Minggu, 06 Juni 2021

 

Jalan (Sunyi) Pencerahan Buya Syafii

Fajar Riza Ul Haq ; Pengurus Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah dan Dewan Pembina Maarif Institute

KOMPAS, 05 Juni 2021

 

 

                                                           

Buya Syafii Maarif ibarat burung rajawali yang gagah dan terbang tinggi ke angkasa, tetapi tak mau membangun sarangnya sendiri.

 

Salah satu hal mengagumkan dari pribadinya adalah pengkhidmatannya yang luar biasa terhadap Muhammadiyah dan keberpihakannya yang sangat kuat terhadap kaderisasi. Begitulah kesaksian Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir mengenai sosok penerima Ramon Magsaysay Award 2008 ini (Suara Muhammadiyah, 31 Mei 2019). Cita-cita terbesar Buya Syafii di pengujung batang usianya adalah melihat berdirinya Kampus Terpadu Madrasah Muallimin di atas lahan seluas 6 hektar di Sedayu, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

 

Muallimin

 

Madrasah Muallimin merupakan sekolah pengaderan bersejarah. Pertama kali didirikan oleh KH Ahmad Dahlan pada 1918 dengan nama ”Qismul Arqo”, kemudian berubah nama menjadi ”Kweekschool Moehammadijah” (Sekolah Para Guru Muhammadiyah) sebelumnya akhirnya beralih bahasa ke dalam bahasa Arab, ”Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah”.

 

Sejak 1928, setiap alumni sekolah ini melakukan pengabdian dakwah di pelosok Tanah Air. Mereka menyemai kesadaran literasi, menyebarkan suluh kemajuan, mencerdaskan anak-anak bangsa, dan merajut tali kebangsaan. Mereka adalah anak panah Muhammadiyah.

 

Sekolah Muallimin ini memiliki visi kebangsaan dan transformasi kepemimpinan yang kuat. Hal itu tecermin dari pengakuan politik pemerintah terhadap tiga mantan Direktur Muallimin yang telah ditetapkan sebagai pahlawan nasional, yaitu KH Ahmad Dahlan (1961), KH Mas Mansyur (1964), dan Prof Abdul Kahar Muzzakir (2019).

 

Ketiganya berhasil menerjemahkan nilai-nilai keislaman dan kemuhammadiyahan dalam bingkai kebangsaan, kemerdekaan, dan kemajuan. Jasa kepahlawanan mereka telah menggarami jiwa Indonesia hari ini. Mencerminkan spirit dari Muhammadiyah untuk bangsa.

 

Setelah tidak mencalonkan diri lagi pada perhelatan Muktamar Muhammadiyah 2010 di Malang, Buya Syafii mencurahkan pikiran dan tenaganya untuk membenahi serta membangun Muallimin sebagai sekolah kader Muhammadiyah. Sebagai alumnus Muallimin, Buya Syafii selalu mengingatkan almamaternya agar melakukan reorientasi visi pengaderan. Yang utama menjadi kader kemanusiaan berwawasan global dengan berpijak pada nilai-nilai Qurani yang universal. Ranah berikutnya adalah menjadi kader bangsa dan kader Persyarikatan Muhammadiyah.

 

Selama ini, orientasi pengaderan lebih menekankan ranah terakhir. Pendiri Maarif Institute ini ingin kader-kader Muhammadiyah mengisi ruang-ruang kemanusiaan dan kebangsaan yang lebih luas, tidak terjebak kotak-kotak sektarian kelompok.

 

Atas mandat PP Muhammadiyah, Buya Syafii memimpin langsung proyek pembangunan Kampus Terpadu Muallimin dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Yang paling melelahkan dan memakan waktu adalah proses pembebasan lahan. Dalam satu kesempatan, ia sempat mengeluh karena peliknya bernegosiasi dengan salah satu penjual tanah, salah satu anaknya keberatan.

 

Pada satu waktu, Buya mengajak penulis bertandang ke kediaman almarhum Taufik Kiemas. Di sela-sela perbincangan, Buya mengatakan, sekolah Muallimin mendidik para kader Muhammadiyah menjadi pribadi Muslim yang berpikiran terbuka sehingga diharapkan tidak canggung bergaul dengan siapa pun. Almarhum Taufik Kiemas merupakan salah seorang dermawan yang membantu pembangunan kembali gedung Muallimin seusai dihantam gempa bumi tahun 2006.

 

Penulis merasa beruntung karena menjadi saksi bagaimana Buya Syafii mendayagunakan jaringan pergaulannya yang begitu luas untuk mempromosikan sekolah pengaderan Muallimin ke tokoh-tokoh lintas golongan. Dalam beberapa kali perbincangan dengan almarhum Jakob Oetama di ruang kerjanya, Buya Syafii sering kali menekankan bahwa orientasi pendidikan Muallimin tidaklah primordial ataupun sektarian. Ia berharap titik-titik kisar perjalanan hidupnya selama ini bisa menjadi refleksi bagi generasi muda Muhammadiyah (Maarif, 2006). Kedua tokoh bangsa tersebut dipersatukan oleh komitmen kemanusiaan dan keindonesiaan yang sama.

 

Demi memastikan komitmen ini, Buya Syafii selalu memprioritaskan waktunya untuk berdiskusi dan memberikan pembekalan kepada para guru dan pelajar Muallimin. Mantan Ketua PP Muhammadiyah ini berpesan agar mereka menyampaikan pesan Islam dengan bahasa hati.

 

”Anda akan menemui masyarakat yang sangat heterogen. Iman bisa berbeda, mungkin sama-sama Islam, tapi lain golongan, mungkin juga ada yang tidak percaya Tuhan. Persiapkan diri karena Indonesia adalah negara yang sangat bineka,” ujarnya pada acara pelepasan santri Muallimin, awal April lalu.

 

Totalitas Buya Syafii dalam mewujudkan pembangunan sekolah pengaderan terpadu Muallimin sukar dicari padanannya. Predikat guru bangsa yang disematkan banyak pihak tidak membuat dirinya rikuh untuk menenteng proposal pembangunan. Beberapa tahun lalu, ia sempat mengurus sendiri proposal yang harus segera diserahkan kepada seseorang di ruang tunggu Bandara Adi Sucipto, Yogyakarta.

 

Dalam beberapa kesempatan saat bertemu Presiden Joko Widodo, persoalan pembangunan Muallimin selalu ada di daftar menu obrolannya. Presiden Jokowi menghadiri perayaan satu abad Madrasah Muallimin pada awal Desember 2018. Dalam momen itulah mantan Gubernur DKI Jakarta ini memerintahkan kementerian terkait untuk membantu pembangunan Kampus Terpadu Muallimin. ”Ini Presiden Indonesia yang pertama berkunjung ke Muallimin,” ungkap Buya dalam sambutannya di depan Jokowi.

 

Beragama dengan ilmu

 

Guru Besar emeritus Universitas Negeri Yogyakarta ini lebih memilih jalan pencerahan dalam memastikan keberlanjutan gerakan peradaban ilmu dengan membesarkan institusi pendidikan. Buya Syafii telah mencanangkan Muhammadiyah sebagai gerakan ilmu dalam periode kepemimpinannya (1998-2005).

 

Gerakan ini bertujuan membangun kesadaran kritis dan masyarakat berpengetahuan dengan basis budaya literasi. Beragama tanpa berpegang pada ilmu pengetahuan akan bermuara pada sikap fanatisme buta menentang otoritas sains yang berdasarkan evidence. Adanya gejala pengingkaran terhadap pandemi Covid-19 atas dasar alasan keagamaan tidak bisa diabaikan.

 

Komitmen inilah yang membuat Buya bersedia menerima tawaran sebagai Ketua Pembina Pesantren Modern Terpadu Prof Dr Hamka di Padang, Sumatera Barat. Hamka merupakan figur sentral dalam gerakan pembaruan Islam di Sumatera (Rush, 2017). Saat meresmikan pesantren modern terpadu ini, akhir Mei 2018, Presiden Jokowi menyebut Hamka sebagai tokoh ulama yang dihormati serta sastrawan besar yang mendedikasikan hidupnya untuk pendidikan dan ilmu pengetahuan.

 

”Diukur dengan zamannya, pemikiran Hamka sangat maju, tapi mengapa kemudian tidak dikembangkan lebih jauh. Ia telah mencoba keluar dari kotak Sunni dan Syiah,” tulis Buya Syafii melalui pesan Whatsapp, akhir Desember 2020.

 

Hingga usianya menginjak ke-86 pada 31 Mei 2021, stamina intelektual Buya Syafii masih terjaga meski sempat menyandang status orang tanpa gejala (OTG) pada Februari lalu. Ia sangat jengkel ketika ada kelompok politik yang menjual isu bunga bank dan tepuk tangan demi mengail ceruk suara. Cukup lama energi umat terkuras oleh perilaku pandir elitenya yang justru membodohi.

 

Menurut Azyumardi Azra (2020), Buya Syafii itu di tulang rusuknya adalah seorang demokrat. Selamat ulang tahun dan sehat selalu, Buya. Semoga kami generasi muda bisa mengikuti jalan pencerahanmu. Wallahualam. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar