Ihwal
“Kuras Otak”
Handrawan Nadesul ; Dokter; Penulis Buku;
Motivator Kesehatan
|
KOMPAS,
07 April
2018
Disinyalir telah lebih
dari sepuluh tahun sejawat dr Terawan Agus Putranto melakukan tindakan medis
semacam pengurasan pembuluh darah otak. Belum ada istilah medis baku, karena
cara membersihkan pembuluh darah otak tersebut dialah yang menciptakan.
Mungkin tepat disebut
“brain flushing” atau “kuras otak”. Ibarat pipa leding berkarat, pembuluh
darah otak perlu digelontor.
Bagaimana
stroke terjadi
Stroke terjadi bila fungsi
otak terganggu. Fungsi otak terganggu bila pasokan darah yang memberinya
makan mendadak terhenti. Itu bisa terjadi bila pembuluh darah tersumbat. Sumbatan
bisa total bisa sebagian, terbentuk dari atherosclerosis, dan kita
menyebutnya plak.
Plak terbentuk oleh lebih
dari sepuluh faktor risiko, di antaranya, lemak darah (lipid) meninggi,
diabetik, hipertensi, kegemukan, kurang bergerak, peradangan pembuluh,
kebanjiran radikal bebas, tingginya sel pembeku darah platelet, keturunan,
stres, dan lain-lain.
Selain tersumbat plak,
pasokan darah otak terhenti juga bila pembuluh darah otak tiba-tiba pecah.
Penyebabnya bisa adanya anomali pembuluh darah, namun lebih sering karena
lonjakan hipertensi. Ini yang memunculkan jenis stroke perdarahan, bukan
stroke sumbatan.
Penyumbat pembuluh darah
otak kebanyakan datang dari luar otak, berupa
luruhnya pecahan materi plak di tempat lain yang hanyut dalam aliran
darah. Sering berasal dari jantung kalau bukan dari pembuluh darah leher
carotid. Materi yang hanyut ini kita sebut emboli. Emboli mengalir terbawa
darah dari jantung, naik ke otak, menyumbat pembuluh otak, dan terjadilah
stroke.
Bisa juga sumbatan terjadi
di dinding pembuluh darah otak. Seiring pertambahan umur, pembuluh darah otak
menjadi kaku dan keras (arteriosclerosis). Itu sebabnya mengapa stroke pada
usia tua bisa terjadi tanpa perlu hadirnya faktor risiko.
Untuk memahami stroke,
mari kita petakan fungsi otak. Masing-masing fungsi otak ada area provinsi,
selain area kabupaten, kecamatan, dan desa. Tiap area otak bisa terganggu
pasokan darahnya. Berbeda area otak yang terganggu pasokan darahnya, berbeda
jenis strokenya. Berbeda luas area gangguan pasokan darahnya, berbeda derajat
strokenya. Maka jenis stroke bisa lebih dari satu macam.
Ada stroke ringan TIA
(transient ischaemic attack), dalam satu-dua hari akan pulih sendiri. Yang
lazim kita kenal adalah jenis stroke klasik kelumpuhan separuh tubuh. Jenis
stroke lain adalah saat memegang sendok makan, sendok tiba-tiba terjatuh.
Pada otak terpetakan ada
fungsi motorik, sensorik, selain pancaindra dan memori. Tergantung area otak
mana yang terkena, maka tak sama jenis strokenya. Berbeda jenis strokenya,
berbeda pula manifestasi gejalanya.
Stroke pada area sensorik,
yang muncul gangguan perasa. Bila mengenai saraf mata muncul kebutaan. Stroke
pada otak kecil bermanifestasi gangguan keseimbangan dan cara melangkah.
Terapi
stroke
Dunia menyepakati terapi
standar stroke diberikan infus r-TPA (recombinant-Tissue Plasminogen
Activator), zat yang bisa melarutkan sumbatan (thrombolysis), perlu dilakukan
sebelum melewati golden hour, yakni sebelum 3 jam sejak serangan stroke
terjadi. Untuk stroke perdarahan, obat ini tidak diberikan, melainkan
langsung membuka otak mengangkat bekuan darah bila bekuan darah cukup besar.
Sejawat Terawan
memanfaatkan teknik pencitraan pembuluh darah otak DSA (digital substraction
angiography). DSA dulu dipakai sebagai alat diagnostik untuk melihat kelainan
pembuluh darah otak. Ia memodifikasi DSA untuk terapi stroke memakai zat
heparin selain eptifibatide.
Dengan dua zat itu
pembuluh darah otak digelontor. Tujuan terapi sama, melarutkan sumbatan
pembuluh darah. Namun, karena zat yang dipakai dan cara pemberiannya berbeda
dengan terapi standard r-TPA, muncul kontroversi. Di mata medis cara ini
dinilai tidak punya dasar ilmiah, selain belum terbukti apakah tindakan ini
aman bagi tubuh.
Namun, tidak semua
kejadian sumbatan pembuluh darah otak memunculkan stroke. Sudah disebut di
atas ada area otak provinsi selain kecamatan, dan desa. Apabila sumbatan
pembuluh darah otak mengenai area kecil desa, stroke belum tentu muncul.
Namun kita bisa melihatnya dari scan otak. Tampak area otak yang layu dan
mati (atrofi), sehingga disebut “silent stroke”: sudah ada proses stroke
namun stroke tidak muncul. Gejala tidak spesifik, hanya keluhan fungsi otak
ringan.
Konon sejawat Terawan
melakukan teknik barunya juga untuk mereka yang belum terserang stroke. Bisa
jadi pada mereka yang sudah ditemukan ada “silent stroke”, sering pelupa,
kehilangan memori, atau defisit neuroligis yang enteng. Dengan menggelontor
pembuluh darah otak yang oleh beberapa sebab—aliran darah sudah kurang deras
atau sudah ada butir-butir endapan bekuan lemak dan darah—aliran darah bisa
lebih deras. Kondisi ini yang bikin pasien mungkin merasa plong di kepalanya.
Secara medis teknik ini masuk akal. Namun pertanyaan medis tetap, apakah
tindakan ini aman?
Perlu
bukti ilmiah
Kita tentu bangga bila
temuan teknik ini betul sebuah inovasi. Namun inovasi perlu melalui
serangkaian protokol ilmiah agar tidak memunculkan kontroversi. Ihwal bukti
ilmiah zat heparin atau entah zat apa lainnya yang dipakai, apakah laik untuk
terapi stroke, tentu juga diperlukan bukti ilmiahnya.
Hemat akademisi, sebuah
temuan baru tak cukup hanya terbukti berkhasiat. Suatu obat atau suatu cara
medis baru, bisa diterima medis bila selain secara ilmiah terbukti
berkhasiat, juga terbukti aman.
Protokolernya tentu perlu
menempuh uji khasiat, uji binatang, sebelum uji klinik pada manusia yang
bukti ilmiahnya dipublikasikan dalam sutau jurnal kedokteran yang terhormat. Sebelum
sebuah inovasi diterapkan sebagai terapi standar (baru) inovasi itu perlu
mendapatkan pengakuan pihak pengawasan obat dan makanan. Di Amerika, FDA,
pengawas obat dan makanan tidak gegabah mengakui sebuah zat berkhasiat,
demikian juga untuk cara healing dan terapi.
Pihak Perdossi, ikatan
dokter ahli saraf kita yang diketuai Prof Dr Moch Hasan Machfoed, sudah
menulis dalam jurnal internasional (BAOJ Neurology) bahwa pemakaian heparin
dalam terapi stroke tidak memiliki dasar ilmiah dan mempertanyakan hasil
disertasi sejawat Terawan terkait “kuras otak” yang ditulis dalam Bali
Medical Journal.
Terikat
etika medik
Sikap profesional semua
praktisi medis terikat etika medik. Setiap kiprahnya perlu tetap patuh pada
nilai, tunduk pada regulasi, taat pada prinsip moral, praktik etika, serta
menaruh hormat pada kehidupan, karena tubuh pasien bukan mesin.
Teknik DSA tergolong
tindakan invasif atau memasukkan sesuatu ke dalam tubuh. Setiap tindakan
invasif ada risiko dan komplikasinya. Orang awam mungkin kurang paham, kalau
ada yang perlu dipertimbangkan, tak cukup hanya berpikir bisa menyembuhkan belaka.
Saya agak mencemaskan
begitu luas beredar endorsement yang terbuka di publik untuk inovasi tindakan
medis yang di forum ilmiah belum selesai ini. Beredarnya testimoni kesembuhan
sehabis “kuras otak” agaknya sudah menimbulkan kekacauan persepsi selain
hadirnya opini di masyarakat awam, “Kalau nyatanya menyembuhkan, kenapa harus
dilarang?”
Masyarakat awam
beranggapan tidak ada yang salah dengan tindakan “kuras otak” karena faktanya
terasa ada manfaatnya. Oleh karena itu, menurut saya pihak medis secara
ilmiah perlu segera menyelesaikannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar