Selasa, 13 April 2021

 

Film dan Kebangsaan Kita

 Purnawan Andra ; Pamong Budaya Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan Ditjen Kebudayaan Kemendikbud

                                                         KOMPAS, 12 April 2021

 

 

                                                           

Presiden BJ Habibie melalui Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 1999 menetapkan tanggal 30 Maret sebagai Hari Film Nasional. Meski telah lewat, mempercakapkan film nasional tetap terasa aktual. Peringatan Hari Film Nasional sendiri didasarkan pada momen hari pertama pengambilan gambar film Darah dan Doa (1950) (selanjutnya ditulis Darah) karya Usmar Ismail yang menceritakan perjuangan, tidak hanya melawan penjajah Belanda, tetapi juga ancaman persatuan bangsa.

 

Darah menjadi penting karena film ini menyampaikan pandangannya terhadap kemerdekaan secara kritis lewat drama percintaan ber-setting cerita hijrahnya Pasukan Siliwangi. Pilihan ini mendorong gairah heroisme publik yang lebih besar sebagai respons atas ide besar tentang Indonesia.

 

Pada masa pergerakan, nasionalisme kebangsaan juga digelorakan oleh para seniman, seperti sastrawan Angkatan ’45 yang dipelopori Chairil Anwar. Namun, pada perkembangannya, film juga digunakan sebagai medium ekspresi dan semangat nasionalisme. Film bisa digunakan sebagai media propaganda, seperti yang dilakukan pada masa penjajahan Jepang. Hal ini membuka pemikiran dan kemungkinan baru tentang fungsi film sebagai alat komunikasi sosial.

 

Film adalah pencatat sejarah bangsa. Ia berperan penting dalam sejarah pembentukan dan penyebaran ide ”berbangsa dan bernegara Indonesia”. Hilmar Farid (dalam Darmawan & Sihar, 2017) menyebut Joris Ivens, pembuat film dokumenter berkebangsaan Belanda, yang pertama kali merekam konsep ”bangsa Indonesia” dalam karyanya, Indonesia Calling (1947).

 

Film ini menyebarkan konsep tentang Indonesia sebagai negara baru ke dunia internasional, yang membuatnya diadili pemerintahnya sendiri karena dianggap berpihak kepada Indonesia. Konsep identitas, kebangsaan, dan nasionalisme disebarkan dengan cara yang populis, yaitu film.

 

Hal ini karena kehadiran teknologi film memunculkan budaya baru, yaitu budaya layar dan budaya penonton modern yang dicirikan dengan adanya relasi dengan teknologi media audio-visual. Meski sebenarnya telah dikenal dalam masyarakat tradisional berbentuk wayang kulit dan wayang beber yang menggunakan layar, sorotan cahaya, dan kehadiran penonton, ini memberi akar kultural sebagai modal budaya bagi tumbuhnya budaya layar dan penonton modern di Indonesia (Darmawan, 2017).

 

Film juga bisa dibaca sebagai sejarah sosial yang berkelindan dengan imaji, problem, dan representasi negara baru bernama Indonesia. Lebih lanjut dikatakan Darmawan, seperti Loetong Kasaroeng, film fiksi pertama yang diproduksi di Hindia Belanda dengan modal dana dari Bupati Bandung Wiranatakusumah V dan ber-setting di Pandeglang, Jawa Barat.

 

Film ini bukan hanya mengandung aspek hiburan, melainkan juga pembayangan konsep tentang ”orang Jawa Barat” lewat alih wahana mitos tradisional folklor lisan ke dalam media modern. Film-film selanjutnya yang diproduksi di Hindia Belanda menjadi wahana masyarakat memproyeksikan diri mereka dalam pembayangan menjadi ”Indonesia” secara visual.

 

Dengannya, film berperan penting dalam membantu upaya kita sebagai bangsa untuk membaca dan memahami berbagai fakta masa lalu serta memberi pemaknaan-pemaknaan baru yang relevan dan kontekstual dalam proses ”menjadi Indonesia”.

 

Kemampuan tersebut menempatkan film sebagai representasi berbagai sudut pandang tentang Indonesia sebagai bangsa, yang akan melahirkan nilai-nilai pembentukan strategi kebudayaan berdasar kondisi riil sosial masyarakatnya. Film menjadi bagian kebudayaan yang menginspirasi dan mendorong terbentuknya narasi baru tentang Indonesia.

 

Pemaknaan

 

Seturut Ajidarma (2014), film mesti mampu mewacanakan dirinya, baik sebagai aspirasi politik, pernyataan akan identitas dan cita-cita kebangsaan, maupun ekspresi artistik. Film mesti terhubung dengan ide besar tentang identitas kebangsaan dan kebudayaan, dan pada akhirnya tentang apa itu Indonesia. Hal ini karena identitas kebangsaan tidak pernah tunggal, tidak juga tetap karena dinamika sosial politik dan pasar global terus berkembang.

 

Hal ini teridentifikasi dalam karya-karya film Indonesia mutakhir yang lebih terbuka dan luwes terhadap gagasan dan pemaknaan nilai sekaligus berusaha lebih kritis dalam menyampaikan orientasi naratifnya. Ia tidak hanya berkutat pada sebuah wilayah budaya yang statis dan dominan, tetapi juga mengangkat tema-tema yang selama ini luput dari kesadaran dan terpinggirkan secara sosial politis. Seperti film Mata Tertutup, Berbagi Suami, Mencari Hilal, Puisi Tak Terkuburkan, 27 Steps of May, Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak, hingga Kucumbu Tubuh Indahku dan Istirahatlah Kata-kata.

 

Penjelajahan etis dan estetis terhadap tegangan ide antara lokalitas kedaerahan dan masyarakat urban kontemporer juga muncul dalam Sokola Rimba, Turah, Ziarah, Siti, atau Istri Orang. Hal ini diperkuat dengan menjamurnya moda produksi independen yang memperkaya peta lanskap dunia film kita, yang sekaligus mengesankan adanya sebuah ”Indonesia baru”.

 

Seturut Darmawan (2017), film adalah sebuah media untuk menarasikan diri kita sebagai bangsa. Maka, membaca film sebagai teks narasi kebangsaan penting untuk dilakukan. Caranya dengan menjadikan film sebagai wahana bersama untuk mendialogkan bayangan-bayangan terkini kita tentang Indonesia.

 

Film perlu difungsikan secara politis dalam pengertian yang lebih positif: bukan alat propaganda, melainkan cara untuk menyatakan keragaman kita di tengah berbagai ancaman yang semakin jelas terhadap kebinekaan. Dengan menampilkan realitas yang ada di sekitar kita, film menjadi alat yang mendorong penonton berdialog dengan dirinya sendiri dan membantu memahami kenyataan dengan cara yang lebih baik.

 

Menonton film adalah menonton Indonesia yang beragam, dengan segala kemungkinan baru yang ditawarkan oleh kekinian kita. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar