Hibriditas
Kultural dan Radikalisme
Zuly Qodir ; Sosiolog Universitas Muhammadiyah, Yogyakarta;
Tenaga Ahli UKP Pancasila
|
KOMPAS,
11 April
2018
Survei nasional Pusat Pengembangan
Islam dan Masyarakat UIN Jakarta menemukan bahwa 67,78 persen siswa dan
mahasiswa serta 67,08 persen guru dan dosen menolak jika kepala daerah
non-Muslim (PPIM, 2017)
Media sosial, pergaulan, dan
bacaan sangat penting memengaruhi seseorang dalam perjalanan hidupnya,
termasuk perjalanan kehidupan keagamaan seseorang. Inilah yang menciptakan
hibriditas seseorang sehingga tak jarang terbelah pemikiran dan sikapnya.
Survei PPIM di atas dapat kita
jadikan pijakan untuk membaca fenomena hibriditas identitas dan radikalisme
yang tumbuh menjelang 20 tahun reformasi Indonesia. Ada apa sebenarnya pada
kaum yang sering disebut sebagai generasi Z yang lahir pasca-2000-an? Mereka
inilah yang diperkirakan akan jadi idola bahkan pemimpin masa depan Indonesia
10-20 tahun mendatang.
Nalar
hibriditas
Generasi hibrida tak bisa ditolak
kehadirannya. Dia akan lahir bersama zamannya. Era sudah menunggunya. Oleh
sebab itu, generasi Z tentu akan menjadi bagian dari warga Indonesia yang
tengah compang-camping karena pelbagai persoalan radikalisme keagamaan dan
ekstremisme sosial lainnya.
Kita akan saksikan bagaimana nalar
kaum hibrida bermunculan di tengah masyarakat yang serba gamang ini. Generasi
hibrida adalah generasi yang terlahir karena percampuran ruang dan waktu.
Lanskap realitas yang dibangun adalah lanskap yang nyaris hiperealitas.
Realitas yang nyaris tak mewakili kenyataan kaum ”sepuh”.
Realitas tak beda dengan dunia
maya, sinema, dan sinetron yang bermunculan bak musim hujan dengan menawarkan
khayalan tingkat tinggi dan nyaris tak berpijak realitas kehidupan. Meski
demikian, ia menjadi idola sebagian besar mereka yang terlahir di atas tahun
2000-an.
Selain lanskap realitas yang
nyaris tak terbaca dengan baik oleh generasi sepuh, generasi hibrida juga memiliki
ruang nalar yang berbeda dengan gambaran klasik. Ruang mereka adalah enklave
yang tak terbatas, tanpa batas geografis dan bangsa. Oleh sebab itu, kita
akan mengenal istilah kewargaan global, warga negara dunia.
Hal yang juga tak bisa kita
lewatkan dari generasi hibrida adalah identitas kultural yang bercampur baur
tidak karuan. Dalam bahasa Carrol Kirsteen (2014), dia katakan sebagai
cultural hybridity, yang tidak jelas identitas kulturalnya karena tidak
tunggal, tetapi bercampur baur dari banyak kultur dalam masyarakat. Hal ini
juga oleh Willy Kimclika disebutnya sebagai cultural citizenship, yang akan
menandai terjadinya kebudayaan multikultural dalam sebuah negara (masyarakat
dunia).
Jika terus berkembang apa yang
kita sebut sebagai kebudayaan multikultural, dengan segera kita akan
menyaksikan apa yang dinamakan sebagai kultur hibridasi dari generasi Z di
Indonesia. Mereka memiliki ciri-ciri berbeda dengan generasi sebelumnya, baik
generasi X maupun Y, apalagi generasi sepuh.
Identitas
radikalisme
Bagaimana dengan identitas
kultural yang terbelah dalam kaitannya dengan radikalisme? Mungkinkah kultur
hibrida tersebut akan memengaruhi laju dan menghentikan gerakan radikalisme
agama dalam era sosial media ini?
Era sekarang ini adalah era
digital. Oleh sebab itu, literasi digital tidak bisa ditinggalkan jika tidak
ingin tertinggal dengan generasi Z. Digitalisasi media menjadi kebutuhan
bersama yang nyaris tanpa batas.
Bahkan, jika boleh dikatakan saat
ini kiblat generasi Z adalah gawai (gadget). Gawai jadi ”Tuhan” baru yang
nyaris tidak bisa ditinggalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Identitas radikal dari generasi Z
ini lantas berkembang secara membahana ke mana pun arah kehidupan masyarakat
bergulir. Dari sana kemudian menjadikan generasi Z sebagai kaum hibrida,
memiliki karakter yang senantiasa bimbang-galau, tidak menentu dalam banyak
hal.
Kegalauan-kebimbangan adalah
kosakata paling populer untuk memberikan deskripsi atas generasi hibrida yang
tengah berkembang hebat di masyarakat. Penyebabnya sebenarnya sederhana:
media sosial adalah kiblat utamanya. Tokoh agama, guru, orang tua, teman, dan
tokoh mereka adalah yang muncul dari media sosial.
Pengaruh gawai lebih kuat daripada
tokoh agama konvensional. Orangtua akan ditinggalkan jika tidak menarik
sebagaimana di dalam media sosial yang di dapatkan.
Bahkan, teman sejati itu tidak
akan pernah ada karena media sosial telah mampu menawarkan siapa sesungguhnya
”teman sejati”, yakni hiburan dan lokasilokasi kesenangan lainnya. Meski
demikian, yang paling menarik sekaligus memprihatinkan adalah terjadinya
pembelahan karakteristik dalam hal perilaku keagamaan.
Generasi hibrida pada akhirnya
tampak dalam dua wajah sekaligus. Sebagai seorang yang beragama ingin tampil
sebagai pengikut agama yang saleh-normatif, tetapi sekaligus menjadi generasi
zaman now yang tidak ketinggalan zaman, tidak kuno, dan tidak terbatas pada
retorika kesalehan. Retorika kesalehan harus diakomodasi sekaligus
diperlakukan sebagai mitra dalam kehidupan media sosial dan kenyataan keagamaan.
Pada sisi yang lain, generasi
hibrida ini juga menghadirkan perilaku yang kadang sulit diterima dengan
nalar sederhana. Dia tidak peduli dengan lingkungan sekitar, terutama yang
dianggap tidak memberikan manfaat dalam kehidupannya. Namun, tetap menolak
kehadiran orang yang berbeda agama dan paham (-isme) untuk hidup
berdampingan, hidup menjadi tetangga, bahkan menjadi pemimpinnya.
Bahkan, bukan hanya menolak paham
yang berbeda, melainkan juga kurang memberikan apresiasi atas yang berbeda
dalam masyarakat tetapi tetap bersedia menggunakan produk dari mereka yang
dituduh berbeda secara pemikiran, aliran, dan agama. Inilah keanehan-keanehan
generasi hibrida yang akan jadi penerus generasi sepuh di Indonesia.
Kita tentu berharap pada generasi
hibrida tersebut dalam lanskap yang terbuka, inklusif secara kultural, agama,
dan pergaulan sosial. Jika hal ini bisa terjadi, kekhawatiran bangkitnya radikalisme berbasiskan agama di Indonesia
akan luntur dengan hadirnya generasi hibrida yang memiliki caranya sendiri
menerjemahkan realitas dunia.
Mimpi Indonesia akan terus ada
sampai sehari sebelum kiamat pun akan menjadi kenyataan. Indonesia tidak akan
bubar tahun 2030. Ancaman bubarnya Indonesia pada tahun 2030 adalah racauan
dan kedangkalan pembacaan realitas karena kebencian yang mewakili pikirannya.
Ingat: kita punya banyak generasi
Z yang multifaset dalam membaca kenyataan. Inilah harapan Indonesia ke depan!
●
|
Apakah kamu sudah tau prediksi togel mbah jambrong yang jitu? bila belum baca Prediksi jitu mbah jambrong Sgp
BalasHapus