Selasa, 13 April 2021

 

Agama, Intoleransi, dan Terorisme

Andreas Sihotang ; Mahasiswa S-3 di Truman School of Government and Public Affairs, University of Missouri, Columbia, AS

                                                         KOMPAS, 13 April 2021

 

 

                                                           

Di penghujung Maret, masyarakat Indonesia dikejutkan oleh aksi teror di dua tempat. Hari Minggu, 28 Maret, pasangan suami-istri yang masih berusia muda meledakkan diri di depan Gereja Katedral Makassar. Rabu, 31 Maret, seorang perempuan muda melepaskan beberapa tembakan di area Mabes Polri.

 

Perempuan ini akhirnya ditembak mati oleh polisi. Walaupun berbeda lokasi, kedua peristiwa yang terjadi dalam waktu yang cukup berdekatan ini mempunyai kesamaan.

 

Salah satunya adalah surat wasiat yang ditinggalkan pelaku kepada keluarganya. Para pelaku ini meyakini bahwa apa yang dilakukan adalah sesuai dengan jalan Tuhan dan ajaran agamanya. Mereka juga mewanti-wanti keluarganya untuk tak berurusan dengan bank yang diyakini tak sesuai dengan ajaran agama dan jalan Tuhan.

 

Agama dan terorisme

 

Keyakinan para pelaku seperti ini tentu saja bertentangan dengan pernyataan bahwa pelaku teror tidak beragama, atau terorisme tidak berkaitan dengan agama mana pun. Pernyataan ini lazim dikumandangkan usai suatu peristiwa terorisme, sebagaimana disampaikan Presiden Jokowi setelah peristiwa bom Makassar.

 

Mungkin saja hal ini disampaikan untuk mengingatkan semua pelaku dan pendukung terorisme bahwa tindakan mereka tidak mendapat pembenaran dalam agama mana pun.

 

Sayangnya, pernyataan ini hanya disampaikan ketika sudah ada tindakan teror dan sudah ada korban. Akan lebih baik jika pemerintah dan terutama pemuka agama dan lembaga agama seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), misalnya, selalu menggaungkan pernyataan ini dalam setiap kesempatan, bukan hanya saat sesudah terjadi peristiwa teror.

 

Pernyataan yang disampaikan setelah kejadian, bahwa pelaku teror tak beragama atau tak ada kaitan antara teror dan agama mana pun, hanya membawa kesan menghindar dari tanggung jawab, atau cuci tangan. Di negara di mana pelaku terorisme terafiliasi dengan kelompok minoritas, pernyataan seperti ini bertujuan untuk melindungi kelompok minoritas itu dari pembalasan dan stigma kelompok mayoritas.

 

Karena itu, ada istilah ”Islamofobia” di Amerika, yang tidak cocok kalau digunakan di Indonesia. Di negara di mana pelaku teror terafiliasi dengan kelompok mayoritas, pernyataan seperti ini seakan upaya ”denial” atau pengingkaran, dan menghindar dari tanggung jawab.

 

Hasil survei persepsi dan sikap generasi muda (usia 18-30 tahun) terhadap intoleransi dan ekstremisme tahun 2020 yang dilakukan INFID di enam kota besar di Indonesia, misalnya, menemukan bahwa walaupun lebih dari 90 persen responden tak menyetujui tindakan ekstremisme berbasis agama, survei juga menemukan tingkat persetujuan yang cukup tinggi atas narasi dan kasus intoleransi.

 

Sebagai contoh, hampir 40 persen responden yang beragama Islam setuju dan sangat setuju dengan narasi bahwa sudah semestinya semua aspek kehidupan mengikuti aturan Islam, karena Islam adalah agama terbesar; 10 persen responden menyatakan tidak tahu; dan hanya sekitar 50 persen yang menyatakan tidak setuju dan sangat tidak setuju.

 

Proporsi yang hampir sama didapati juga untuk narasi-narasi lain seperti pemeluk agama selain Islam termasuk golongan kafir, dan bahwa Ahmadiyah dan Syiah mengajarkan agama Islam secara sesat sehingga sebaiknya tidak tumbuh. Ketika diminta untuk menyebutkan tokoh Islam yang diidolakan, kebanyakan nama yang disebut responden Muslim adalah mereka yang selama ini dianggap sebagai pembawa narasi eksklusivisme Islam.

 

Tahun 2017, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta juga melakukan survei yang menunjukkan lebih dari 50 persen responden mahasiswa/siswa Muslim memiliki opini intoleran terhadap Ahmadiyah dan Syiah, dan lebih dari sepertiga responden memiliki opini intoleran terhadap pemeluk agama lain. Hampir 60 persen responden bahkan memiliki pandangan keagamaan radikal.

 

Pendidikan keagamaan dianggap sebagai faktor yang memengaruhi mereka. Pandangan seperti ini bukan hanya ada di kalangan siswa. Hasil survei PPIM lainnya terhadap guru beragama Islam menunjukkan lebih dari dua pertiga responden setuju bahwa Islam adalah satu-satunya solusi untuk mengatasi segala persoalan masyarakat, pemerintah harus memberlakukan syariat Islam bagi para pemeluknya, dan umat Islam wajib memilih pemimpin yang memperjuangkan penerapan syariat Islam.

 

Agama dan sikap intoleran

 

Kita bisa bertanya lebih jauh, cara beragama atau cara mengajarkan agama seperti apa yang menyebabkan seseorang mendukung sikap intoleran, atau bahkan mau melakukan tindakan terorisme dan ekstremisme berbasis agama?

 

Karena pada kenyataannya, ada juga kelompok responden atau masyarakat yang tidak setuju atau sangat tidak setuju pada narasi-narasi dan kasus-kasus intoleran.

 

Salah satu penjelasannya adalah ketika agama diajarkan dengan penekanan pada klaim kebenaran dan supremasi agamanya terhadap ajaran agama lainnya, hal itu menumbuhkan sikap eksklusif dan intoleran, yang pada gilirannya dapat menumbuhkan pandangan dan sikap radikal, bahkan dukungan dan kemauan untuk melakukan tindakan terorisme atau ekstremisme berbasis agama.

 

Sebenarnya ada banyak contoh nyata bagaimana agama ditafsirkan, diajarkan, dan dipraktikkan dengan penekanan pada sikap eksklusif dan intoleran.

 

Salah satu contoh adalah ceramah-ceramah yang menekankan pada keburukan agama lain yang bertebaran di berbagai media sosial, dan dilakukan tokoh agama yang digandrungi banyak orang, terutama anak muda. Contoh lain, organisasi-organisasi agama yang juga menekankan pada sikap eksklusif dan intoleran dan diikuti banyak anak muda.

 

Kebijakan-kebijakan diskriminatif yang dibuat di sekolah dan universitas juga merupakan contoh lainnya. Dan jangan lupa, ada juga pembangunan dan penjualan perumahan yang diskriminatif, atau dikhususkan untuk masyarakat dari agama tertentu saja.

 

Masih banyak contoh lainnya lagi, seperti penolakan pembangunan rumah ibadah agama lain, penolakan pemakaman pemeluk agama yang berbeda, dan praktik-praktik politisasi agama dalam perhelatan pemilu. Semua ini dapat berkontribusi pada sikap eksklusif dan intoleran, yang bermuara pada radikalisme dan bahkan terorisme.

 

Jadi, bagaimana menangkal dan mencegah terorisme? Mulailah dengan menyebarkan secara lebih masif penafsiran dan ajaran-ajaran agama yang menekankan pada inklusivitas, toleransi, dan kerja sama dalam perbedaan. Media sosial dapat digunakan untuk menyebarkannya. Sikap dan perilaku yang intoleran dan menolak keberagaman perlu diluruskan.

 

Walaupun agak terlambat, saya sependapat dan mendukung surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri untuk menangkal kebijakan-kebijakan diskriminatif di dunia pendidikan. Begitu juga dengan pembubaran HTI dan FPI.

 

Pemerintah melalui Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan juga lembaga-lembaga agama seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan MUI sebenarnya bisa menginisiasi dan menggalakkan program-program yang mendorong inklusivitas, toleransi, dan kerja sama dalam perbedaan, terutama di kalangan remaja dan anak muda yang selama ini sudah terpapar radikalisme.

 

Olahraga, seni dan budaya, sains, dan bahkan kegiatan berbasis keagamaan bisa dijadikan media untuk mendorong inklusivitas, toleransi, dan kerja sama dalam perbedaan.

 

Sebagaimana pepatah lama, tak kenal maka tak sayang. Semua kegiatan yang dapat menjembatani mereka yang berbeda agama akan membantu menangkal intoleransi, radikalisme, dan terorisme. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar