Krisis
Diplomatik Rusia-Uni Eropa
Dinna Wisnu ; Pemerhati dan Praktisi Hubungan Internasional
|
KOMPAS,
07 April
2018
Hubungan diplomasi Rusia
dan Uni-Eropa (EU) memasuki tingkat terendah tiga dekade terakhir. Putin ditekan setelah belasan diplomat
Rusia dipulangkan dari negara-negara EU. Selama ini hubungan Rusia-EU secara
politik memang pasang surut terutama terkait konflik keterlibatan Rusia dan
EU di beberapa negara bekas Uni Soviet seperti Ukraina, Crimea, dan Georgia.
Ketegangan politik itu bertolak belakang dengan kerja sama ekonomi kuat
antara keduanya di mana Rusia adalah mitra ketiga terbesar bagi EU setelah AS
dan China.
Pasang surut diplomasi
Rusia-EU menunjukkan tak adanya rasa saling percaya sebagai akar masalah
hubungan keduanya belum dapat diselesaikan dengan baik. Rasa saling percaya
ini memang perkara penting dalam diplomasi dan hubungan luar negeri. Hubungan
Rusia-EU bukan seperti hubungan Blok Timur dan Blok Barat pada masa Perang
Dingin. Pada masa lalu, tak ada
hubungan Eropa Timur dan Eropa Barat secara langsung. Kebutuhan
masing-masing negara, terutama ekonomi, dipenuhi atau dilakukan oleh jaringan
negara di dalam bloknya masing-masing.
Menariknya, dalam konteks
Perang Dingin, institusionalisasi kepercayaan justru dapat dibangun karena
mereka yakin masing-masing kubu tak dapat dipercaya sehingga dibangun sebuah prosedur agar menjamin saling
kepatuhan antarmereka.
Sebaliknya ketika hubungan
Rusia-EU justru kian terintegrasi dengan kerja sama ekonomi, ketidakpercayaan
malah mendominasi hubungan mereka. Pendekatan institusionalis liberal
berpandangan bahwa para pihak di dunia pada dasarnya memiliki kepentingan dan
ingin mewujudkan kepentingan itu dalam bentuk
kerja sama internasional.
Rusia-EU telah
menandatangani Partnership and Cooperation Agreement (PCA) tahun 1997 dengan
tujuan mempromosikan perdagangan, investasi dan mengembangkan hubungan
ekonomi yang harmonis. Hubungan ini kian dekat ketika Rusia akhirnya
bergabung ke Organisasi Perdagangan Dunia pada 2012. Rusia menikmati surplus
perdagangan dengan EU terutama dalam soal energi minyak bumi dan gas. EU
mengandalkan 40 persen impor energinya terutama dalam bentuk gas dari Rusia;
Rusia menjadi penyuplai energi terbesar bagi EU.
Beberapa negara anggota EU
seperti Republik Czech, Slovakia, Finlandia, Lithuania, Latvia dan Estonia
hampir 100 persen bergantung dari pasokan Rusia. Oleh sebab itu EU mengecam
keras ketika AS sempat memikirkan memberikan
sanksi ekonomi yang berdampak pada perdagangan energi Rusia-EU. Menarik bahwa kerja sama dan saling
ketergantungan itu tak dapat jadi landasan membangun kepercayaan di antara
Rusia dan EU.
Pandangan institusional
liberal yang mengatakan bahwa kepentingan rasional masing-masing pihak akan mengabaikan adanya ketidakpercayaan
ternyata tak terjadi dan sebaliknya irasionalitas hubungan Rusia-EU justru menguat. Mereka seperti
ingin “saling membuktikan” bahwa mereka tak saling membutuhkan. EU terus memperpanjang sanksi ekonomi
kepada Rusia karena kasus Crimea/Ukraina dengan membekukan keuangan
orang-orang yang dianggap terlibat dalam kasus itu, melarang pejabat Rusia
masuk ke Eropa, menolak negosiasi Rusia yang ingin bergabung dengan OECD dan
Badan Energi Internasional.
Rusia membalas dengan
memberlakukan larangan makanan pada berbagai impor makanan dari UE, AS,
Norwegia, Kanada dan Australia sebagai pembalasan atas sanksi Barat terhadap
Rusia atas perannya dalam konflik Ukraina sejak 2014.
Negara-bangsa
vs negara-supranasionalisme
Kegagalan mengembangkan
rasa saling percaya keduanya memperlihatkan ada masalah struktur dan
mekanisme yang menghadirkan terlembaganya rasa ketakpercayaan. Dari berbagai
faktor, salah satunya adalah kontradiksi
karakter antar negara-negara itu. Rusia adalah negara-bangsa
(nation-state) yang mengutamakan pencapaian kepentingan nasional lewat sistem
nasional yang kuat, sementara EU yang
terdiri dari 28 negara mengutamakan penguatan supranationalism-state untuk
mencapai kepentingan nasional masing-masing anggota.
Karakter nation-state yang
selalu menjaga identitas dan ideologi bangsa sebagai bagian dari proses
menjaga kedaulatan (sovereignity) negara bergesekan dengan
supranationalism-state yang terus memperluas pengaruh baik secara geografis
maupun ideologi. Pergesekan di antara keduanya memanas karena posisi mereka
yang bertetangga secara langsung. EU, misalnya, tak terlalu bermasalah dengan
negara-bangsa yang ada di Asia Tenggara atau dengan China yang juga negara
besar karena potensi ancamannya tak langsung karena jarak yang jauh.
Ideologi EU sebagai supranationalism-state adalah
anti-nasionalisme, sosial demokrasi, pacificism (keyakinan bahwa perselisihan
internasional dapat diselesaikan dengan cara damai) dan lingkungan (Nicola Petrovic, 2015). EU tak melarang setiap negara anggota
memiliki ideologi nasionalismenya masing-masing tetapi ketika berada di EU
maka kepentinganya adalah satu seperti yang disebut di atas. EU tak
mengkampanyekan ideologi nasionalisme tertentu karena belajar dari Perang
Dingin dan Perang Dunia bahwa ideologi nasionalisme telah membawa mereka ke
peperangan sementara dunia kian lama kian terintegrasi dalam hal ekonomi dan
politik.
Oleh sebab itu ideologi EU
terbuka dan memilih terus menambah negara anggota (enlargement) demi
memperkuat postur ekonomi dan politik. Mereka memperluas pengaruh ekonomi dan
politik ke negara lain dalam berbagai bentuk kerja sama. Ada mekanisme
kebijakan untuk menambah keanggotaan
dari dalam benua Eropa sendiri dan juga negara yang ada di perbatasan.
Keanggotaan EU dari benua
Eropa misalnya datang dari negara Eropa Timur dan Tengah bekas Uni Soviet
(Czech, Estonia, Hungaria, Latvia, Lithuania, Polandia, Slovakia, dan
Slovenia), sementara untuk memperluas pengaruh ke negara yang berbatasan
dengan EU ada kebijakan European Neighbourhood Policy (ENP). Kebijakan
ini memberi insentif ekonomi atau
politik kepada negara tetangga tanpa perlu jadi anggota EU. EU, seperti halnya sebuah negara, fokus
kepada pertumbuhan ekonomi dan penguatan produksinya agar lebih efisien dan
efektif. Integrasi negara-negara anggota EU menguat melalui birokrasi dan
kebijakannya yang otoritatif ke dalam dan keluar, dan mengikat pada anggota.
EU punya parlemen.
Cara pikir Rusia berbeda
dengan EU. Rusia secara geografis empat kali lebih luas dari EU dan 1,8 kali
ukuran AS. Sebagai sebuah negara-bangsa ideologi Rusia sangat tergantung dari
identitas mereka sebagai warga Rusia dan
juga secara historis pernah menjadi adidaya. Putin pernah mengeluarkan
“Turn of the Millennium” manifesto yang intinya adalah Patriotisme,
Kekuasaan, dan Statisme. Inti dari manifesto mengembalikan kembali kejayaan
Rusia sebagai negara-bangsa berpengaruh di Eropa.
Rusia mendeterminasikan
dirinya untuk mempertahankan pertahanan dan keamanannya sehingga kerangka
berpikirnya dalam melihat negara lain adalah dalam konteks kawan dan lawan.
Posisi ini membuat Rusia melihat perluasan EU sebagai ancaman. Perluasan EU dikhawatirkan bukan sekadar
perluasan pengaruh sosial-ekonomi tetapi juga militer. Negara-negara anggota
EU juga akan jadi bagian NATO dan NATO hampir didanai oleh AS.
Presiden AS Donald Trump
sendiri pernah mengeluhkan bantuan keuangan AS yang menutupi 70 persen
pengeluaran NATO di Eropa tetapi perdagangan mereka defisit atau tak seperti
diharapkan. Tak heran Rusia ambil bagian dalam konflik di Ukraina yang
menyatakan diri bergabung dengan EU di 2014. Ukraina salah satu wilayah
penting bagi Rusia karena ada pangkalan militer Rusia dan wilayah
denuklirisasi sesuai Memorandum Budapest di mana Ukraina, Rusia, Inggris dan
AS akan menjamin keamanan Ukraina.
Masa
depan Rusia-EU
Dua karakter yang berbeda
antara Rusia-EU bukan masalah yang dapat diselesaikan dengan cepat.
Penyelesaian butuh kedewasaan masing-masing negara. Dunia tentu berharap hubungan Rusia-EU
dapat membaik dan tak kian tajam. Mereka adalah negara-negara yang penting
untuk mewujudkan perdamaian dan stabilitas di sejumlah negara terutama di
Timur Tengah. Mereka juga memiliki legitimasi kuat di dunia karena hak veto yang
dimiliki di Dewan Keamanan PBB. Cukup ironis ketika mereka banyak terlibat
dalam banyak usaha perdamaian dunia tetapi sulit mewujudkan perdamaian di
dalam kawasan mereka sendiri,
Masa depan Rusia-EU juga
tergantung AS. Krisis Rusia-EU menajam ketika AS menarik diri dari Perjanjian
Rudal Antibalistik 2002. Kesepakatan bertujuan mulia agar negara besar tak memproduksi senjata
yang dapat mengancam negara lain. Penarikan AS ini meningkatkan kewaspadaan
dan kecurigaan Rusia terhadap Barat.
Rusia memiliki harapan ketika Trump terpilih sebagai presiden AS
hubungannya menjadi lebih baik. Pendekatan pragmatis Trump untuk lebih fokus
ke masalah ekonomi daripada politik dalam hubungannya dengan negara mitra
sempat dianggap sebagai pintu untuk membangun kepercayaan.
Harapan ini yang dilakukan
oleh Trump terhadap Korea Utara. Trump juga mengatakan menarik diri dari
konflik Suriah beberapa waktu lalu dengan alasan NIIS sudah bisa dikalahkan.
Penarikan diri ini diharapkan mendorong pihak lain seperti Iran atau Rusia
ikut menarik diri. Pendekatan pragmatis AS ini mungkin juga dapat membantu
institusionalisasi rasa saling percaya antara Rusia-EU. EU mungkin juga perlu
membatasi diri memperluas pengaruh mereka dan tak menerima negara baru dalam
EU yang dapat menimbulkan perselisihan atau menimbulkan rasa cemas dari
Rusia.
Kasus Taiwan dan Kosovo,
walaupun tak persis sama, adalah contoh di mana sebagian besar negara memilih
tak mengakui kedaulatan mereka untuk tak mengundang permasalahan yang
mengganggu perdamaian. Rusia juga mungkin perlu menahan diri untuk tak
terlibat konflik internal secara langsung di negara-negara kecil bekas Uni
Soviet. Rusia perlu mengusahakan cara-cara non militer untuk mempertahankan
kedaulatannya. Pesan ini mungkin dapat disampaikan bila Rusia jadi
mengunjungi Indonesia bulan ini. ●
|
Apakah kamu sudah tau prediksi togel mbah jambrong yang jitu? bila belum baca Prediksi jitu mbah jambrong Sgp
BalasHapus