Agama,
Intoleransi, dan Terorisme Andreas Sihotang ; Mahasiswa
S-3 di Truman School of Government and Public Affairs, University of
Missouri, Columbia, AS |
KOMPAS,
13 April
2021
Di penghujung Maret, masyarakat Indonesia
dikejutkan oleh aksi teror di dua tempat. Hari Minggu, 28 Maret, pasangan
suami-istri yang masih berusia muda meledakkan diri di depan Gereja Katedral
Makassar. Rabu, 31 Maret, seorang perempuan muda melepaskan beberapa tembakan
di area Mabes Polri. Perempuan ini akhirnya ditembak mati oleh
polisi. Walaupun berbeda lokasi, kedua peristiwa yang terjadi dalam waktu
yang cukup berdekatan ini mempunyai kesamaan. Salah satunya adalah surat wasiat yang
ditinggalkan pelaku kepada keluarganya. Para pelaku ini meyakini bahwa apa
yang dilakukan adalah sesuai dengan jalan Tuhan dan ajaran agamanya. Mereka
juga mewanti-wanti keluarganya untuk tak berurusan dengan bank yang diyakini
tak sesuai dengan ajaran agama dan jalan Tuhan. Agama
dan terorisme Keyakinan para pelaku seperti ini tentu
saja bertentangan dengan pernyataan bahwa pelaku teror tidak beragama, atau
terorisme tidak berkaitan dengan agama mana pun. Pernyataan ini lazim
dikumandangkan usai suatu peristiwa terorisme, sebagaimana disampaikan
Presiden Jokowi setelah peristiwa bom Makassar. Mungkin saja hal ini disampaikan untuk
mengingatkan semua pelaku dan pendukung terorisme bahwa tindakan mereka tidak
mendapat pembenaran dalam agama mana pun. Sayangnya, pernyataan ini hanya disampaikan
ketika sudah ada tindakan teror dan sudah ada korban. Akan lebih baik jika
pemerintah dan terutama pemuka agama dan lembaga agama seperti Majelis Ulama
Indonesia (MUI), misalnya, selalu menggaungkan pernyataan ini dalam setiap
kesempatan, bukan hanya saat sesudah terjadi peristiwa teror. Pernyataan yang disampaikan setelah
kejadian, bahwa pelaku teror tak beragama atau tak ada kaitan antara teror
dan agama mana pun, hanya membawa kesan menghindar dari tanggung jawab, atau
cuci tangan. Di negara di mana pelaku terorisme terafiliasi dengan kelompok
minoritas, pernyataan seperti ini bertujuan untuk melindungi kelompok
minoritas itu dari pembalasan dan stigma kelompok mayoritas. Karena itu, ada istilah ”Islamofobia” di
Amerika, yang tidak cocok kalau digunakan di Indonesia. Di negara di mana
pelaku teror terafiliasi dengan kelompok mayoritas, pernyataan seperti ini
seakan upaya ”denial” atau pengingkaran, dan menghindar dari tanggung jawab. Hasil survei persepsi dan sikap generasi
muda (usia 18-30 tahun) terhadap intoleransi dan ekstremisme tahun 2020 yang
dilakukan INFID di enam kota besar di Indonesia, misalnya, menemukan bahwa
walaupun lebih dari 90 persen responden tak menyetujui tindakan ekstremisme
berbasis agama, survei juga menemukan tingkat persetujuan yang cukup tinggi
atas narasi dan kasus intoleransi. Sebagai contoh, hampir 40 persen responden
yang beragama Islam setuju dan sangat setuju dengan narasi bahwa sudah
semestinya semua aspek kehidupan mengikuti aturan Islam, karena Islam adalah
agama terbesar; 10 persen responden menyatakan tidak tahu; dan hanya sekitar
50 persen yang menyatakan tidak setuju dan sangat tidak setuju. Proporsi yang hampir sama didapati juga
untuk narasi-narasi lain seperti pemeluk agama selain Islam termasuk golongan
kafir, dan bahwa Ahmadiyah dan Syiah mengajarkan agama Islam secara sesat
sehingga sebaiknya tidak tumbuh. Ketika diminta untuk menyebutkan tokoh Islam
yang diidolakan, kebanyakan nama yang disebut responden Muslim adalah mereka
yang selama ini dianggap sebagai pembawa narasi eksklusivisme Islam. Tahun 2017, Pusat Pengkajian Islam dan
Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta juga melakukan survei yang menunjukkan lebih
dari 50 persen responden mahasiswa/siswa Muslim memiliki opini intoleran
terhadap Ahmadiyah dan Syiah, dan lebih dari sepertiga responden memiliki
opini intoleran terhadap pemeluk agama lain. Hampir 60 persen responden
bahkan memiliki pandangan keagamaan radikal. Pendidikan keagamaan dianggap sebagai
faktor yang memengaruhi mereka. Pandangan seperti ini bukan hanya ada di
kalangan siswa. Hasil survei PPIM lainnya terhadap guru beragama Islam
menunjukkan lebih dari dua pertiga responden setuju bahwa Islam adalah
satu-satunya solusi untuk mengatasi segala persoalan masyarakat, pemerintah
harus memberlakukan syariat Islam bagi para pemeluknya, dan umat Islam wajib
memilih pemimpin yang memperjuangkan penerapan syariat Islam. Agama
dan sikap intoleran Kita bisa bertanya lebih jauh, cara
beragama atau cara mengajarkan agama seperti apa yang menyebabkan seseorang
mendukung sikap intoleran, atau bahkan mau melakukan tindakan terorisme dan
ekstremisme berbasis agama? Karena pada kenyataannya, ada juga kelompok
responden atau masyarakat yang tidak setuju atau sangat tidak setuju pada
narasi-narasi dan kasus-kasus intoleran. Salah satu penjelasannya adalah ketika
agama diajarkan dengan penekanan pada klaim kebenaran dan supremasi agamanya
terhadap ajaran agama lainnya, hal itu menumbuhkan sikap eksklusif dan
intoleran, yang pada gilirannya dapat menumbuhkan pandangan dan sikap
radikal, bahkan dukungan dan kemauan untuk melakukan tindakan terorisme atau
ekstremisme berbasis agama. Sebenarnya ada banyak contoh nyata
bagaimana agama ditafsirkan, diajarkan, dan dipraktikkan dengan penekanan
pada sikap eksklusif dan intoleran. Salah satu contoh adalah ceramah-ceramah
yang menekankan pada keburukan agama lain yang bertebaran di berbagai media
sosial, dan dilakukan tokoh agama yang digandrungi banyak orang, terutama
anak muda. Contoh lain, organisasi-organisasi agama yang juga menekankan pada
sikap eksklusif dan intoleran dan diikuti banyak anak muda. Kebijakan-kebijakan diskriminatif yang
dibuat di sekolah dan universitas juga merupakan contoh lainnya. Dan jangan
lupa, ada juga pembangunan dan penjualan perumahan yang diskriminatif, atau
dikhususkan untuk masyarakat dari agama tertentu saja. Masih banyak contoh lainnya lagi, seperti
penolakan pembangunan rumah ibadah agama lain, penolakan pemakaman pemeluk
agama yang berbeda, dan praktik-praktik politisasi agama dalam perhelatan
pemilu. Semua ini dapat berkontribusi pada sikap eksklusif dan intoleran,
yang bermuara pada radikalisme dan bahkan terorisme. Jadi, bagaimana menangkal dan mencegah
terorisme? Mulailah dengan menyebarkan secara lebih masif penafsiran dan
ajaran-ajaran agama yang menekankan pada inklusivitas, toleransi, dan kerja
sama dalam perbedaan. Media sosial dapat digunakan untuk menyebarkannya.
Sikap dan perilaku yang intoleran dan menolak keberagaman perlu diluruskan. Walaupun agak terlambat, saya sependapat
dan mendukung surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri untuk menangkal
kebijakan-kebijakan diskriminatif di dunia pendidikan. Begitu juga dengan
pembubaran HTI dan FPI. Pemerintah melalui Kementerian Agama dan
Kementerian Pendidikan juga lembaga-lembaga agama seperti Nahdlatul Ulama
(NU), Muhammadiyah, dan MUI sebenarnya bisa menginisiasi dan menggalakkan
program-program yang mendorong inklusivitas, toleransi, dan kerja sama dalam
perbedaan, terutama di kalangan remaja dan anak muda yang selama ini sudah
terpapar radikalisme. Olahraga, seni dan budaya, sains, dan
bahkan kegiatan berbasis keagamaan bisa dijadikan media untuk mendorong
inklusivitas, toleransi, dan kerja sama dalam perbedaan. Sebagaimana pepatah lama, tak kenal maka
tak sayang. Semua kegiatan yang dapat menjembatani mereka yang berbeda agama
akan membantu menangkal intoleransi, radikalisme, dan terorisme. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar