Pilpres
2019 dan Netralitas TNI
Ikhsan Yosarie ; Peneliti Setara Institute, Jakarta
|
KOMPAS,
11 April
2018
Sejumlah nama dengan latar belakang
militer muncul sebagai kandidat calon presiden atau calon wakil presiden
untuk Pemilihan Presiden 2019.
Nama-nama yang muncul dengan latar
belakang militer, mau tidak mau akan mengarahkan perhatian publik kepada
netralitas dan profesionalitas TNI pada Pilpres 2019 nanti. Meskipun status para
calon telah purnawirawan, namun semangat korps mereka akan tetap ada.
Di sisi lain, fenomena ini dapat
berarti dua hal. Pertama, pemimpin dengan latar belakang militer tetap
menjadi primadona dalam perpolitikan nasional. Kedua, masyarakat Indonesia membutuhkan
alternatif pemimpin dengan latar belakang militer untuk diperbandingkan
dengan pemimpin dengan latar belakang sipil. Perbandingan ini muncul lantaran
perbedaan latar belakang dari masing-masing calon pemimpin, yang kemudian
memengaruhi cara berpikir dan watak pemimpin itu.
Pilihan
terbanyak
Dalam survei yang dilakukan
Political Communication (Polcomm) Institute, ditemukan bahwa militer menjadi
pilihan terbanyak masyarakat sebagai latar belakang calon wakil presiden.
Dalam rilisnya, sebanyak 31,65 persen responden memilih militer sebagai latar
belakang calon wakil presiden. Baru kemudian 17,96 persen memilih politikus,
16,26 persen memilih profesional, dan 13,59 persen memilih tokoh agama
sebagai latar belakang calon wakil presiden.
Dalam survei tersebut, muncul
empat nama dengan latar belakang militer, yaitu Agus Harimurti Yudhoyono
(AHY), Gatot Nurmantyo, Moeldoko, dan Agum Gumelar. AHY menempati posisi
pertama dalam bursa cawapres 2019 dengan pilihan responden 24,08 persen dan
Jenderal Gatot Nurmantyo pada posisi ketiga dengan 18,92 persen, di bawah
nama Ketua MPR RI Zulkifli Hasan (20,08 persen).
Calon wakil presiden dari kalangan
militer dinilai cocok untuk mendampingi Joko Widodo sebagai calon presiden
pada Pilpres 2019. Di luar konteks popularitas nama cawapres di atas, latar
belakang belakang militer seakan telah menjadi modal sosial politik dalam
pemilu. Sifat tegas menjadi salah satu modal tersebut.
Namun, pada dasarnya sifat tegas
bukan hanya dimiliki oleh militer, sipil pun juga memiliki sifat tegas. Hanya
saja, dengan latar belakang yang berbeda, disertai pengalaman-pengalaman
ketika aktif pada posisi terdahulu, sifat tegas muncul dengan dimensi yang
berbeda-beda. Ketegasan tersebut akan diuji dalam politik praktis, yaitu
ketika pengambilan keputusan.
Tarik ulur kepentingan, saling
menjaga peluang, dan hal-hal lain yang membuat keputusan tersebut sulit
tercapai menjadi semacam “arena” untuk menilai ketegasan pemimpin. Dalam hal
ini, pola-pola ketegasan (apakah memilah-milah kasus) dan juga orientasi
ketegasannya akan dinilai oleh masyarakat, dan kemudian diperbandingkan.
Sehingga, masyarakat akan tau perbedaan ketegasan pemimpin berlatar belakang
sipil dengan pemimpin berlatar belakang militer. Meskipun kedua pemimpin
sama-sama sipil, tetapi untuk keperluan perbandingan, latar belakang tentu
menjadi salah satu poin penting.
Sementara, untuk calon presiden,
sosok dengan latar belakang militer ada pada Probowo Subianto yang berpotensi
maju pada Pilpres 2019 nanti. Sejauh ini, selain Joko Widodo sebagai
petahana, tercatat hanya Prabowo yang berpotensi besar untuk maju pada
Pilpres 2019. Meskipun demikian, potensi untuk munculnya calon lain, misalnya
nama mantan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo yang pensiun sebagai
prajurit TNI per 1 April 2018, ataupun poros ketiga, tetap terbuka.
Jembatan
komunikasi
Keinginan masyarakat agar
orang-orang dengan latar belakang militer terlibat politik praktis, tentu
harus disikapi secara negarawan oleh pihak politisi sipil dan militer. Kedua
pihak jangan sampai memanfaatkan fenomena ini untuk kepentingan kelompok,
yang nantinya justru merusak reformasi militer dan demokrasi. Misalnya,
politisi sipil berupaya menarik militer ke arah politik praktis, kemudian
membangun wacana untuk mengembalikan hak politik militer dengan deal-deal
politik tertentu bersama jenderal-jenderal yang ingin terlibat politik
praktis.
Dari sisi militer, oknum-oknum
jenderal melakukan kegiatan-kegiatan yang mendekatkan dirinya dengan politik
praktis, atau dengan elemen-elemen yang berada di jalur politik praktis,
seperti partai politik dan calon kepala daerah. Ini tentu berpotensi merusak
netralitas dan profesionalitasnya dalam bertugas.
Kelompok penguasa tentu dapat
dengan leluasa melakukan infiltrasi politik kedalam tubuh intitusi militer.
Campur tangan dalam birokrasi internal militer, atau bahkan campur tangan
dalam hal kenaikan pangkat bisa menjadi salah satu target yang ingin diincar
penguasa demi menciptakan utang politik perwira militer tersebut kepada
penguasa. Dalam konteks relasi sipil-militer, bisa kita pahami bahwa masuknya
purnawirawan jenderal ke dalam politik praktis dan struktur pemerintahan
memiliki potensi untuk mengantisipasi terciptanya relasi yang negatif antara
penguasa dengan militer, serta menjaga supremasi sipil.
Dalam fenomena ini, purnawirawan
militer bisa menjadi jembatan atau penengah antara politisi sipil dengan
militer. Status sebagai purnawirawan militer, menempatkan mereka berada di
tengah. Di satu sisi mereka telah menjadi sipil, sementara di sisi lain jiwa
dan semangat korpsnya masih militer. Sehingga, seharusnya purnawirawan
militer mampu menjadi jembatan yang menghubungkan komunikasi antara
pemerintah sipil dan militer dan menjadi penengah jika terjadi miskomunikasi
antar kedua belah pihak.
Lebih dari itu, purnawirawan
militer juga harus mampu menjadi pelindung dari upaya politisi sipil untuk
merusak reformasi militer atau upaya oknum militer melanggar netralitas dan
profesionalitas TNI sebagai alat negara. Jiwa militer dan Esprit de Corps yang
dimiliki para purnawirawan, akan muncul demi memagari netralitas,
profesionalitas, dan harga diri korpsnya. Purnawirawan jenderal harus
mengambil peran dalam menjaga konsolidasi demokrasi yang telah diperjuangkan
pasca-Orde Baru runtuh.
Arah perhatian juga tidak bisa
dilepaskan dari orientasi politik purnawirawan militer. Bagaimanapun, meski
statusnya telah sipil, secara jiwa dan korps mereka tetaplah militer, seperti
ungkapan bahwa old soldier never die, they just fade away. Kedekatan mereka
dengan perwira tinggi militer juga tidak dapat dimungkiri, selain karena
relasi dan korps, status mereka tetaplah “senior” di militer.
Poinnya adalah, jangan sampai
purnawirawan jenderal mempolitisasi dengan kelebihan-kelebihan tersebut dan
menjadi perpanjangan tangan militer di politik praktis. Maksudnya, ketika
militer tidak boleh lagi terlibat politik praktis, justru purnawirawanlah
yang kemudian menjadi suksesornya. Kedekatan mereka dengan militer, ibarat
pisau bermata dua. Di satu sisi mampu menjaga militer agar tetap pada
jalurnya, atau justru purnawirawan jenderal inilah yang nantinya membangun
basis massa di militer dan kemudian membawanya ke dalam politik praktis. ●
|
Dearest Esteems,
BalasHapusWe are Offering best Global Financial Service rendered to the general public with maximum satisfaction,maximum risk free. Do not miss this opportunity. Join the most trusted financial institution and secure a legitimate financial empowerment to add meaning to your life/business.
Contact Dr. James Eric Firm via
Email: fastloanoffer34@gmail.com
Best Regards,
Dr. James Eric.
Executive Investment
Consultant./Mediator/Facilitator