Melawan
Politik Ketakutan
Hendardi ; Ketua Badan Pengurus SETARA Institute
|
KOMPAS,
03 April
2018
Fenomena kontestasi elit
menjelang perhelatan elektoral 2018 dan 2019 belakangan ini mengarah pada
utilisasi politik ketakutan (politics of fear).
Propaganda politik untuk
membangun ketakutan kolektif publik tersebut telah menjauhkan ruang diskursus
publik dari pertarungan gagasan dan narasi politik yang menggugah dan
menyemangati (encouraging).
Terdapat dua instrumen
‘politik segala cara’ yang aktual dan potensial digunakan untuk menyebar
ketakukan publik berkaitan dengan politik elektoral, yaitu sentimen rasial
dan politisasi agama. Keduanya digunakan secara sistematis oleh kekuatan politik
untuk meraih kekuasaan.
Tuduhan pengibulan yang
dilontarkan oleh politisi sepuh Amien Rais berkaitan dengan distribusi
sertifikat tanah rakyat menurut penulis bukan hanya merupakan bombastisme
wacana politik yang miskin data semata, namun lebih dari itu sebenarnya
merupakan pintu masuk untuk melepaskan dua ‘peluru politik’ sekaligus;
delegitimasi program pemerintah Joko Widodo dan problematisasi kesenjangan
ekonomi dalam bentuk gap penguasaan tanah.
Begitu pun halnya dengan
statemen Indonesia bubar tahun 2030 yang dilontarkan oleh Ketua Umum Partai
Gerindra Prabowo. Secara obyektif, ‘prediksi’ itu jelas fiksi (apalagi diakui
oleh sang pemberi pesan bahwa sumber pesannya adalah novel) yang fakir data
penunjang dan cenderung delusif.
Pernyataan tersebut juga
bukan hanya ekspresi pesimisme dan sinyal kewaspadaan. Namun lebih dari itu,
‘peluru politik’ yang dimuntahkan jelas dimaksudkan untuk menyasar
pemerintahan Presiden Jokowi agar tercitrakan gagal mengatasi segregasi
sosial serta tidak mampu menjaga kohesi sosial maupun integrasi nasional. Ujungnya,
tentu saja mempersoalkan kesenjangan penguasaan aset nasional juga sebagai
pemicu ‘bubarnya’ negara.
Politik
rasial
Dengan demikian, baik
narasi ‘pengibulan distribusi sertifikat tanah rakyat’ maupun ‘Indonesia
Bubar 2030’ sejatinya sama-sama ingin mengetengahkan pesan bahwa integrasi
nasional berada dalam ancaman super serius karena kesenjangan ekonomi dan
penguasan aset strategis nasional oleh segelintir orang. Target elektoralnya
tentu menurunnya elektabilitas Jokowi. Namun demikian, jangan dilupakan,
dampak logis yang pasti berkembang adalah meningkatnya sentimen, kemarahan,
dan kebencian rasial terhadap anak bangsa beretnis Tionghoa yang saat ini
sudah dipropagandakan secara peyoratif sebagai ‘aseng’.
Sentimen rasial yang
memicu kebencian dan kemarahan antar kelompok pembentuk bangsa Indonesia
tentu harus dihindari sebagai komoditas politik. Jagat politik yang
bersendikan tata karma (fatsun) dan keadaban (civility) idealnya tidak
memberikan ruang bagi kampanye rasial yang memecah belah kohesi sosial
semacam itu.
Perlu dicatat, ‘jualan’
kebencian rasial untuk kepentingan kontestasi kekuasaan mencerminkan
dangkalnya imaginasi politik. Para politisi yang lebih suka mengkatalisasi
kemarahan publik dan ujungnya memicu segregasi sosial melalui hiperbol
politik, apalagi dengan ‘ancaman’ hancurnya Indonesia sebagai rumah bersama,
sesungguhnya sedang membangun bayang-bayang ketakutan publik akan masa depan
kolektif.
Penyelesaian persoalan
kehidupan kebangsaan kita, di tangan para politisi negarawan seperti Soekarno
dan pendiri negara lainnya, pasti akan dilakukan dengan membangun politik
yang mempersatukan, bukan memecah belah.
Kesenjangan ekonomi dan
penguasaan tanah merupakan persoalan nyata rumah bersama, namun tidak logis
kalau penyelesaiannya dilakukan dengan cara membakar sentimen sosial yang
dapat merobohkan rumah bersama itu.
Dalam sejarah perjalanan
politik kita, ketakutan, kebencian, dan kemarahan berbasis sentimen rasial
pada tahun 1997-1998 telah menyisakan tragedi kemanusiaan yang tidak boleh
terulang. Perkosaan massal terhadap para perempuan beretnis Tionghoa pada
masa reformasi—dimana penyelesaian secara adil atas tragedi tersebut tidak
kunjung terjadi—merupakan teror politik rasial yang sangat lebih dari cukup
untuk kita jadikan pelajaran agar tidak terulang.
Politisasi
agama
Selain sentimen rasial,
politisasi agama juga digunakan untuk kepentingan elektoral. Perhelatan
Pilkada, Pemilu, dan Pilpres mulai ramai dengan penggunaan “neraka, kafir,
dan ketidakberkahan” sebagai alat politik pengepul suara (vote getter).
Pilkada 2017 telah menyingkirkan figur “kafir penista agama” melalui
politisasi agama.
Demi kepentingan politik
elektoral, tempat-tempat ibadah dan pengajaran agama dijadikan sebagai ruang
untuk memupuk kebencian terhadap liyan dengan menggunakan doktrin agama.
Selain itu, umat beragama dikondisikan untuk merasa tidak aman dan terancam
oleh posisi politik kelompok agama yang berbeda.
Secara umum, apabila kita
cermati kampanye dan narasi politik yang dibangun oleh para politisi, muncul
kecenderungan mereka untuk menyerang sesama anak bangsa, dengan mengaduk-aduk
emosi primordial terutama ras, etnis, dan agama. Instrumentasi politik ketakutan dalam
kampanye elektoral menunjukkan gejala politik kekuasaan ala Foucalt yang
berwatak hayati, kekuasaan bio (biopower).
Secara literal, biopower
merujuk pada eksistensi kekuasaan tubuh terhadap tubuh yang lain. Kekuasaan
sebuah entitas dibayangkan melekat pada entitas yang lain. Energi kekuasaan
sebuah kelompok terdapat pada kelompok yang lain.
Dalam logika praksis
Foucaltian, untuk memiliki kekuasaan sepenuhnya harus dilakukan dengan
menghabisi kekuasaan yang lain (others).
Dalam konteks itu, ras dan
agama menjadi alat strategis untuk eksperimentasi biopower. Isu rasial (juga
agama) dapat mendorong praktik biopower untuk “membuat kehidupan atau
membiarkan kematian” (Michael Foucault, 2003).
Maka narasi mengenai
perbedaan dan perasaan inferior atau superior terhadap atau di hadapan yang lain
digunakan untuk menentukan siapa yang mesti hidup dan siapa yang harus mati.
Dalam kerangka biopolitis, kematian dan ketiadaan yang lain adalah prasyarat
untuk kehidupan dan keberadaan suatu kelompok politik.
Begitulah kira-kira
politik ketakutan bekerja dalam dinamika elektoral kita. Isu ras dan agama
digunakan oleh kekuatan politik tertentu untuk meminggirkan, mengeksklusi,
menundukkan, bahkan membunuh yang lain demi eksistensi dirinya.
Menghabisi
Upaya meraih kekuasaan
kemudian dilakukan dengan cara keras, kasar, dan menghabisi. Kontestasi
elektoral bukan dilakukan dengan menghidupkan iklim kompetisi politik yang
berbasis keadaban, tetapi dengan kampanye hitam, hoaks, ujaran kebencian dan
ketakutan.
Dampaknya, kohesi sosial
dan integrasi nasional pada gilirannya berada dalam kerawanan akibat
praktik-praktik politik demikian yang dilakukan oleh politisi dan penumpang
gelap politik.
Oleh karena itu, publik
dan politisi-politisi “baru” yang kini terjun ke dalam kancah elektoral
hendaknya melawan tesis politik ketakutan dengan antitesis politik harapan
(politic of hope). Dalam perspektif itu, politik merupakan sarana untuk
mewujudkan harapan bersama akan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih
baik.
Tanpa imajinasi mengenai
harapan akan masa depan, sulit untuk mengikat aneka perbedaan SARA menjadi
kekuatan yang mempersatukan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar