Menilik
Wacana Pengenaan Pajak Karbon di Indonesia Titi Muswati Putranti ; Dosen/Peneliti
Tax Centre FIA Universitas Indonesia |
KOMPAS, 05 Juni 2021
Baru-baru ini, pemerintah mengisyaratkan
untuk memperkenalkan jenis pajak baru, yakni pajak karbon, yang belum pernah
diatur dalam regulasi pajak di Indonesia. Inisiatif ini juga tertuang dalam
Pokok-pokok Kebijakan Fiskal Tahun 2022-Pemulihan Ekonomi dan Reformasi
Struktural. Penerapan pajak karbon juga sebagai bagian dari Reformasi
Kebijakan Fiskal Hijau atau Green Fiscal Policy Reform di Indonesia. Sekitar 40 negara di dunia
saat ini memiliki beberapa bentuk penetapan harga karbon (carbon pricing)
melalui pajak karbon (carbon tax/CO2 tax) dan skema perdagangan emisi
(emission trading system) pada aktivitas emisi karbon, seperti pembangkit
listrik atau proses industri. Alasan menempatkan harga pada karbon adalah
untuk menghilangkan eksternalitas negatif dari perubahan iklim serta strategi
untuk mengurangi emisi. Isu ini tidak terlepas
dari kondisi Indonesia dengan pertumbuhan ekonomi cepat dan merupakan salah
satu penghasil emisi terbesar di dunia. Negara kita masih memiliki pasokan
bahan bakar fosil yang besar, pengaruh industri yang berkembang. Bagaimana desain pajak
karbon yang akan diperkenalkan di Indonesia tentu sangat menarik untuk menjadi bahan diskusi
bersama. Ditinjau dari sisi pemungutan pajak karbon, kebijakan akan cenderung
mengarah pada pembentukan pajak baru yang berbeda dari Pajak Penghasilan
(PPh) atau Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau pajak lain yang berlaku saat
ini. Apa
itu pajak karbon Salah satu upaya yang
dapat dilakukan pemerintah untuk mengatasi eksternalitas berupa timbulnya
emisi gas rumah kaca (GRK) adalah dengan cara menginternalkan eksternalitas.
Lazimnya melalui instrumen yang bersifat dis-insentif atau pengenaan pajak
dari pada melalui pemberian insentif pajak. Instrumen pajak di sini
sifatnya adalah memberikan sanksi atau hukuman (penalizing) bagi yang
menggunakan bahan bakar fosil. Jenis instrumen pajak yang saat ini banyak
diterapkan adalah pajak emisi karbon atau pajak karbon. Jadi, pajak karbon
merupakan pajak atas pembakaran bahan bakar fosil atau berbasis karbon kepada
wajib pajak yang secara signifikan menghasilkan emisi CO2 dan gas lainnya
atau menjadi polluter. Urgensi pemungutan pajak ini adalah untuk mengurangi
emisi CO2 dan GRK lainnya. Pajak karbon merupakan
kebijakan yang didesain untuk memaksa pihak yang mencemari lingkungan menanggung
beban dan bertanggung jawab untuk berkontribusi. Kebijakan ini bertujuan
mempengaruhi perilaku masyarakat untuk mengurangi aktivitas yang berdampak
terhadap pencemaran lingkungan. Diharapkan pengenaan pajak karbon mendorong
industri-industri berupaya untuk berinovasi beralih menggunakan energi
terbarukan dan membangun manajemen limbahnya dengan baik. Pengenaan pajak karbon
merupakan jenis pajak baru yang berbeda dengan jenis pajak dan cukai (tax and
exice), pungutan-pungutan (levies) dan juga retribusi (charges) yang berlaku
saat ini di Indonesia. Sebetulnya pemerintah pusat dan daerah telah
mengenakan secara parsial jenis pajak, pungutan-pungutan yang diindikasikan
menimbulkan emisi karbon. Misalnya, pengenaan PPN atas Pajak Penjualan Barang
Mewah (PPnBM) dengan tarif antara 15 persen hingga 95 persen, khususnya bagi
kendaraan bermotor dengan bahan bakar fosil. Pajak Kendaraan Bermotor
(PKB) dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) yang merupakan pajak
provinsi. PKB memiliki peluang dipergunakan sebagai instrumen mengendalikan
eksternalitas negatif atas penggunaan kendaraan bermotor karena mengakomodasi
bobot dalam formula penghitungan beban pajak, demikian juga dengan retribusi
(charges) atas layanan pengujian kendaraan bermotor (KIR) yang diberikan
pemerintah daerah. Tidak menutup kemungkinan
dari instrumen PPh, PPN, PPnBM, cukai, PNBP, PKB, dan PBBKB, serta retribusi
daerah dapat berpotensi dijadikan sebagai instrumen pajak karbon. Namun, yang
perlu dicermati bersama adalah kombinasi pungutan-pungutan tersebut yang
dapat membawa implikasi potensi pengenaan pajak baru, pajak tambahan, serta
menimbulkan pengenaan pajak berlebih. Cukai
sebagai pungutan transisi Pengenaan pajak karbon
sebagai jenis pajak baru perlu dipertimbangkan secara matang. Pemerintah
dapat mendesain kebijakan pajak karbon secara bertahap dengan menyempurnakan
instrumen yang dipergunakan saat ini seperti telah disinggung di atas, agar
semakin sejalan dengan fungsi pajak karbon. Jenis-jenis pungutan tersebut
memiliki keunggulan relatif mudah diadministrasikan. Untuk tahap awal,
pemerintah dapat mendesain pengenaan cukai atas komoditas yang menimbulkan
emisi karbon. Kebijakan ini dapat didesain melalui peraturan pemerintah yang
membutuhkan waktu relatif singkat dan mudah dalam proses penyusunannya,
pungutan cukai ini sebagai pungutan tambahan. Apabila dikenakan cukai
atas komoditas yang menimbulkan emisi karbon, maka perlu diikuti dengan
kebijakan belanja yang menjamin kepastian alokasi belanja untuk mengatasi
eksternalitas negatif yang timbul akibat emisi karbon atau GRK lainnya.
Pemerintah dapat memilih skema earmarking tax yang bersifat lebih fleksibel.
Pengaturannya bukan dengan undang-undang untuk mengantisipasi kemungkinan
perubahan kebutuhan belanja yang bersifat dinamis serta mendukung penguatan
efisiensi dan efektivitas anggaran agar dapat dispesifikasikan jenis
pengeluarannya. Desain pajak karbon akan
bergantung pada situasi Indonesia dan dapat sangat bervariasi. Beberapa
rekomendasi yang dapat dipertimbangkan seperti, pertama, pengalaman
negara-negara lain. Kedua, desain yang sederhana dan efisien dapat
berkontribusi pada penerimaan dan mengurangi beban administratif baik untuk
pemerintah maupun bisnis. Ketiga, obyek dan tarif
pajak harus jelas dan membedakan di antara semua bahan bakar berdasarkan
kandungan karbonnya. Oleh karena itu, jejak karbon (carbon footprint) adalah
jumlah karbon atau emisi yang dihasilkan dari berbagai aktivitas harus dapat
dihitung dengan cermat. Keempat, pengenaan secara bertahap termasuk dalam
kenaikan harga karbon untuk memberikan waktu bagi industri untuk beradaptasi. Ke depan diperlukan
formulasi kebijakan pajak karbon yang berfokus pada dukungan dari pemangku
kepentingan dan mengurangi dampak negatif pada bisnis serta kelompok populasi
yang rentan. Hal ini untuk memastikan bahwa industri dapat tetap kompetitif
dan untuk mengurangi risiko kebocoran karbon. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar