Minggu, 06 Juni 2021

 

”Kebodohan” yang Diperlukan untuk Pendidikan

Sidharta Susila ; Pemerhati Pendidikan, Tinggal di Semarang

KOMPAS, 02 Juni 2021

 

 

                                                           

Apa yang dibutuhkan untuk pendidikan bagi anak-anak dari keluarga miskin di daerah pedalaman? ”Kebodohan”, ya ”kebodohan”.

 

Itulah inspirasi yang penulis dapatkan saat meninggalkan salah satu sekolah di pedalaman Kalimantan pada pertengahan Februari 2021. Sekolah itu ada di Tanjung, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Dari ibu kota kabupaten lebih kurang 100 kilometer jauhnya.

 

Kunjungan ke Tanjung pertama kali penulis lakukan pada Februari 2010. Waktu itu 70 persen jalan yang dilalui rusak parah, berlubang, beberapa berlumpur dalam. Pada 2021 ini jalan sudah lumayan. Boleh dikatakan 60 persen jalan sudah baik. Bisa dibayangkan, dalam waktu 10 tahun hanya beberapa kilometer saja jalan yang stabil kondisi baiknya.

 

Tanah di jalur Ketapang-Tanjung sebagian besar memang labil. Perbaikan yang dilakukan lebih sering dengan pengurukan. Beberapa tahun di sejumlah ruas jalan dilakukan pengecoran. Namun, sering kali jalan-jalan yang tidak dibangun untuk kendaraan berat itu terus saja dilalui truk-truk pengangkut hasil perkebunan dengan muatan yang berlebihan. Sebentar diperbaiki, sebentar saja rusak lagi. Akibatnya, pergerakan masyarakat dari pedalaman ke kota terhambat dan berbiaya mahal.

 

Dengan kondisi sarana transportasi semacam itu, masyarakat pedalaman praktis terisolasi. Hingga kini di Tanjung listrik hanya menyala pada pukul 17.00-05.30. Itu pun kadang-kadang padam. Terbayangkan, betapa minimnya akses memperkaya diri dari informasi dan pengetahuan dari luar daerah. Pemberdayaan pembelajaran dengan internet hanya mimpi. Biaya hidup mahal. Imbasnya memengaruhi banyak aspek kehidupan, termasuk pendidikan.

 

Pengalaman kami, betapa sulit menempatkan calon-calon guru berprestasi untuk sekolah kami di pedalaman. Besaran gaji dan tunjangan guru di sekolah pedalaman sama dengan sekolah-sekolah kami di daerah perkotaan. Namun, fasilitas ini tidak mampu membujuk calon guru berprestasi untuk mau mengajar di sekolah pedalaman. Memang faktanya ada banyak honor sampingan yang didapat oleh para guru di sekolah-sekolah perkotaan. Karena itu, mereka lebih makmur.

 

Masalah klasik

 

Sulitnya mendapat layanan pendidik yang baik adalah salah satu kondisi klasik pendidikan di daerah pedalaman. Tak heran banyak sekolah yang kekurangan guru. Akibatnya, anak-anak tidak belajar dengan optimal.

 

Sekolah kami, SMP Pangudi Luhur Tanjung, hampir selalu menerima anak-anak lulusan SD yang belum terampil membaca, berhitung, dan menulis. Rendahnya mutu pendidikan juga disebabkan oleh kurangnya kesadaran pada orangtua tentang pentingnya pendidikan untuk keluar dari kubang kemiskinan.

 

Nah, sampai di sini kita bisa menyadari betapa jauh, berat, dan berlikunya jalan bagi orang-orang miskin di daerah pedalaman untuk mengubah nasibnya. Nyaris mustahil bagi mereka untuk menjumput kemakmuran. Ada kompleksitas kondisi yang berpotensi melanggengkan kemiskinan.

 

Hanya ”kebodohan”—karena jiwa yang disangga cinta—sajalah yang dibutuhkan untuk pendidikan bagi anak-anak sederhana di pedalaman itu. Itulah yang penulis dapatkan dari para guru kami. Mereka mengatakan dengan lugas bahwa mereka tidak pernah mempermasalahkan besaran gaji yang diberikan yayasan. Sebab, mereka sadar bahwa defisit yayasan untuk sekolah-sekolah di pedalaman miliaran rupiah setiap tahun.

 

Untuk guru-guru yang berasal dari daerah sekitar sekolah pedalaman mungkin tidak terlalu bermasalah. Namun, tidak demikian untuk para guru yang berasal dari Jawa, misalnya. Banyak guru muda yang tidak mampu bertahan. Apalagi mereka yang memang bermutu. Sekolah-sekolah di perkotaan lebih menjanjikan nasib yang jauh lebih baik bagi mereka.

 

Maka, saat hari itu, pada pertengahan Februari 2021 yang lalu, masih ada sejumlah guru yang berkomitmen untuk memberi pendidikan terbaik di sekolah-sekolah pedalaman kami, kami syukuri ”kebodohan” mereka yang memilih berpaling dari bujuk rayu kemonceran (gemerlap) perkotaan.

 

Bayangkan, apabila para guru bermutu itu pergi dan memilih mengajar di sekolah-sekolah perkotaan yang faktanya memang memanjakan para guru dengan aneka pendapatan, bagaimana nasib anak-anak pedalaman dari keluarga miskin itu. Mereka tidak akan mendapat kesempatan belajar dengan baik. Maka, mereka tak akan punya kemampuan untuk mengubah nasibnya. Nasibnya bagaikan sudah jatuh, tertimpa tangga, ditinggalkan penolongnya pula. Begitulah kemiskinan akan dilanggengkan. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar