Jalan
(Sunyi) Pencerahan Buya Syafii Fajar Riza Ul Haq ; Pengurus
Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah dan Dewan Pembina Maarif Institute |
KOMPAS, 05 Juni 2021
Buya Syafii Maarif ibarat
burung rajawali yang gagah dan terbang tinggi ke angkasa, tetapi tak mau
membangun sarangnya sendiri. Salah satu hal mengagumkan
dari pribadinya adalah pengkhidmatannya yang luar biasa terhadap Muhammadiyah
dan keberpihakannya yang sangat kuat terhadap kaderisasi. Begitulah kesaksian
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir mengenai sosok penerima Ramon
Magsaysay Award 2008 ini (Suara Muhammadiyah, 31 Mei 2019). Cita-cita
terbesar Buya Syafii di pengujung batang usianya adalah melihat berdirinya Kampus
Terpadu Madrasah Muallimin di atas lahan seluas 6 hektar di Sedayu, Bantul,
Daerah Istimewa Yogyakarta. Muallimin Madrasah Muallimin
merupakan sekolah pengaderan bersejarah. Pertama kali didirikan oleh KH Ahmad
Dahlan pada 1918 dengan nama ”Qismul Arqo”, kemudian berubah nama menjadi
”Kweekschool Moehammadijah” (Sekolah Para Guru Muhammadiyah) sebelumnya
akhirnya beralih bahasa ke dalam bahasa Arab, ”Madrasah Mu’allimin
Muhammadiyah”. Sejak 1928, setiap alumni
sekolah ini melakukan pengabdian dakwah di pelosok Tanah Air. Mereka menyemai
kesadaran literasi, menyebarkan suluh kemajuan, mencerdaskan anak-anak
bangsa, dan merajut tali kebangsaan. Mereka adalah anak panah Muhammadiyah. Sekolah Muallimin ini
memiliki visi kebangsaan dan transformasi kepemimpinan yang kuat. Hal itu
tecermin dari pengakuan politik pemerintah terhadap tiga mantan Direktur
Muallimin yang telah ditetapkan sebagai pahlawan nasional, yaitu KH Ahmad
Dahlan (1961), KH Mas Mansyur (1964), dan Prof Abdul Kahar Muzzakir (2019). Ketiganya berhasil
menerjemahkan nilai-nilai keislaman dan kemuhammadiyahan dalam bingkai
kebangsaan, kemerdekaan, dan kemajuan. Jasa kepahlawanan mereka telah
menggarami jiwa Indonesia hari ini. Mencerminkan spirit dari Muhammadiyah
untuk bangsa. Setelah tidak mencalonkan
diri lagi pada perhelatan Muktamar Muhammadiyah 2010 di Malang, Buya Syafii
mencurahkan pikiran dan tenaganya untuk membenahi serta membangun Muallimin
sebagai sekolah kader Muhammadiyah. Sebagai alumnus Muallimin, Buya Syafii
selalu mengingatkan almamaternya agar melakukan reorientasi visi pengaderan.
Yang utama menjadi kader kemanusiaan berwawasan global dengan berpijak pada
nilai-nilai Qurani yang universal. Ranah berikutnya adalah menjadi kader
bangsa dan kader Persyarikatan Muhammadiyah. Selama ini, orientasi
pengaderan lebih menekankan ranah terakhir. Pendiri Maarif Institute ini
ingin kader-kader Muhammadiyah mengisi ruang-ruang kemanusiaan dan kebangsaan
yang lebih luas, tidak terjebak kotak-kotak sektarian kelompok. Atas mandat PP Muhammadiyah,
Buya Syafii memimpin langsung proyek pembangunan Kampus Terpadu Muallimin
dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Yang paling melelahkan dan memakan waktu
adalah proses pembebasan lahan. Dalam satu kesempatan, ia sempat mengeluh
karena peliknya bernegosiasi dengan salah satu penjual tanah, salah satu
anaknya keberatan. Pada satu waktu, Buya
mengajak penulis bertandang ke kediaman almarhum Taufik Kiemas. Di sela-sela
perbincangan, Buya mengatakan, sekolah Muallimin mendidik para kader
Muhammadiyah menjadi pribadi Muslim yang berpikiran terbuka sehingga
diharapkan tidak canggung bergaul dengan siapa pun. Almarhum Taufik Kiemas
merupakan salah seorang dermawan yang membantu pembangunan kembali gedung
Muallimin seusai dihantam gempa bumi tahun 2006. Penulis merasa beruntung
karena menjadi saksi bagaimana Buya Syafii mendayagunakan jaringan
pergaulannya yang begitu luas untuk mempromosikan sekolah pengaderan
Muallimin ke tokoh-tokoh lintas golongan. Dalam beberapa kali perbincangan
dengan almarhum Jakob Oetama di ruang kerjanya, Buya Syafii sering kali
menekankan bahwa orientasi pendidikan Muallimin tidaklah primordial ataupun
sektarian. Ia berharap titik-titik kisar perjalanan hidupnya selama ini bisa
menjadi refleksi bagi generasi muda Muhammadiyah (Maarif, 2006). Kedua tokoh
bangsa tersebut dipersatukan oleh komitmen kemanusiaan dan keindonesiaan yang
sama. Demi memastikan komitmen
ini, Buya Syafii selalu memprioritaskan waktunya untuk berdiskusi dan
memberikan pembekalan kepada para guru dan pelajar Muallimin. Mantan Ketua PP
Muhammadiyah ini berpesan agar mereka menyampaikan pesan Islam dengan bahasa
hati. ”Anda akan menemui
masyarakat yang sangat heterogen. Iman bisa berbeda, mungkin sama-sama Islam,
tapi lain golongan, mungkin juga ada yang tidak percaya Tuhan. Persiapkan
diri karena Indonesia adalah negara yang sangat bineka,” ujarnya pada acara
pelepasan santri Muallimin, awal April lalu. Totalitas Buya Syafii
dalam mewujudkan pembangunan sekolah pengaderan terpadu Muallimin sukar
dicari padanannya. Predikat guru bangsa yang disematkan banyak pihak tidak
membuat dirinya rikuh untuk menenteng proposal pembangunan. Beberapa tahun
lalu, ia sempat mengurus sendiri proposal yang harus segera diserahkan kepada
seseorang di ruang tunggu Bandara Adi Sucipto, Yogyakarta. Dalam beberapa kesempatan
saat bertemu Presiden Joko Widodo, persoalan pembangunan Muallimin selalu ada
di daftar menu obrolannya. Presiden Jokowi menghadiri perayaan satu abad
Madrasah Muallimin pada awal Desember 2018. Dalam momen itulah mantan
Gubernur DKI Jakarta ini memerintahkan kementerian terkait untuk membantu
pembangunan Kampus Terpadu Muallimin. ”Ini Presiden Indonesia yang pertama
berkunjung ke Muallimin,” ungkap Buya dalam sambutannya di depan Jokowi. Beragama
dengan ilmu Guru Besar emeritus
Universitas Negeri Yogyakarta ini lebih memilih jalan pencerahan dalam
memastikan keberlanjutan gerakan peradaban ilmu dengan membesarkan institusi
pendidikan. Buya Syafii telah mencanangkan Muhammadiyah sebagai gerakan ilmu
dalam periode kepemimpinannya (1998-2005). Gerakan ini bertujuan
membangun kesadaran kritis dan masyarakat berpengetahuan dengan basis budaya
literasi. Beragama tanpa berpegang pada ilmu pengetahuan akan bermuara pada
sikap fanatisme buta menentang otoritas sains yang berdasarkan evidence.
Adanya gejala pengingkaran terhadap pandemi Covid-19 atas dasar alasan
keagamaan tidak bisa diabaikan. Komitmen inilah yang
membuat Buya bersedia menerima tawaran sebagai Ketua Pembina Pesantren Modern
Terpadu Prof Dr Hamka di Padang, Sumatera Barat. Hamka merupakan figur
sentral dalam gerakan pembaruan Islam di Sumatera (Rush, 2017). Saat
meresmikan pesantren modern terpadu ini, akhir Mei 2018, Presiden Jokowi
menyebut Hamka sebagai tokoh ulama yang dihormati serta sastrawan besar yang
mendedikasikan hidupnya untuk pendidikan dan ilmu pengetahuan. ”Diukur dengan zamannya,
pemikiran Hamka sangat maju, tapi mengapa kemudian tidak dikembangkan lebih
jauh. Ia telah mencoba keluar dari kotak Sunni dan Syiah,” tulis Buya Syafii
melalui pesan Whatsapp, akhir Desember 2020. Hingga usianya menginjak
ke-86 pada 31 Mei 2021, stamina intelektual Buya Syafii masih terjaga meski
sempat menyandang status orang tanpa gejala (OTG) pada Februari lalu. Ia
sangat jengkel ketika ada kelompok politik yang menjual isu bunga bank dan
tepuk tangan demi mengail ceruk suara. Cukup lama energi umat terkuras oleh
perilaku pandir elitenya yang justru membodohi. Menurut Azyumardi Azra
(2020), Buya Syafii itu di tulang rusuknya adalah seorang demokrat. Selamat
ulang tahun dan sehat selalu, Buya. Semoga kami generasi muda bisa mengikuti
jalan pencerahanmu. Wallahualam. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar