Minggu, 06 Juni 2021

 

Menilik Wacana Pengenaan Pajak Karbon di Indonesia

Titi Muswati Putranti ; Dosen/Peneliti Tax Centre FIA Universitas Indonesia

KOMPAS, 05 Juni 2021

 

 

                                                           

Baru-baru ini, pemerintah mengisyaratkan untuk memperkenalkan jenis pajak baru, yakni pajak karbon, yang belum pernah diatur dalam regulasi pajak di Indonesia. Inisiatif ini juga tertuang dalam Pokok-pokok Kebijakan Fiskal Tahun 2022-Pemulihan Ekonomi dan Reformasi Struktural. Penerapan pajak karbon juga sebagai bagian dari Reformasi Kebijakan Fiskal Hijau atau Green Fiscal Policy Reform di Indonesia.

 

Sekitar 40 negara di dunia saat ini memiliki beberapa bentuk penetapan harga karbon (carbon pricing) melalui pajak karbon (carbon tax/CO2 tax) dan skema perdagangan emisi (emission trading system) pada aktivitas emisi karbon, seperti pembangkit listrik atau proses industri. Alasan menempatkan harga pada karbon adalah untuk menghilangkan eksternalitas negatif dari perubahan iklim serta strategi untuk mengurangi emisi.

 

Isu ini tidak terlepas dari kondisi Indonesia dengan pertumbuhan ekonomi cepat dan merupakan salah satu penghasil emisi terbesar di dunia. Negara kita masih memiliki pasokan bahan bakar fosil yang besar, pengaruh industri yang berkembang.

 

Bagaimana desain pajak karbon yang akan diperkenalkan di Indonesia tentu  sangat menarik untuk menjadi bahan diskusi bersama. Ditinjau dari sisi pemungutan pajak karbon, kebijakan akan cenderung mengarah pada pembentukan pajak baru yang berbeda dari Pajak Penghasilan (PPh) atau Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau pajak lain yang berlaku saat ini.

 

Apa itu pajak karbon

 

Salah satu upaya yang dapat dilakukan pemerintah untuk mengatasi eksternalitas berupa timbulnya emisi gas rumah kaca (GRK) adalah dengan cara menginternalkan eksternalitas. Lazimnya melalui instrumen yang bersifat dis-insentif atau pengenaan pajak dari pada melalui pemberian insentif pajak.

 

Instrumen pajak di sini sifatnya adalah memberikan sanksi atau hukuman (penalizing) bagi yang menggunakan bahan bakar fosil. Jenis instrumen pajak yang saat ini banyak diterapkan adalah pajak emisi karbon atau pajak karbon.

 

Jadi, pajak karbon merupakan pajak atas pembakaran bahan bakar fosil atau berbasis karbon kepada wajib pajak yang secara signifikan menghasilkan emisi CO2 dan gas lainnya atau menjadi polluter. Urgensi pemungutan pajak ini adalah untuk mengurangi emisi CO2 dan GRK lainnya.

 

Pajak karbon merupakan kebijakan yang didesain untuk memaksa pihak yang mencemari lingkungan menanggung beban dan bertanggung jawab untuk berkontribusi. Kebijakan ini bertujuan mempengaruhi perilaku masyarakat untuk mengurangi aktivitas yang berdampak terhadap pencemaran lingkungan. Diharapkan pengenaan pajak karbon mendorong industri-industri berupaya untuk berinovasi beralih menggunakan energi terbarukan dan membangun manajemen limbahnya dengan baik.

 

Pengenaan pajak karbon merupakan jenis pajak baru yang berbeda dengan jenis pajak dan cukai (tax and exice), pungutan-pungutan (levies) dan juga retribusi (charges) yang berlaku saat ini di Indonesia. Sebetulnya pemerintah pusat dan daerah telah mengenakan secara parsial jenis pajak, pungutan-pungutan yang diindikasikan menimbulkan emisi karbon. Misalnya, pengenaan PPN atas Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) dengan tarif antara 15 persen hingga 95 persen, khususnya bagi kendaraan bermotor dengan bahan bakar fosil.

 

Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) yang merupakan pajak provinsi. PKB memiliki peluang dipergunakan sebagai instrumen mengendalikan eksternalitas negatif atas penggunaan kendaraan bermotor karena mengakomodasi bobot dalam formula penghitungan beban pajak, demikian juga dengan retribusi (charges) atas layanan pengujian kendaraan bermotor (KIR) yang diberikan pemerintah daerah.

 

Tidak menutup kemungkinan dari instrumen PPh, PPN, PPnBM, cukai, PNBP, PKB, dan PBBKB, serta retribusi daerah dapat berpotensi dijadikan sebagai instrumen pajak karbon. Namun, yang perlu dicermati bersama adalah kombinasi pungutan-pungutan tersebut yang dapat membawa implikasi potensi pengenaan pajak baru, pajak tambahan, serta menimbulkan pengenaan pajak berlebih.

 

Cukai sebagai pungutan transisi

 

Pengenaan pajak karbon sebagai jenis pajak baru perlu dipertimbangkan secara matang. Pemerintah dapat mendesain kebijakan pajak karbon secara bertahap dengan menyempurnakan instrumen yang dipergunakan saat ini seperti telah disinggung di atas, agar semakin sejalan dengan fungsi pajak karbon. Jenis-jenis pungutan tersebut memiliki keunggulan relatif mudah diadministrasikan.

 

Untuk tahap awal, pemerintah dapat mendesain pengenaan cukai atas komoditas yang menimbulkan emisi karbon. Kebijakan ini dapat didesain melalui peraturan pemerintah yang membutuhkan waktu relatif singkat dan mudah dalam proses penyusunannya, pungutan cukai ini sebagai pungutan tambahan.

 

Apabila dikenakan cukai atas komoditas yang menimbulkan emisi karbon, maka perlu diikuti dengan kebijakan belanja yang menjamin kepastian alokasi belanja untuk mengatasi eksternalitas negatif yang timbul akibat emisi karbon atau GRK lainnya. Pemerintah dapat memilih skema earmarking tax yang bersifat lebih fleksibel. Pengaturannya bukan dengan undang-undang untuk mengantisipasi kemungkinan perubahan kebutuhan belanja yang bersifat dinamis serta mendukung penguatan efisiensi dan efektivitas anggaran agar dapat dispesifikasikan jenis pengeluarannya.

 

Desain pajak karbon akan bergantung pada situasi Indonesia dan dapat sangat bervariasi. Beberapa rekomendasi yang dapat dipertimbangkan seperti, pertama, pengalaman negara-negara lain. Kedua, desain yang sederhana dan efisien dapat berkontribusi pada penerimaan dan mengurangi beban administratif baik untuk pemerintah maupun bisnis.

 

Ketiga, obyek dan tarif pajak harus jelas dan membedakan di antara semua bahan bakar berdasarkan kandungan karbonnya. Oleh karena itu, jejak karbon (carbon footprint) adalah jumlah karbon atau emisi yang dihasilkan dari berbagai aktivitas harus dapat dihitung dengan cermat. Keempat, pengenaan secara bertahap termasuk dalam kenaikan harga karbon untuk memberikan waktu bagi industri untuk beradaptasi.

 

Ke depan diperlukan formulasi kebijakan pajak karbon yang berfokus pada dukungan dari pemangku kepentingan dan mengurangi dampak negatif pada bisnis serta kelompok populasi yang rentan. Hal ini untuk memastikan bahwa industri dapat tetap kompetitif dan untuk mengurangi risiko kebocoran karbon. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar