Tantangan
Pelayanan untuk Lansia Sita Aripurnami ; Direktur Eksekutif Women
Research Institute |
KOMPAS, 02 Juni 2021
Sejak 76 tahun lalu,
Indonesia telah mencanangkan hari yang secara nasional khusus ditujukan untuk
menghargai para lansia. Berangkat dari rasa kagum
kepada Dr KRT Radjiman Widiodiningrat yang dalam usia lanjut secara cemerlang
memimpin sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI) tahun 1945, peristiwa itu diambil sebagai tonggak penghargaan bagi
lansia. Namun, setelah lebih dari
setengah abad berselang, seperti apakah perwujudan penghargaan bagi para
lansia? Bagaimana pelayanan yang tersedia bagi para lansia? Cara
pandang menghargai lansia Menurut Badan Pusat
Statistik (2020), jumlah lansia di Indonesia adalah 10 persen dari total
penduduk Indonesia atau sekitar 27,1 juta jiwa. Pada 2025 jumlah populasi
lansia diproyeksikan menjadi 33,7 juta jiwa atau 11,8 persen. Sementara itu, menurut
proyeksi populasi lansia, di Asia pada 2030 akan terjadi perubahan demografi.
Sebanyak 60 persen penduduk Asia akan terdiri dari mereka yang berusia 60
tahun ke atas. Dengan kata lain, jumlah populasi lansia, baik di Indonesia
maupun di Asia, cenderung meningkat. Melihat jumlah lansia yang
akan terus meningkat ini, muncul dua cara pandang pemikiran untuk mendukung
dan memberikan pelayanan bagi lansia. Cara pandang pertama,
melihat dengan bertambahnya populasi lansia, maka yang perlu dipikirkan
adalah daya dukung bagi mereka. Para lansia berhak mendapatkan pengakuan dan
ruang untuk hidup berdaya dan bermartabat. Pada cara pandang ini,
lansia dilihat sebagai kelompok yang perlu diperlakukan secara hati-hati.
Mereka dianggap rentan dan dianggap tak perlu terlalu aktif. Pertanyaannya,
apakah pelayanan yang tersedia dan siap memenuhi kondisi orang-orang yang
berusia lanjut? Indonesia memiliki peraturan untuk menjamin pemenuhan hak-hak
lansia, yaitu UU No 13 Tahun 1998. Berbagai hak lansia telah
dijamin oleh negara, tertera dalam Pasal 5, Ayat 2, yaitu hak atas pelayanan
spiritual dan keagamaan; hak atas pelayanan kesehatan; hak atas pelayanan
kesempatan kerja; hak atas pelayanan pendidikan dan pelatihan; kemudahan
menggunakan fasilitas, sarana, dan prasarana publik; kemudahan mendapatkan
layanan bantuan hukum, perlindungan sosial; dan hak atas bantuan sosial. Secara normatif, negara
menjamin pemenuhan hak para lansia, termasuk hak untuk mendapatkan pelayanan
yang disediakan negara. Namun, nyatanya, apakah para lansia ini sudah
mendapatkan haknya atas pelayanan itu? Cara pandang kedua,
melihat meningkatnya populasi lansia membuka ruang baru bagi orang-orang
dengan usia yang lebih tua untuk hidup lebih produktif setelah pensiun. Hal
ini terutama tampak dipikirkan dan dikembangkan di negara-negara yang sudah
berkembang, seperti di Singapura dan Korea Selatan. Menjadi bertambah tua
bukanlah akhir dari segalanya. Negara-negara ini
memikirkan peran dan pelibatan sosial yang dapat dikembangkan agar populasi
yang meningkat jumlahnya ini dapat menjadi tenaga yang produktif. Istilah
lansia yang disebut bukan lagi elderly atau ageing, melainkan longevity atau
menjadi orang dengan usia tua yang sukses dan produktif. Kebijakan dan
program pun dirancang untuk mendukung hal ini. Menjadi lansia produktif
di tengah keluarga melalui kegiatan antargenerasi, seperti mentransfer
pengetahuan dari yang tua kepada generasi muda; atau menjadi lansia produktif
di tengah masyarakat, seperti sukarelawan bagi kegiatan komunitas. Bisa pula
memetakan minat dan kebutuhan belajar para lansia, seperti bekerja sama
dengan universitas-universitas yang ada untuk menerima lansia belajar dan
sekolah kembali untuk strata satu, dua, atau tiga. Dipercaya bahwa melalui
cara pandang kedua ini, para lansia akan lebih panjang harapan hidupnya,
karena dirinya sebagai manusia, baik laki-laki maupun perempuan, akan lebih
panjang eksistensinya. Para lansia akan menjalani hidup dengan hati yang
senang. Pertanyaannya, apakah cara
pandang kedua ini dapat dipilih manakala para lansia masih menghadapi
persoalan dalam pemenuhan haknya akan layanan yang tersedia bagi negara. Tantangan
pada pelayanan yang tersedia Dari pengamatan pribadi
dan pengalaman lembaga-lembaga yang bekerja untuk isu lansia, orang lanjut
usia, belum terpenuhi hak-haknya. Salah satunya adalah pada tak efisiennya
pengurusan administrasi pelayanan bagi para lanjut usia dalam mengurus uang
pensiun. Tak menjadi masalah apabila para lanjut usia itu memiliki anggota
keluarga yang dapat membantu menguruskannya. Persoalan muncul apabila
para lanjut usia ini harus mengurus sendiri. Ini artinya para lanjut usia
yang tidak memiliki anggota keluarga yang dapat membantunya bisa menjadi
rentan secara ekonomi karena tidak mendapatkan kemudahan pelayanan untuk
mengakses sumber daya ekonomi mereka. Lalu, bagaimana dengan
para lansia yang miskin, yang harus bekerja agar dapat tetap hidup. Bagaimana
pula dengan para lansia yang hidup sendiri tanpa memiliki sistem pendukung
yang memadai. Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945
menyatakan bahwa tujuan didirikan Negara Republik Indonesia adalah untuk
memajukan kesejahteraan masyarakat. Artinya, negara didirikan berlandaskan
konsep welfare state atau negara yang mementingkan kesejahteraan. Hak-hak para lanjut usia
harus terpenuhi terlebih dahulu, baru konsep kesejahteraan yang diambil oleh
negara terwujud. Dengan demikian, Indonesia akan menjadi negara yang mengacu
pada kesejahteraan warganya, termasuk warga lanjut usia. Sudah saatnya
mengajak anak muda memimpin perubahan dengan meluncurkan pemikiran
intergenerasi guna mendukung gerakan sayang lansia agar mereka mendapatkan
hak serta perlindungan sebagai warga negara dan menjadi jawaban atas
tantangan pelayanan bagi para lansia. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar