Film
dan Kebangsaan Kita Purnawan Andra ; Pamong
Budaya Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan Ditjen Kebudayaan
Kemendikbud |
KOMPAS,
12 April
2021
Presiden BJ Habibie melalui Keputusan
Presiden Nomor 25 Tahun 1999 menetapkan tanggal 30 Maret sebagai Hari Film
Nasional. Meski telah lewat, mempercakapkan film nasional tetap terasa
aktual. Peringatan Hari Film Nasional sendiri didasarkan pada momen hari
pertama pengambilan gambar film Darah dan Doa (1950) (selanjutnya ditulis
Darah) karya Usmar Ismail yang menceritakan perjuangan, tidak hanya melawan
penjajah Belanda, tetapi juga ancaman persatuan bangsa. Darah menjadi penting karena film ini
menyampaikan pandangannya terhadap kemerdekaan secara kritis lewat drama
percintaan ber-setting cerita hijrahnya Pasukan Siliwangi. Pilihan ini
mendorong gairah heroisme publik yang lebih besar sebagai respons atas ide
besar tentang Indonesia. Pada masa pergerakan, nasionalisme kebangsaan
juga digelorakan oleh para seniman, seperti sastrawan Angkatan ’45 yang
dipelopori Chairil Anwar. Namun, pada perkembangannya, film juga digunakan
sebagai medium ekspresi dan semangat nasionalisme. Film bisa digunakan
sebagai media propaganda, seperti yang dilakukan pada masa penjajahan Jepang.
Hal ini membuka pemikiran dan kemungkinan baru tentang fungsi film sebagai
alat komunikasi sosial. Film adalah pencatat sejarah bangsa. Ia
berperan penting dalam sejarah pembentukan dan penyebaran ide ”berbangsa dan
bernegara Indonesia”. Hilmar Farid (dalam Darmawan & Sihar, 2017)
menyebut Joris Ivens, pembuat film dokumenter berkebangsaan Belanda, yang
pertama kali merekam konsep ”bangsa Indonesia” dalam karyanya, Indonesia
Calling (1947). Film ini menyebarkan konsep tentang
Indonesia sebagai negara baru ke dunia internasional, yang membuatnya diadili
pemerintahnya sendiri karena dianggap berpihak kepada Indonesia. Konsep
identitas, kebangsaan, dan nasionalisme disebarkan dengan cara yang populis,
yaitu film. Hal ini karena kehadiran teknologi film
memunculkan budaya baru, yaitu budaya layar dan budaya penonton modern yang
dicirikan dengan adanya relasi dengan teknologi media audio-visual. Meski
sebenarnya telah dikenal dalam masyarakat tradisional berbentuk wayang kulit
dan wayang beber yang menggunakan layar, sorotan cahaya, dan kehadiran
penonton, ini memberi akar kultural sebagai modal budaya bagi tumbuhnya
budaya layar dan penonton modern di Indonesia (Darmawan, 2017). Film juga bisa dibaca sebagai sejarah
sosial yang berkelindan dengan imaji, problem, dan representasi negara baru
bernama Indonesia. Lebih lanjut dikatakan Darmawan, seperti Loetong
Kasaroeng, film fiksi pertama yang diproduksi di Hindia Belanda dengan modal
dana dari Bupati Bandung Wiranatakusumah V dan ber-setting di Pandeglang,
Jawa Barat. Film ini bukan hanya mengandung aspek
hiburan, melainkan juga pembayangan konsep tentang ”orang Jawa Barat” lewat
alih wahana mitos tradisional folklor lisan ke dalam media modern. Film-film
selanjutnya yang diproduksi di Hindia Belanda menjadi wahana masyarakat
memproyeksikan diri mereka dalam pembayangan menjadi ”Indonesia” secara
visual. Dengannya, film berperan penting dalam
membantu upaya kita sebagai bangsa untuk membaca dan memahami berbagai fakta
masa lalu serta memberi pemaknaan-pemaknaan baru yang relevan dan kontekstual
dalam proses ”menjadi Indonesia”. Kemampuan tersebut menempatkan film sebagai
representasi berbagai sudut pandang tentang Indonesia sebagai bangsa, yang
akan melahirkan nilai-nilai pembentukan strategi kebudayaan berdasar kondisi
riil sosial masyarakatnya. Film menjadi bagian kebudayaan yang menginspirasi
dan mendorong terbentuknya narasi baru tentang Indonesia. Pemaknaan Seturut Ajidarma (2014), film mesti mampu mewacanakan
dirinya, baik sebagai aspirasi politik, pernyataan akan identitas dan
cita-cita kebangsaan, maupun ekspresi artistik. Film mesti terhubung dengan
ide besar tentang identitas kebangsaan dan kebudayaan, dan pada akhirnya
tentang apa itu Indonesia. Hal ini karena identitas kebangsaan tidak pernah
tunggal, tidak juga tetap karena dinamika sosial politik dan pasar global
terus berkembang. Hal ini teridentifikasi dalam karya-karya
film Indonesia mutakhir yang lebih terbuka dan luwes terhadap gagasan dan
pemaknaan nilai sekaligus berusaha lebih kritis dalam menyampaikan orientasi
naratifnya. Ia tidak hanya berkutat pada sebuah wilayah budaya yang statis
dan dominan, tetapi juga mengangkat tema-tema yang selama ini luput dari
kesadaran dan terpinggirkan secara sosial politis. Seperti film Mata
Tertutup, Berbagi Suami, Mencari Hilal, Puisi Tak Terkuburkan, 27 Steps of
May, Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak, hingga Kucumbu Tubuh Indahku dan
Istirahatlah Kata-kata. Penjelajahan etis dan estetis terhadap
tegangan ide antara lokalitas kedaerahan dan masyarakat urban kontemporer
juga muncul dalam Sokola Rimba, Turah, Ziarah, Siti, atau Istri Orang. Hal
ini diperkuat dengan menjamurnya moda produksi independen yang memperkaya
peta lanskap dunia film kita, yang sekaligus mengesankan adanya sebuah
”Indonesia baru”. Seturut Darmawan (2017), film adalah sebuah
media untuk menarasikan diri kita sebagai bangsa. Maka, membaca film sebagai
teks narasi kebangsaan penting untuk dilakukan. Caranya dengan menjadikan film
sebagai wahana bersama untuk mendialogkan bayangan-bayangan terkini kita
tentang Indonesia. Film perlu difungsikan secara politis dalam
pengertian yang lebih positif: bukan alat propaganda, melainkan cara untuk
menyatakan keragaman kita di tengah berbagai ancaman yang semakin jelas
terhadap kebinekaan. Dengan menampilkan realitas yang ada di sekitar kita,
film menjadi alat yang mendorong penonton berdialog dengan dirinya sendiri
dan membantu memahami kenyataan dengan cara yang lebih baik. Menonton film adalah menonton Indonesia
yang beragam, dengan segala kemungkinan baru yang ditawarkan oleh kekinian
kita. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar