Menghormati
Kematian Putu Fajar Arcana ; Penulis Kolom
“Sosial Budaya” Kompas |
KOMPAS, 02 Juni 2021
Ketika angin berembus
kencang terdengar suara desis dari tubuh lembu. Api tiba-tiba membesar dan
asap membubung menggapai pepohonan di pekuburan. Para pelayat menyingkir dari
sisi barat, mereka khawatir terimbas udara panas yang disemburkan lidah api.
Aku lihat tubuh ringkih Ricka Cahyani perlahan jatuh dari dalam lembu untuk
kemudian benar-benar diperabukan dalam raga Sang Hyang Agni. Api dan lembu adalah dua
simbol penting dalam ritus Ngaben di Bali. Api representasi dari Dewa Brahma,
Sang Pencipta, sedangkan lembu adalah kendaraan Dewa Siwa, Sang Pelebur.
Lewat perantaraan lembu, pertama-tama unsur-unsur pembentuk tubuh manusia
(bhuwana alit) dikembalikan kepada semesta (bhuwana agung). Seluruh unsur
yang menubuhkan manusia, disebut sebagai Panca Mahabhuta, yang terdiri dari
Pertiwi (zat padat), Apah (zat cair), Teja (panas tubuh), Bayu (napas), Akasa
(unsur terhalus dari badan yang menjadikan rambut dan kuku, disebut ether),
dikembalikan lewat api ke alam semesta. Semesta besar (bhuwana agung) dipresentasikan
sebagai asal mula, tubuh Tuhan yang meruang. Oleh sebab itulah muncul konsep
tentang Tuhan sebagai wyapi wyapaka nirwikara, Tuhan berada di mana-mana,
tidak terpengaruh dan tidak berubah. Ruang semesta adalah asal
mula kehidupan, di mana manusia beserta makhluk-makhluk lainnya, termasuk
binatang dan pepohonan, mewujud menjadi ”semesta diri”, dengan unsur-unsur
yang serupa: padat, cair, panas, uap, dan gas. Persenyawaan kelima unsur
inilah yang menukilkan keberadaan makhluk hidup. Dalam kepercayaan ini
terkandung pula pemahaman bahwa bhawuna agung (makrokosmos) menjadi pusat
orientasi, terutama manusia timur yang disebut kosmosentrisme. Kecenderungan
ini menyebabkan perbedaan orientasi manusia Barat dengan Timur. Jika Barat
berorientasi pada antroposentrisme, yang sepenuhnya menumpukan kemampuan
hidup manusia berasal dari dalam diri, maka kosmosentrisme menyandarkan diri
pada kekuatan maha-besar bernama alam semesta. Cara pandang yang berbeda ini
sangat berpengaruh terhadap persepsi manusia terhadap berbagai fakta dan
fenomena di sekitar hidupnya. Kedua, ada konsep
penyatuan yang disebut dengan aham brahman asmi, Tuhan bersatu di dalam diri,
di mana Atman (roh), melalui perantaraan lembu, diharapkan bersatu dengan
Tuhan. Oleh sebab itu, upacara Ngaben dianggap sebagai ritus untuk
mengantarkan Atman ke alam di mana ia berasal mula. Menurut kepercayaan,
hanya dengan cara itulah Atman akan menuju ke alam Pitara. Ia telah menjadi
”setengah dewa” untuk kemudian layak disemayamkan di merajan (pura keluarga).
Dalam ritus Ngaben yang
rumit dan panjang, terdapat satu tahapan paling penting, yakni pelebon atau
kremasi jenazah. Kremasi banyak disalahpahami sebagai kesadisan, sebuah
tindakan horor terhadap jenazah, yang seharusnya diperlakukan secara lebih
terhormat dan bermartabat. Aku ingat, mendiang Dokter Anak Agung Made
Djelantik bercerita tentang opini istrinya, Astri Zwart (ibunda almarhum
Bulantrisna Djelantik), yang melihat Ngaben sebagai peristiwa horor. ”Ia
tidak tahan melihat jenazah dibakar, apalagi dibolak-balik. Dia bilang tidak
manusiawi,” kira-kira begitu ujar Dokter Djelantik kepadaku. Sebagai seorang budayawan,
Dokter Djelantik kemudian mengusulkan lewat forum-forum adat dan agama di
Bali agar pembakaran jenazah dalam upacara Ngaben ”dilembagakan” dalam
sebentuk krematorium. Djelantik melihat wahana seperti krematorium sebagai
tempat menghormati dan memperlakukan jenazah secara lebih martabat dan
”manusiawi”. Ia bahkan kemudian berjanji, apabila istrinya yang berdarah
Belanda nanti meninggal, ia tidak akan mengizinkan diperlakukan secara horor.
Ia ingin Astri disemayamkan dalam krematorium, untuk mengenang dan
menghormatinya secara lebih layak. Usulan Djelantik datang
terlalu dini. Tahun 1980-an, kebanyakan pemuka adat dan agama di Bali
memegang teguh warisan tradisi yang telah mereka terima dari para leluhur.
Pembuatan wahana seperti krematorium dianggap pamali, seolah ”mendoakan”
orang supaya cepat meninggal. Hal-hal semacam itu dianggap tabu dan berakibat
tidak baik dalam tatanan adat, agama, dan sosial masyarakat. Oleh karena itu,
usulan Djelantik ditolak mentah-mentah, bahkan dicap ingin ”membaratkan”
Bali. Tudingan itu tentu saja dilatarbelakangi oleh sentimen personal, karena
kebetulan pasangan hidup Djelantik berasal dari Belanda. Sesungguhnya tahun 1990-an
telah terjadi perubahan secara perlahan. Kremasi jenazah tidak wajib lagi
menggunakan kayu bakar sebagaimana yang sampai kini kita saksikan di India.
Telah muncul inovasi menggunakan semacam kompor dengan bahan bakar minyak
tanah. Cara ”baru” ini mempercepat proses kremasi sehingga mengurangi kesan
”horor” dalam memperlakukan jasad. Jika kremasi dengan menggunakan kayu bakar
memakan waktu 4-5 jam, kompor minyak bisa menyelesaikannya dalam waktu 2-3
jam. Seiring dengan tuntutan
efisiensi waktu, tenaga, dan mempertimbangkan hal-hal yang lebih bermartabat,
tahun 2000-an mulai diperkenalkan krematorium walaupun diawali oleh umat
Kristiani di Bali. Perlahan-lahan kelompok-kelompok soroh (klan) mulai
merancang bahwa krematorium menjadi kebutuhan penting di era modern. Guru
Besar Universitas Hindu Indonesia Prof Dr Ketut Sumadi melihat fenomena ini
secara moderat. Katanya, tradisi itu kebiasaan yang bisa berubah seiring
kebutuhan hidup manusia. Mistifikasi terhadap tradisi sering kali sebagai
upaya untuk menjaganya agar tidak dilupakan oleh generasi pelanjut. ”Bukan berarti tidak bisa
berubah. Krematorium itu berkembang seiring dengan keadaban. Penghargaan dan
penghormatan kita kepada HAM, misalnya, kan terus berkembang. Begitu juga
tata cara, sopan santun, dan etika kita dalam memperlakukan jenazah,” katanya.
Ia melihat ajaran dan
tradisi di Bali jauh lebih lentur dibandingkan di negara seperti India. Dalam
situasi darurat Covid-19 sejak bulan April 2021, misalnya, banyak orang
mengkremasi jasad keluarganya di jalanan dengan seonggok kayu. Seluruh
krematorium di kota seperti New Delhi telah penuh. Orang-orang mengantre
selama 24 jam untuk mengkremasi jasad keluarganya, sebagai tanda bhakti dan
penghormatan terakhir. Seiring dengan itu, kata
Sumadi, di Bali tumbuh beberapa krematorium yang disiapkan oleh komunitas-komunitas
yang dikelola mirip dengan ”badan usaha sosial”. ”Pada saat terjadi krisis
seperti pandemi, wahana ini sangat dibutuhkan sebagai katalisator penyaluran
rasa bhakti secara lebih terhormat,” katanya. Djelantik mungkin memang
terpengaruh Barat, karena ia selama puluhan tahun bersekolah dan kemudian
bekerja di Eropa. Tetapi, ia juga seorang pewaris puri di Kerajaan
Karangasem, yang memiliki pengetahuan dan bekal tradisi kuat. Oleh sebab itu,
ia tetap mengkremasi jenazah istrinya, Astri, secara Hindu di krematorium.
Hakikatnya, tidak hanya pada tata cara, tetapi juga pada kepercayaan bahwa
kremasi adalah jalan terhormat untuk memprabukan jasad dan kemudian
mengantarkan roh kembali ke alam semesta. Tata cara memperlakukan
jenazah dengan kremasi diperkirakan sudah muncul 17.000 tahun lalu, dengan
bukti arkeologis tulang-belulang Mungo Lady di Danau Mungo, Australia. Pada
beberapa periode zaman, kremasi muncul tenggelam sebagai perlakuan terhadap
jenazah. Di Timur Tengah dan Eropa, pada masa-masa tertentu karena pengaruh
agama, kremasi terhadap jenazah dilarang, tetapi pada masa-masa berikutnya,
terutama bagi penganut Kristiani, kremasi justru dibenarkan untuk dilakukan. Di Bali, Ngaben menjadi
”tontonan” paling eksotik bagi para wisatawan. Bahkan, pada awal tahun
1930-an seiring politik etis, Pemerintah Kolonial Belanda meluncurkan program
apa yang disebut sebagai Baliseering. Belanda merasa bahwa kebudayaan dan
tatanan tradisi di Bali perlu ”dimodernisasi” untuk menghapus kesan primitif.
Selain itu, Baliseering atau Balinisasi sesungguhnya diluncurkan sebagai
program bermatra ganda. Pertama, Belanda ingin ”melindungi” Bali dari
pengaruh luar, terutama penetrasi agama Kristen dan Islam. Kedua, penggelaran
upacara-upacara seperti Ngaben memunculkan daya tarik bagi wisatawan asing.
Sesungguhnya sejak tahun 1914 Belanda sudah secara aktif mempromosikan Bali
sebagai daerah tujuan wisata yang eksotik. Slogan-slogan seperti Bali sebagai
the last paradise selalu didengungkan untuk menarik orang-orang Eropa ke
Bali. Ketiga, Belanda sedang
ditekan oleh parlemen Eropa karena memperlakukan negeri jajahan secara tidak
manusiawi. Oleh sebab itu, seiring dengan pemberlakuan politik etis, Belanda
juga melakukan Balinisasi di Pulau Bali. Salah satu dampak yang kemudian
meninggalkan jejak sampai kini terlihat pada upacara Ngaben. Ritus ini tidak
hanya dilihat sebagai ”kewajiban” dalam agama, tetapi lebih-lebih adalah
”atraksi” budaya yang bisa menarik minat para wisatawan. Terbukti, misalnya,
Ngaben di Puri Gianyar hampir selalu dilakukan secara megah, bahkan dengan
mengundang jaringan televisi negara asing. Siang perlahan-lahan turun
menjadi sore. Jasad Ricka Cahyani sudah luluh menjadi abu. Begitu juga dengan
lima jasad lain yang juga dikremasi di Setra Tebasaya, Ubud, Bali. Enam lembu
yang dibangun dengan cita rasa tinggi pun telah berubah menjadi arang.
Upacara belum selesai. Setelah melalui tahapan upacara yang rumit dipimpin
oleh seorang pendeta, abu jenazah harus dilarung ke laut atau muara sungai.
Kami semua secara beriringan menuju Pantai Masceti, di selatan Kota Gianyar,
untuk melarung abu Ricka Cahyani. Pelarungan berintikan
pengembalian secara paripurna seluruh unsur badan wadag manusia ke dalam
ruang semesta di mana ia berasal mula. Laut diposisikan sebagai pelebur mala
dan pengantar sempurna semesta diri untuk menemukan pelabuhan terakhir dari
pengembaraan hidup manusia: nirwana. Semoga Ricka Cahyani,
keponakan kami yang baru berusia 43 tahun, benar-benar bertemu dengan Sang
Pencipta. Lalu dari ketinggian langit ia memberi berkat kedamaian dan jalan
kebahagiaan kepada tiga anaknya, yang masih terlalu muda, untuk bertarung
menjalani hidup. Selamat jalan Ricka. Doa kami tak putus kepadamu. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar