Menghadirkan
Pancasila di Era Media Sosial FX Adji Samekto ; Deputi Pengkajian dan Materi
BPIP |
KOMPAS, 02 Juni 2021
Pancasila sudah disepakati
bersama sebagai dasar negara, pandangan hidup, ideologi, dan pemersatu
bangsa. Pandangan hidup bangsa selalu berbasis nilai-nilai yang bersumber
dari pengalaman hidup dan pengalaman akal budi suatu bangsa dalam menjaga
keberlanjutannya. Dengan demikian, pandangan
hidup bangsa memuat tentang hal yang seharusnya diyakini untuk mencapai
kebaikan bersama di masyarakat bersangkutan. Pancasila bukanlah agama,
melainkan lima dasar tata hidup dan penghidupan bangsa Indonesia, yang
setelah digali sedalam-dalamnya dari jiwa dan kehidupan bangsa dirumuskan
sebagai suatu kesatuan bulat. Karena itu, Pancasila tak
dapat dibandingkan dengan agama karena ranahnya berbeda. Atas dasar
Pancasila, dilaksanakan persatuan Indonesia dan didirikan negara Republik
Indonesia, untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Pancasila bukan
sekadar pedoman bertingkah laku atau penuntun moralitas belaka. Sesungguhnya
para pendiri bangsa telah memosisikan Pancasila dalam gagasan besar untuk
kemakmuran bangsa. Gagasan besar para pendiri
bangsa itu selanjutnya dikembangkan lebih lanjut oleh pemimpin bangsa
pascarevolusi fisik 1945-1950, dengan merumuskan indikator-indikator
pencapaian apa yang disebut masyarakat adil dan makmur. Dalam konteks kekinian,
indikator itu dapat dirinci, pertama, terjaminnya sandang dan papan bagi
seluruh rakyat Indonesia. Kedua, adanya jaminan kesehatan dan pendidikan
untuk setiap rakyat Indonesia. Ketiga, adanya jaminan
hari tua yang tak menderita bagi setiap warga negara. Keempat, adanya jaminan
bagi setiap rakyat Indonesia untuk dapat memenuhi kebutuhan kerohaniannya
sehingga terpenuhi kebutuhan batiniah, selain lahiriah. Kelima, jaminan
berkehidupan dalam lingkungan hidup yang sehat dan layak bagi kehidupan
sehingga mempunyai kesempatan yang luas untuk berbuat dan bekerja demi
kepentingan umat manusia. Indikator-indikator itu
dijabarkan lebih terukur melalui pencapaian sasaran pembangunan. Pembangunan
SDM prioritas paling utama karena kualitas SDM menentukan keberlanjutan
bangsa. Di sini pentingnya pendidikan menuju pembentukan nation and character
building. Apabila alur berpikir yang
bersumber dari gagasan pendiri bangsa diterapkan di era sekarang, sasaran
pembangunan itu tentu harus disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan dan
tantangan di era kekinian. Setidaknya sasaran pembangunan itu mencakup 10
prioritas: (1) bidang pendidikan, riset, dan teknologi; (2) bidang agama; (3)
bidang pertahanan-keamanan; (4) bidang ekonomi; (5) bidang kesehatan; (6)
bidang hukum dan HAM; (7) bidang lingkungan hidup dan sumber daya alam; (8)
bidang transportasi untuk kelancaran distribusi; (9) bidang kemaritiman; dan
(10) bidang komunikasi dan informasi. Mengingat penggunaan
anggaran negara harus efektif, tepat sasaran, dan terukur, perlu dilakukan
kajian riset guna menentukan skala prioritas pembangunan nasional. Di sinilah
pentingnya riset dan inovasi bertaraf nasional untuk menentukan skala
prioritas pemenuhan sasaran pembangunan. Selanjutnya di dalam pelaksanaan
pembangunan itu harus didasarkan pada regulasi yang tidak bertentangan dengan
Pancasila dan UUD RI 1945. Dalam hal inilah
sesungguhnya Pancasila harus dikenalkan dan dipahami oleh segenap bangsa
Indonesia daripada sekadar penuntun tingkah laku. Kini Indonesia berada di
tengah-tengah perubahan dunia yang begitu pesat yang memengaruhi kehidupan di
segala bidang. Tantangannya adalah bagaimana mengenalkan dan menyadarkan
publik tentang gagasan besar para pendiri bangsa mengenai tujuan negara dan
peran Pancasila, terutama untuk generasi milenial dan generasi yang lahir di
era berikutnya. Kritik yang harus diterima
adalah selama ini narasi tentang Pancasila masih bersifat satu arah dari
pemerintah, belum didominasi narasi dari sisi publik, khususnya generasi
kekinian. Pancasila seharusnya bukan hanya menjadi domain pembahasan generasi
tua (lahir jauh sebelum 1980-an), yang pernah mengikuti Penataran P4 (Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Euforia Reformasi 1998
yang berimplikasi pada pembubaran BP7 (Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan
Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) dan mengecilnya kehadiran
Pancasila dalam substansi mata pelajaran di sekolah, semakin membuat generasi
milenial dan sesudahnya tidak memahami dan mengenal secara mendalam
Pancasila, kecuali sekadar penuntun tingkah laku manusia Indonesia. Pembumian
Pancasila Selain persoalan
substantif, tantangan di era media sosial (medsos) sekarang ini adalah
bagaimana mentransformasikan gagasan besar tentang Pancasila di tengah
dominannya medsos. Di era ini, setiap orang, siapa pun, bisa jadi pewarta. Banyak sisi positif yang
bisa dimanfaatkan dari keberadaan medsos, tetapi tak boleh diabaikan sisi
lain dari medsos. Dalam penggunaan medsos, para pewarta juga bisa tidak
peduli terhadap etika dunia jurnalistik, yaitu check and recheck, selalu
harus cover both sides dan konfirmasi pada narasumber. Medsos kini bisa jadi
sarana bagi pemenuhan kepentingan ekonomi ataupun politik, melalui
pemberitaan yang bertentangan dengan kenyataan (hoaks), sehingga berpotensi
menumbuhkan kebodohan baru, terutama untuk generasi milenial dan sesudahnya.
Medsos telah mengubah konsep pertarungan, dari pertarungan fisik bergeser
menuju pertarungan wacana, tetapi banyak yang melakukan dengan meninggalkan
prinsip-prinsip jurnalistik. Dilihat dari
historisitasnya, medsos adalah implikasi dari kemajuan teknologi informasi di
era globalisasi yang mulai terjadi pada awal 1990. Hakikat globalisasi itu
sendiri adalah perluasan mendunia pasar bebas dan demokrasi liberal, dan
pasar bebas telah menciptakan pilihan-pilihan langsung pada seorang individu
di mana pun. Medsos ada dalam bingkai
kompleksitas relasi-relasi itu sehingga selalu terdapat polarisasi pilihan
yang akhirnya menempatkan warganet pada posisi pro atau kontra terhadap suatu
isu. Tindakan membatasi kelompok yang kontra akan melelahkan karena akan selalu
tumbuh kelompok baru sebagai hasil mutasi atau regrouping. Kondisi semacam
itu jelas sangat mempersulit upaya pembumian Pancasila. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar