Sejarah
Kota dalam Lirik Lagu Heri Priyatmoko ; Dosen Sejarah,
Fakultas Sastra,Universitas Sanata Dharma |
KOMPAS, 26 April 2021
Menunggu bedug Magrib di bulan Ramadan
enaknya leyeh-leyeh seraya rengeng-rengeng (menyanyi lirih). Tembang lawas
tak kalah larasnya dibandingkan lagu masa kini. Selain menumbuhkan
ketentraman batin, seringkali tembang itu melemparkan ingatan kita pada
sepotong masa. Kegembiraan merekah di palung hati tatkala lagu tersebut
merekam kahanan (keadaan) daerah yang punya ikatan batin dengan kita. Saya teringat syair lagu keroncong
berkepala “Solo Diwaktu Malam“ anggitan Sri Widadi. “Gamelan penuh irama,
Solo diwaktu malam hari, Suara seni jang meraju-raju, Meresap dan mendalam
dihati, Menawan sanubari,” demikian cuilan syairnya. Ia bukan teks biasa,
namun dokumen sejarah untuk melongok situasi Surakarta periode
prakemerdekaan. Sayangnya, tak banyak periset memosisikan
lirik lagu sebagai sumber sejarah altenatif dalam berkarya. Mereka kadung
memuja arsip maupun pengkisahan orang sebagai data sejarah. Bahkan, menguat
adagium no documents, no history. Seperti ujaran sejarawan mumpuni Sartono
Kartodirdjo bahwa keotentikan suatu data sejarah bisa diuji melalui perbandingan
dengan sumber sejarah lainnya. Asalkan menggunakan metodologi yang ketat dan
tepat, maka lirik lagu dapatlah dipakai menunjang kerja ilmiah. Nah, di sini
saya hendak mengombinasikan lirik lagu keroncong dengan sumber sejarah
lainnya untuk melukiskan kembali kondisi Solo tempo doeloe. Silam, kampung halaman Presiden Joko Widodo
ini dijuluki “kota yang tak pernah tidur” dan “jantungnya Pulau Jawa”. Kala
itu, kehidupan sosial kota begitu dinamis lantaran disokong suburnya kegiatan
ekonomi. Tanpa kemapanan ekonomi, praktis dinamika budaya kota juga melambat. Tak kurang Mangkunegara IV dan Mangkunegara
VII mendulang sukses mengelola bisnis perkebunan, hingga praja Mangkunegaran
dinobatkan sebagai kerajaan terkaya di Jawa. Ia kemudian leluasa menyolek
kota. Ditinjau dari konsep arsitektur dan tata ruang perkotaan, kawasan kota
Mangkunegaran yang disebut Kampung Lor lebih maju dibanding Kampung Kidul
Kasunanan. Sebab, Mangkunegara VII mengadopsi konsep garden city yang
terpengaruh pemikiran semasa bersekolah di Belanda. Maestro keroncong Gesang terilhami akan
keindahan serta kesejukan suasana salah satu taman itu. ”Tirtonadi yang
permai, di tepi sungai. Suatu kebun yang permai, riuh dan ramai. Itu suaranya
air, mendesir-desir. Darilah pintu air, terjun mengalir,” begitulah secarik
syair lagu keroncong garapan Gesang yang mengumandang sampai di negara Jepang
lantaran detik itu ”saudara tua” Jepang mengangkangi Indonesia. Dari menyimak lirik lagu keroncong di muka,
terbayang situasi Tirtonadi yang asri. Tirtonadi merupakan sepetak ruang
publik indah yang dibangun Mangkunegara VII. Alkisah, banjir tahunan acap
melumat Solo. Karena itu, dibikin Kali Anyar atau banjir kanal yang diarahkan
ke timur menuju ke Bangawan Solo. Dibangun pula tanggul dari utara Balekambang
hingga Kandang Sapi. Guna memanfaatkan air Kali Pepe yang mengalir melalui
pintu air Kali Anyar sekaligus memoles pemandangan, dibuat kolam kecil dan
dihiasi bunga teratai. Lalu, kolam itu diberi nama Tirtonadi.
Mangkunegara VII menamainya Partimah Park, mengadopsi nama salah satu
puterinya. Soeyadi (1983) menuturkan, banyak muda-mudi memadu kasih di taman
pada malam hari dengan menikmati keindahan bulan dan suara jangkrik. Suara
gemericik sungai yang berada di timur taman dan adanya kreteg senggol,
menambah warga kian betah berlama-lama di situ. Fakta historis ini menjadi penting manakala
Walikota Solo, Gibran Rakabuming bersama pemerintah pusat sedang menyiapkan
revitalisasi kawasan taman Balekambang yang nantinya menyentuh Tirtonadi.
Artinya, sudah ada gambaran yang disuguhkan lewat lirik lagu itu. Sumber lain untuk mengecek validitas
informasi yang terkandung dalam lirik lagu itu, yaitu novel sejarah ”Solo Di
Waktu Malam”. Buah pena Kamadjaja (1950) ini merekam warga Solo benar-benar
termanjakan oleh keberadaan Tirtonadi. Penduduk sekitar pun dapat mengais
rejeki dengan berjualan bermacam-macam makanan dan minuman. Sesekali Mangkunegara VII meninjau taman
yang biasa dilakukan antara pukul tujuh malam. Beliau 'mider praja' (kegiatan
menyapa warga) mengevaluasi sarana dan prasarana apa yang sekiranya perlu
ditambahi demi terpenuhinya kepuasan para kawula. Saking ramainya suasana
pada malam hari, logis bila wanita susila juga tidak ketinggalan mencari
rejeki dengan berburu ”mangsa” di situ. Lagu ciptaan Mus Mulyadi ”Kota Solo” juga
mengisahkan indahnya Solo, tempat kesenian asli, tarian yang indah dan
lembut, banyak peziarah, banyak pemandangan. Termanggut setuju dengan apa
yang dicitrakan Solo sebagai kota budaya karena dari sinilah lahir kesenian
dan tradisi, terlebih kala itu eksis dua kerajaan sebagai pengembang
peradaban Jawa. Semua ini tentunya menjadi daya tarik
wisatawan bertandang ke Kota Bengawan. Setiap orang yang hendak ke jurusan
Batavia, Surabaya, Semarang, Yogyakarta, terlebih dahulu berhenti di stasiun
Balapan, Jebres dan Purwosari. Solo menjadi titik tengah pulau Jawa. Waktu yang tersedia dimanfaatkan wisatawan
berkeliling kota naik trem. Menikmati tontonan sekatenan, tayup, bioscoop,
dansa di societiet harmony di Loji Wetan belakang Benteng Vastenburg,
keraton, pasar tradisional, dan taman kota seperti Kebon Rojo (Sriwedari),
Jurug, Tirtonadi, dan Minapadi. Masih ditambah pesona alam di Tawangmangu.
Orang suka dan betah plesiran di kota ini, karena –seperti yang tertuang
dalam bait terakhir lagu Kota Solo– dapat menghilangkan hati yang sedih dan
duka. Mengenai sisi kehidupan gender atau potret
perempuan di kota ini terlukiskan dalam lagu ”Putri Solo”, yang keluar dari
bibir mungil Sundari Soekotjo. Penyanyi cantik ini mendeskripsikan putri Solo
yang lemah lembut, berjalan seperti harimau lapar, memakai sandal japit,
kemerlap perhiasannya. Terus bait terakhir yang memikat: Jika tersenyum,
dekik pipinya, hitam manis kulitannya, itulah putri Solo. Lirik lagu ini walau lahir pasca kemerdekaan,
tapi bisa dipercaya dengan membandingkannya melalui aneka foto lawas yang
tersimpan di Perpustakaan Reksopustoko Mangkunegaran. Tergambar gaya wanita
berpakaian, mengenal pendidikan, dan belajar kesenian tari serta membatik.
Jadi, lirik lagu keroncong serta dokumentasi foto hitam putih itu menjadi
modal berharga bagi ilmuwan maupun penulis novel mengkaji dinamika perempuan
di tingkat lokal. Demikanlah, syair lagu merupakan sumber
sejarah dan penjaga ingatan. Selain itu, bait yang disenandungkan itu adalah
kaca benggala bagi penguasa kota yang mencabik-cabik ruang publik demi nafsu
ekonomi. Lihat saja taman Sriwedari yang pernah dibanggakan kini mengalami
kehancuran. Kota tidak lagi molek serta menawarkan keindahan seperti setengah
abad silam. Semoga Mas Gibran mampu menahkodai Solo dengan baik. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar