Nyadran
2021 Bre Redana; Penulis
Kolom “UDAR RASA” Kompas Minggu |
KOMPAS, 18 April 2021
Terus terang judul ini pernah saya pakai di
rubrik ini empat tahun lalu. Saya memang mempunyai kebiasaan pulang kampung
setiap menjelang Ramadhan. Ziarah ke makam keluarga dan leluhur. Orang Jawa
menyebutnya ”nyadran”. Tradisi nyadran konon diwarisi dari zaman
Majapahit. Pada masa pemerintahannya, Raja Hayam Wuruk memerintahkan
Mahapatih Gajah Mada untuk menyelenggarakan upacara untuk menghormati arwah
nenek Hayam Wuruk, Gayatri Rajapatni. Dicatat dalam Nagara Kertagama, inilah
upacara penghormatan arwah terbesar dalam sejarah Majapahit. Namanya Srada,
di kemudian hari menjadi nyadran. Di tengah kondisi wabah, bersama istri saya
memillih menyetir mobil sendiri. Banyak orang terkesan dengan jalan tol di
Jawa yang membuat perjalanan Jakarta-Jawa Tengah menjadi sangat cepat. Hanya saja, di ruas tertentu, saya
menentukan keluar dari tol. Saya ingin menikmati jalur lama tatkala saya
sering keluyuran di sejumlah kota di Jawa dulu. Mungkin beginilah psikologi
pensiunan tanpa kerjaan. Tak ada janji. Dalam semua hal saya tidak merasa
perlu cepat-cepat. Saya menyukai berkendara keluar kota sambil
ngomyang ini-itu. Seperti biasanya, sampai Batang, saya ingatkan istri,
inilah kota kelahiran Mas Goen, Goenawan Mohamad. Tidak akan ada kesan
istimewa tentang kota ini seandainya pada masa sekolah menengah saya tidak
membaca buku kumpulan esai Goenawan Mohamad, Potret Seorang Penyair Muda
sebagai Si Malin Kundang. Bagian paling mengesankan bagi saya adalah
bagaimana ibarat terbawa perahu, seorang anak muda menulis sajak dan kemudian
menjadi penyair. Dari desa pesisir di sebuah kota kecil Jateng, begitu kurang
lebih penulis menggambarkan, ia sejatinya bukan hanya pindah ke Jakarta. Yang
esensial, dengan kesusastraan, ia memperoleh kemerdekaan. Dalam pandangan saya pribadi, bukankah itu
hal terpenting dalam kehidupan? Yakni kebebasan. Ajaib kalau orang merasa
tidak mempunyai pilihan. Pernah saya memberi tahu Mas Goen bahwa
setiap kali lewat Batang, saya berhenti untuk cari duren di daerah Subah.
Sambil menikmati duren, saya tanya si penjual, apakah kenal yang namanya
Goenawan Mohamad. Rata-rata yang saya tanyai bingung. Mas Goen tertawa mendengar penuturan saya. ”A stupid little town,” ucapnya saya ingat. Pada saat mulai kuliah, saya bisa
menebak-nebak dari mana kira-kira Potret Seorang Penyair Muda menemukan
sumber ekspresinya. Siapa pun yang menggulati sastra niscaya membaca novel
penulis Irlandia, James Joyce, A Portrait of the Artist as a Young Man. Begitulah kurang lebih sastra membentangkan
cakrawala. Dari desa di pesisir utara Jawa kita dimungkinkan melihat
kebangkitan intelektual pemuda bernama Stephen Dedalus di Irlandia. Saya bersyukur sampai saat ini memiliki
beberapa teman yang menggemari sastra. Beberapa jauh lebih muda daripada
saya. Dengan mereka, saya tidak hanya berdiskusi, tetapi kadang juga
bertengkar. Penulis Linda Christanty berkomentar mengenai
kebiasaan membaca bersama yang kini telah hilang. Sama-sama mempunyai
pengalaman pernah tinggal di Aceh, ia mengingatkan bagaimana dulu di keude
kopi orang membaca koran secara bergantian dan kemudian mendiskusikannya.
Waktu itu, kalau ingin tahu pandangan politik orang Aceh, nongkrong-lah di
keude kopi. Kopi pancung dan bada saya kenang sampai sekarang. Dengan teman yang lain lagi, Joss Wibisono,
kami cenderung akan bertengkar begitu saya menyebut nama Milan Kundera. Kami
menjadi seperti partisan, berhadap-hadapan satu di belakang Kundera satu lagi
di belakang Vaclav Havel. Bedanya dengan dunia virtual yang dihidupi
sebagian besar manusia saat ini, pertengkaran tadi tidak memisahkan kami,
tetapi justru mempertemukan. Tidak membuat benci, tetapi kangen. Kini, percepatan menggantikan
segala-galanya, termasuk kecepatan tersulutnya emosi. Rasionalisme diganti
emosionalisme. Saya selalu diresahkan dengan percepatan.
Gugup kalau melihat pengendara ngebut tak keruan. Percepatan bagi saya adalah
akhir yang kian dekat. Percepatan digital saya khawatirkan mendekatkan kita
pada akhir kemanusiaan, berakhirnya manusia sebagai gejala darah-daging-roh. Sejarah ada dalam kita, begitu pandangan
saya yang dipengaruhi oleh teks sastra. Sejarah saya adalah sejarah anak
desa. Tidak up to date. Apa-apa serba pelan. Saya mengemudikan kendaraan pelan-pelan,
sesampainya. Sambil berharap masa depan masih jauh,
tahun depan bisa nyadran lagi. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar