Minggu, 06 Juni 2021

 

Menghadirkan Pancasila di Era Media Sosial

FX Adji Samekto ; Deputi Pengkajian dan Materi BPIP

KOMPAS, 02 Juni 2021

 

 

                                                           

Pancasila sudah disepakati bersama sebagai dasar negara, pandangan hidup, ideologi, dan pemersatu bangsa. Pandangan hidup bangsa selalu berbasis nilai-nilai yang bersumber dari pengalaman hidup dan pengalaman akal budi suatu bangsa dalam menjaga keberlanjutannya.

 

Dengan demikian, pandangan hidup bangsa memuat tentang hal yang seharusnya diyakini untuk mencapai kebaikan bersama di masyarakat bersangkutan. Pancasila bukanlah agama, melainkan lima dasar tata hidup dan penghidupan bangsa Indonesia, yang setelah digali sedalam-dalamnya dari jiwa dan kehidupan bangsa dirumuskan sebagai suatu kesatuan bulat.

 

Karena itu, Pancasila tak dapat dibandingkan dengan agama karena ranahnya berbeda. Atas dasar Pancasila, dilaksanakan persatuan Indonesia dan didirikan negara Republik Indonesia, untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Pancasila bukan sekadar pedoman bertingkah laku atau penuntun moralitas belaka. Sesungguhnya para pendiri bangsa telah memosisikan Pancasila dalam gagasan besar untuk kemakmuran bangsa.

 

Gagasan besar para pendiri bangsa itu selanjutnya dikembangkan lebih lanjut oleh pemimpin bangsa pascarevolusi fisik 1945-1950, dengan merumuskan indikator-indikator pencapaian apa yang disebut masyarakat adil dan makmur.

 

Dalam konteks kekinian, indikator itu dapat dirinci, pertama, terjaminnya sandang dan papan bagi seluruh rakyat Indonesia. Kedua, adanya jaminan kesehatan dan pendidikan untuk setiap rakyat Indonesia.

 

Ketiga, adanya jaminan hari tua yang tak menderita bagi setiap warga negara. Keempat, adanya jaminan bagi setiap rakyat Indonesia untuk dapat memenuhi kebutuhan kerohaniannya sehingga terpenuhi kebutuhan batiniah, selain lahiriah. Kelima, jaminan berkehidupan dalam lingkungan hidup yang sehat dan layak bagi kehidupan sehingga mempunyai kesempatan yang luas untuk berbuat dan bekerja demi kepentingan umat manusia.

 

Indikator-indikator itu dijabarkan lebih terukur melalui pencapaian sasaran pembangunan. Pembangunan SDM prioritas paling utama karena kualitas SDM menentukan keberlanjutan bangsa. Di sini pentingnya pendidikan menuju pembentukan nation and character building.

 

Apabila alur berpikir yang bersumber dari gagasan pendiri bangsa diterapkan di era sekarang, sasaran pembangunan itu tentu harus disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan dan tantangan di era kekinian. Setidaknya sasaran pembangunan itu mencakup 10 prioritas: (1) bidang pendidikan, riset, dan teknologi; (2) bidang agama; (3) bidang pertahanan-keamanan; (4) bidang ekonomi; (5) bidang kesehatan; (6) bidang hukum dan HAM; (7) bidang lingkungan hidup dan sumber daya alam; (8) bidang transportasi untuk kelancaran distribusi; (9) bidang kemaritiman; dan (10) bidang komunikasi dan informasi.

 

Mengingat penggunaan anggaran negara harus efektif, tepat sasaran, dan terukur, perlu dilakukan kajian riset guna menentukan skala prioritas pembangunan nasional. Di sinilah pentingnya riset dan inovasi bertaraf nasional untuk menentukan skala prioritas pemenuhan sasaran pembangunan. Selanjutnya di dalam pelaksanaan pembangunan itu harus didasarkan pada regulasi yang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD RI 1945.

 

Dalam hal inilah sesungguhnya Pancasila harus dikenalkan dan dipahami oleh segenap bangsa Indonesia daripada sekadar penuntun tingkah laku.

 

Kini Indonesia berada di tengah-tengah perubahan dunia yang begitu pesat yang memengaruhi kehidupan di segala bidang. Tantangannya adalah bagaimana mengenalkan dan menyadarkan publik tentang gagasan besar para pendiri bangsa mengenai tujuan negara dan peran Pancasila, terutama untuk generasi milenial dan generasi yang lahir di era berikutnya.

 

Kritik yang harus diterima adalah selama ini narasi tentang Pancasila masih bersifat satu arah dari pemerintah, belum didominasi narasi dari sisi publik, khususnya generasi kekinian. Pancasila seharusnya bukan hanya menjadi domain pembahasan generasi tua (lahir jauh sebelum 1980-an), yang pernah mengikuti Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila).

 

Euforia Reformasi 1998 yang berimplikasi pada pembubaran BP7 (Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) dan mengecilnya kehadiran Pancasila dalam substansi mata pelajaran di sekolah, semakin membuat generasi milenial dan sesudahnya tidak memahami dan mengenal secara mendalam Pancasila, kecuali sekadar penuntun tingkah laku manusia Indonesia.

 

Pembumian Pancasila

 

Selain persoalan substantif, tantangan di era media sosial (medsos) sekarang ini adalah bagaimana mentransformasikan gagasan besar tentang Pancasila di tengah dominannya medsos. Di era ini, setiap orang, siapa pun, bisa jadi pewarta.

 

Banyak sisi positif yang bisa dimanfaatkan dari keberadaan medsos, tetapi tak boleh diabaikan sisi lain dari medsos. Dalam penggunaan medsos, para pewarta juga bisa tidak peduli terhadap etika dunia jurnalistik, yaitu check and recheck, selalu harus cover both sides dan konfirmasi pada narasumber.

 

Medsos kini bisa jadi sarana bagi pemenuhan kepentingan ekonomi ataupun politik, melalui pemberitaan yang bertentangan dengan kenyataan (hoaks), sehingga berpotensi menumbuhkan kebodohan baru, terutama untuk generasi milenial dan sesudahnya. Medsos telah mengubah konsep pertarungan, dari pertarungan fisik bergeser menuju pertarungan wacana, tetapi banyak yang melakukan dengan meninggalkan prinsip-prinsip jurnalistik.

 

Dilihat dari historisitasnya, medsos adalah implikasi dari kemajuan teknologi informasi di era globalisasi yang mulai terjadi pada awal 1990. Hakikat globalisasi itu sendiri adalah perluasan mendunia pasar bebas dan demokrasi liberal, dan pasar bebas telah menciptakan pilihan-pilihan langsung pada seorang individu di mana pun.

 

Medsos ada dalam bingkai kompleksitas relasi-relasi itu sehingga selalu terdapat polarisasi pilihan yang akhirnya menempatkan warganet pada posisi pro atau kontra terhadap suatu isu. Tindakan membatasi kelompok yang kontra akan melelahkan karena akan selalu tumbuh kelompok baru sebagai hasil mutasi atau regrouping. Kondisi semacam itu jelas sangat mempersulit upaya pembumian Pancasila. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar