Komunikasi
Kebajikan dalam Spirit Ramadhan Widodo Muktiyo ; Staf
Ahli Menteri Kominfo Bidang Komunikasi dan Media Massa dan Guru Besar Ilmu
Komunikasi UNS Solo |
KOMPAS,
15 April
2021
Sudah dua hari kita menjalani bulan suci
Ramadhan. Keutamaan dan kemuliaannya membuat setiap Ramadhan selalu terasa
istimewa. Di tengah pandemi dan upaya-upayanya, di tengah keriuhan/kegaduhan
dan ketegangan, paradoks-paradoks, serta kelogisan nalar untuk tetap berjuang
dalam mewujudkan cita-cita negara, sepertinya Ramadhan 1442 H adalah momen
penting untuk menahan diri. Tidak berkata-kata, kecuali yang baik-baik.
Tidak pat gulipat dan manuver sana atau sini, yang memicu urat leher menjadi
kencang dan panas. Pun kerumunan-kerumunan yang menimbulkan kluster penularan
baru. Sebagai penghormatan terhadap kemuliaan bulan suci kali ini sudah
sepatutnya kita menahan diri terhadap ucapan dan tindakan yang sia-sia dan
tidak perlu. Menahan diri di bulan Ramadhan berarti
berinstrospeksi. Menanggalkan perkataan-perkataan yang sia-sia dan menjauhkan
diri dari kebencian, pertengkaran, apalagi pertumpahan darah. Ia hadir untuk
digunakan bermuhasabah, sebagai diri, bagian dari keluarga, dan menjadi
bagian dari bangsa menuju ketakwaan individu dan sosial. Dengan ketenangan jiwa dan kebersihan hati,
kita dapat menanyakan: sudah seberapa baikkah kita? Sudah seberapa besarkah
kemanfaatan dan sejauh mana sumbangsih kita bagi perjalanan bangsa? Refleksi
yang tulus dan langsung ini tidak saja penting, tetapi sekaligus membawa kita
kepada kesadaran horizon diri yang lebih tinggi. Meskipun satu bulan dan hanya datang satu
tahun sekali, jika dibandingkan dengan perjalanan bangsa kita, Ramadhan
selalu dapat menjadi waktu bernilai untuk merenungkan setiap perjalanan dan
perjuangan bangsa. Tujuh puluh enam tahun lalu, kemerdekaan bangsa kita, ada
di bulan suci Ramadhan, menunjukkan bulan ini ada sesuatu yang sakral dan
energi luar biasa yang kita isi dengan pembangunan dan perjuangan hingga
kini. Mengasah
diri Di dalam ajaran berpuasa di bulan Ramadhan
termaktub, jika ada yang datang kepadamu untuk mendebat dan membuat
kegaduhan, katakanlah saya sedang berpuasa. Maknanya berpuasa itu memiliki
marwah dan adab. Ia sebuah ruang peribadatan dan kontemplasi tetapi dekat
dengan Tuhan. Di dalam Ramadhan, selama sebulan penuh,
setiap diri menyibukkan untuk bertransendensi dan bertransformasi menemukan
jati diri kembali, yang mungkin telah menyimpang terlalu jauh oleh ambisi dan
keserakahan serta ketidakpercayaan karena pengaruh fitnah dan hasutan. Dalam konteks diri, manusia sebagai makhluk
komunikasi, yang berkata-kata dengan bahasa, melakukan pertukaran makna, dan
hidup melalui tindakan-tindakan simbolik beserta implikasinya, mengasah diri
sebagai komunikator bukan saja perlu, tetapi wajib, untuk sedapat mungkin
menghindari terjadinya kesia-siaan dalam berkomunikasi. Betapa banyak terjadi pertikaian,
perselisihan, dan permusuhan karena kesia-siaan komunikasi di antara kita.
Begitu seringnya, jika tidak dikatakan biasa, kita memoralisasi diri melalui
kata-kata untuk menutupi niat buruk. Melalui tindakan simbolik, sebuah
dongeng menjadi fakta, sedangkan fakta menjadi bisu. Argumentasi bukan
didudukkan sebagai penghormatan nalar, tetapi lebih sebagai pemanis. Pada
tingkat akut, permasalahan ini telah menjerat kita untuk tidak saling percaya
dan curiga. Bukan hal yang kebetulan jika di dalam
kultur Jawa dan momentum Ramadhan ada titik temu. Ada pepatah Jawa yang
mengatakan ngulat sarira hangrasa wani. Kita mesti memiliki keberanian
menelisik diri, menemukan hambatan-hambatan, dan pada gilirannya mendapatkan
kemampuan untuk melepaskan ketergantungan dan bayang-bayang ketakutan yang
tidak perlu. Di sisi lain, refleksi diri itu, ada pada ucapan.
Ajining diri ono ing lathi. Di sinilah, dalam perspektif Aristotelian,
ditunjukkan bahwa krediblitas seseorang dalam kedudukannya sebagai
komunikator dapat diasah melalui tiga pendekatan, yakni karakter,
intelektualitas, dan motivasinya. Semua pesan, sebenarnya adalah refleksi
dari karakter, intelektualitas dan niatan penyampainya. Dalam tataran moralitas bulan suci
Ramadhan, ujung dari rangkaian peribadatan itu adalah ketakwaan yang
sebenarnya di dalam terminologi takwa itu, dalam hemat pandangan saya,
tercakup tiga dimensi, yang sejalan dengan apa yang dipersyaratkan untuk
menjadi seorang komunikator yang disegani. Mereka yang memiliki kejujuran
akan memproduksi pesan yang konsisten. Sikap ketegasan lahir dari keberanian yang
bersumber dari keadilan. Kelapangan dada dalam menerima kritik
tercipta karena sikap terbuka. Sikap tenang dan tidak emosional muncul karena
daya tahan diri dan kesabaran. Pendek kata, mereka yang memiliki karakter
yang baik, sudah barang tentu, tidak memiliki motivasi untuk mencederai atau
mendustai ucapannya sendiri. Obyek-obyek sentral karakter semacam itu,
seperti kejujuran, keadilan, kesabaran, dan kelapangan dada, merupakan
tema-tema utama, yang menjadi sasaran terus-menerus, dalam setiap kali kita
bertemu dengan Ramadhan. Di sanalah karakter yang berkarat, ditempa oleh
panasnya lapar dan dahaga, dilembutkan dengan basuhan air wudhu, diperindah
dengan ucapan-ucapan yang mulia dari Kitab Suci, dan mencerabut kedengkian
serta keserakahan dengan mengeluarkan shodaqah dan zakat. Secara intelektualitas, bulan suci Ramadhan
kembali mengantarkan kita pada pencerahan pemikiran. Pesan-pesannya
mengajarkan kepada kita agar dapat membedakan mana yang bersifat instrumental
dan mana yang substantial, mana yang temporal dan mana yang abadi, serta mana
yang hakiki dan mana yang fatamorgana. Kecerdasan yang bersih pula yang
menuntun kemampuan dalam membedakan mana taktik dan mana yang licik. Karakter
dan kecerdasan menuntun pada cara kerja yang menghasilkan legacy yang akan
terus dikenang. Belajarlah
mendengar Dalam kesibukan diri tidak berkata-kata
yang sia-sia di bulan suci Ramadhan itu, cobalah belajar mendengar dari
pemimpin dan sebaliknya. Sebab, salah satu dari mereka yang mendapatkan
naungan Allah SWT di hari kiamat kelak adalah pemimpin yang adil. Dalam
keheningan, merenungkan apa yang dilakukan para pemimpin, barangkali
menghasilkan retrospeksi dan refleksi yang lebih mendekatkan daripada
kecurigaan serta ketidakpatuhan. Apa yang dipikirkan pemimpin yang adil
pasti berbeda dengan apa yang dipikirkan mereka yang dipimpin. Apa yang
dikatakan pemimpin dengan sendirinya berdampak luas di masyarakat. Beban
pemimpin jauh lebih berat berlipat-lipat. Bisa jadi, beban yang sudah berat
itu, ditambah, buruknya hubungan antara yang memimpin dan yang dipimpin. Sosok pemimpin yang adil dan bijak,
bagaimanapun ia menerima sikap-sikap dan cara-cara komunikasi rakyatnya, ia
tetap menunjukkan kesantunan dan kelembutannya. Seperti Musa AS, yang tetap
tenang dan lembut, ketika dituduh oleh pengikutnya telah mengada-ada.
Konsistensi ketenangan dan kelembutannya ditunjukkan dalam berbagai situasi
yang berbeda-beda. Sebagian kecil atau sebagian besar pengikut
yang tidak simpatik adalah merupakan keniscayaan bagi setiap perjalanan
kepemimpinan seseorang. Bagi Musa AS, ia tetap merespons apa yang menjadi
pertanyaan-pertanyaan skeptis dari pengikutnya sepanjang itu diperlukan,
sedangkan di sisi lain, ia tunjukkan tindakan-tindakan konkret sebagai bukti
kebenaran dari kepemimpinannya. Bagi setiap pemimpin yang penting adalah
bagaimana ia dapat menghantarkan apa yang menjadi visi dan misinya
berdasarkan pada prinsip kebenaran, keadilan, kejujuran dan kemanfaatan.
Sebab itu adalah catatan terbaiknya yang paling bernilai baginya. Akhirnya, sejauh masih ada waktu dan
bertemu dengan Ramadhan, masih ada kesempatan kembali dan mengambil
kebajikan-kebajikan daripadanya. Kemuliaannya memberikan ruang dan cara untuk
meluruhkan semua kesalahan, kealpaan, ketidakpedulian, dan kemudian terlahir
kembali menjadi insan yang kalau berinteraksi dan berkomunikasi memiliki
kesantunan dan budi pekerti yang terpuji. Semua itu merupakan wujud kebajikan
komunikasi dengan sesamanya, dengan pemimpin kita dan dengan rakyatnya.
Karenanya pula, ini adalah modal kultural kita untuk mengatasi seberat apa
pun persoalan yang menimpa bangsa kita. Semoga. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar