Rekomendasi
Ombudsman RI
Ahmad Suaedy ; Anggota Ombudsman RI
|
KOMPAS,
03 April
2018
Penyerahan Laporan Hasil
Akhir Pemeriksaan (LHAP) dalam kasus penataan Tanah Abang yang bisa berkonsekuensi
rekomendasi oleh Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya (nama resmi dari
perwakilan Ombudsman di DKI) kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menuai
kontroversi. Ada yang pesimistis dan ada yang optimistis, serta ada yang
mengasumsikan bermuatan politis.
Namun, yang lebih banyak
adalah salah paham tentang rekomendasi Ombudsman RI dan juga prosesnya.
Sebuah media memberi judul di acara bincang-bincang yang berkaitan dengan
peristiwa tersebut dengan judul “Ombudsman Mengancam Anies Baswedan?” Memang
ada tanda tanya di situ, tetapi hal itu menunjukkan bukan saja bombastis dan
salah mengerti tentang proses di dalam Ombudsman RI, melainkan juga tentang
rekomendasi itu sendiri.
Kontroversi tersebut, bagi
penulis, bisa diambil pelajaran bahwa Ombudsman RI masih harus lebih giat
untuk memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat tentang peran,
kewenangan dan tugas Ombudsman RI serta proses di dalamnya kepada masyarakat
luas dan juga kepada pemerintah.
Mandiri
dan tidak berpihak
Prinsip universal yang
harus dipegang ombudsman adalah mandiri dan tidak berpihak. Karena itu
ombudsman hanya ada di negara-negara demokratis. Ombudsman sulit berdiri di
negara otoriter karena di negara seperti itu semua lembaga, apalagi yang
dibiayai negara secara langsung dan utuh, selalu akan dikontrol oleh
pemerintah atau partai politik penguasa. Ombudsman pertama kali berdiri di
Swedia bersamaan berdirinya negara-negara demokrasi di Barat.
Di Indonesia, ombudsman
berdiri pada era reformasi. Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ketika itu
mengantisipasi bahwa reformasi tidak cukup hanya secara politik dan bahkan
dengan peradilan yang mandiri. Salah satu sektor yang paling liat daya
tolaknya dalam menerima reformasi adalah birokrasi. Ombudsman memfokuskan
diri pada pengawasan kerja birokrasi dalam arti luas dalam pelayanan publik.
Yaitu, semua penyelenggara pelayanan publik yang menggunakan dana APBN
seluruhnya atau sebagian atau badan hukum yang ditugaskan oleh negara untuk
melakukan pelayanan publik tertentu, termasuk di dalamnya BUMN dan BUMD.
Namun, ombudsman bukanlah
penegak hukum melainkan penegak keadilan. Oleh karena itu tidak relevan jika
kerja-kerja ombudsman diukur hanya dengan hukum. Ukuran keberhasilan
ombudsman juga tidak bisa hanya diukur dengan kriteria hukum. Ombudsman
bisa melampaui teks hukum jika teks itu bertentangan dengan keadilan atau
diskriminatif terhadap kelompok tertentu. Hal itu bisa dilakukan dengan
memberi saran atau bagian dari rekomendasi untuk mengubahnya sehingga menjadi
adil dan tidak diskriminatif, baik kepada penyelenggara pelayanan publik
tertentu, kepada pemerintah di semua tingkatan, maupun DPR dan DPRD.
Kekuatan
rekomendasi
Rekomendasi, menurut UU No
37/2008 tentang Ombudsman RI, hanyalah salah satu cara Ombudsman dalam
menyelesaikan masalah. Empat cara lainnya adalah konsiliasi, mediasi,
ajudikasi khusus, dan saran, yang keseluruhannya sering disebut sebagai
Ombudsman Way. Rekomendasi bisa dikatakan ujung dari proses penyelesaian
laporan masyarakat (LM), karena itu tidak semua LM diselesaikan hingga
tingkat rekomendasi.
Setelah melalui
verifikasi, LM terlebih dahulu diperiksa dan dikomunikasikan dengan terlapor
dan pelapor serta instansi terkait untuk didapat data yang akurat tentang
problem masalah yang dilaporkan. Dan, jika mungkin, diselesaikan melalui
pembicaraan baik konsiliasi atau mediasi. Laporan masyarakat pun bisa ditolak
oleh Ombudsman sebelum diproses jika tidak memenuhi kriteria administrasi
pelaporan dan tidak ditemukan maladministrasi atau bukan kewenangan
Ombudsman.
Dalam kasus-kasus yang
bersifat individual, banyak sekali LM yang bisa diselesaikan dengan
komunikasi melalui SMS, WhatsApp atau telepon dan bertemu langsung ketika
pihak terlapor telah menyadari kesalahannya dan segera mengoreksi
kebijakannya. Sebaliknya, pelapor ternyata mau menerima penyelesaian
tersebut. Karena itu, Ombudsman RI tidak banyak mengeluarkan rekomendasi
karena lebih banyak diselesaikan dalam tahap sebelumnya.
Di samping itu,
pemeriksaan terhadap LM yang sudah selesai dan ditentukan maladministrasinya
juga dikomunikasikan dengan pihak terlapor berupa LHAP, sehingga terlapor
bisa menyelesaikan masalah sebelum dikeluarkan rekomendasi. Jadi, ketika Plt
Kepala Perwakilan Ombudsman Jakarta Raya mengatakan kalau LHAP tidak
ditindaklanjuti oleh terlapor maka akan dikeluarkan rekomendasi sama sekali
bukan ancaman, melainkan sedang menjelaskan prosedur normal yang ada di
Ombudsman RI.
Dengan demikian, Ombudsman
sebenarnya bukan sebagai pemutus masalah sebagaimana dalam proses hukum,
melainkan sebagai fasilitator pencarian penyelesaian (problem solving).
Sanksi
bagi terlapor
Salah satu hal yang
dipersoalkan oleh publik adalah seberapa besar kekuatan rekomendasi yang
dikeluarkan oleh Ombudsman RI terhadap terlapor. Lagi-lagi hal ini tidak bisa
diukur sebagaimana dalam proses hukum atau pengadilan yang bisa secara
langsung memberikan vonis sanksi dan eksekusi terhadap salah satu pihak yang
diputus bersalah. Di sinilah perbedaan besar antara ombudsman dan proses
hukum atau pengadilan.
Sanksi dalam proses ombudsman,
khususnya terkait rekomendasi, bukan berada di Ombudsman RI melainkan berada
di penyelenggara pelayanan publik itu sendiri. Karena itulah ombudsman sering
disebut sebagai magistatur of infulence, pendekatan pengaruh. Namun ada
faktor lain yang membuat rekomendasi Ombudsman RI efektif, yaitu kepemimpinan
dan ketegasan dari lembaga penyelenggara pelayanan publik itu sendiri.
Sebagaimana disebutkan di
atas, bahwa sanksi bagi yang mengabaikan rekomendasi Ombudsman RI berada di
lembaga penyelenggara pelayanan publik, hal itu mengacu UU No 25/2009 tentang
Pelayanan Publik. Di sana disebutkan bahwa semua penyelenggara pelayanan
publik diwajibkan untuk menyediakan pengaduan dan pengelolaan pengaduan. Di
dalamnya terkandung sanksi bagi yang mengabaikan pengaduan dan pelaporan.
Pengabaian rekomendasi Ombudsman RI merupakan bagian dari sanksi tersebut.
Contoh paling jelas dalam
hal ini adalah Pasal 351 ayat 4 dan 5 UU No 23/2014 tentang Pemerintahan
Daerah. Pasal ini memuat tentang kewajiban pengelolaan pengaduan dan
pelaporan pemerintah daerah. Pasal tersebut menyebutkan kewajiban bagi kepala
daerah untuk melaksanakan rekomendasi Ombudsman RI. Bagi yang tidak
melaksanakannya bisa dikenakan sanksi berupa pembinaan khusus oleh
Kementerian Dalam Negeri, sementara tugas dan kewenangannya dialihkan
sementara kepada wakil atau orang yang ditunjuk. Dengan kata lain, sanksi itu
cukup berat, berupa penonaktifan untuk pembinaan.
Dengan demikian, sampai di
sini bisa disimpulkan bahwa ketika rekomendasi Ombudsman RI tidak
dilaksanakan oleh terlapor atau penyelenggara pelayanan publik, maka
sesungguhnya masalah bukan semata berada di dalam Ombudsman RI, melainkan
karena rapuhnya dan ketidakpedulian kepemimpinan penyelenggara pelayanan
publik sebagai terlapor.
Di samping itu, ada
yurisprudensi di mana rekomendasi Ombudsman sebagai dasar pertimbangan dalam
amar putusan hakim dalam kasus Pengadilan Negeri Palu, Nomor
87/Pdt.G/2014/PN.Pal. Hakim mengabulkan tuntutan dalam kasus perdata dengan
alasan pihak lawan “melawan negara” karena mengabaikan rekomendasi
Ombudsman RI. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar