pengambilan darah,
laboratorium, hingga akhirnya menjadi vaksin yang siap disuntikkan, perlu
waktu satu minggu. Dengan pendekatan sel dendritik ini, vaksin tak mengandung
virus korona yang sudah dilemahkan, seperti vaksin konvensional Covid-19
lain. Setelah vaksin diinjeksikan ke tubuh
pasien, akan memicu sel-sel imun lain untuk membentuk sistem pertahanan
terhadap virus penyebab Covid-19. Kelebihan vaksin Nusantara: tak ada
komponen virus yang turut disuntikkan ke dalam tubuh, sebab proses pengenalan
sel dendritik dengan rekombinan antigen virus dilakukan di luar tubuh, yaitu
di laboratorium. Selain itu, karena komposisi autolog yang personal, pasien
hanya menerima suntikan vaksin yang berasal dari sel darahnya sendiri, bukan
orang lain. Vaksin lain dengan platform dendritik yang
sudah dirilis pada 2009 untuk terapi penyakit kanker yang dibuat Debdreon
Corp (PROVERENGE) telah disetujui oleh FDA Amerika Serikat. Konsep dan
teknologi vaksin dendritik untuk kanker ini serupa dengan vaksin dendritik
untuk Covid-19. Proyek
percontohan Vaksin Nusantara dapat dibuat di
laboratorium, rumah sakit, atau klinik dengan peralatan dan kemampuan yang
memenuhi standar internasional. Produksi dapat dilakukan secara massal,
tetapi tidak dalam suatu fasilitas industri farmasi. Untuk memproduksi dalam
skala besar, perlu tenaga yang terlatih serta peralatan dan perlengkapan yang
memenuhi standar yang dipersyaratkan. Standar good laboratory practices (GLP),
good clinical practices (GCP), dan good manufacturing practices (GMP) mesti
diberlakukan sesuai dengan lingkup teknikal pembuatan vaksin Nusantara.
Khusus uji praklinis, jika di luar negeri telah dilakukan dengan hasil yang
dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka uji praklinis di Indonesia
tak perlu dilakukan. Laporan uji praklinis itu dapat diserahkan
kepada otoritas Pemerintah Indonesia. Dalam pembuatan vaksin Nusantara
diberlakukan uji klinis tahap 1 sampai dengan tahap 3 dengan protokol
berbasis ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Pada tahap awal diperlukan semacam proyek
percontohan untuk kemudian dievaluasi dengan saksama oleh tim ahli yang
relevan. Apabila proyek percontohan yang sedang dijalankan RSPAD hasilnya
positif untuk melawan Covid-19, dapat direplikasi oleh rumah sakit lain yang
memiliki kemampuan dan fasilitas yang dipersyaratkan. Untuk perspektif jangka panjang, inovasi
pembuatan vaksin berbasis sel dendritik perlu diberi ruang dan peluang tanpa
mengurangi kaidah-kaidah ilmiah yang obyektif. Selama ini mungkin ada
kelemahan dalam pembuatan vaksin dendritik, tetapi ada sisi positif yang dapat
dikembangkan untuk kepentingan nasional dan kemanusiaan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar