Membangun
Ekosistem Batu Mulia yang Berkelanjutan Andre Notohamijoyo ; Pemerhati
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Doktor Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia |
KOMPAS, 03 Juni 2021
Di saat Pandemi Covid-19,
sektor pariwisata yang digadang-gadang menjadi salah satu penggerak ekonomi
nasional justru menjadi sektor yang terdampak paling serius. Berbagai upaya
yang dilakukan pemerintah untuk mendongkrak sektor pariwisata belum
membuahkan hasil optimal. Upaya menarik wisatawan mancanegara menghadapi
ancaman serius berupa penyebaran virus Covid-19 yang saat ini kembali
melonjak. India saat ini menghadapi
gelombang kedua penyebaran virus Covid-19 yang dahsyat. Gelombang kedua
tersebut bahkan menyebabkan Pemerintah India kewalahan mengatasi lonjakan
pasien di rumah sakit maupun banyaknya warga yang tewas akibat terpapar virus
Covid-19. Masuknya warga negara India ke Indonesia dalam sebulan terakhir
menambah kecemasan masyarakat. Terlebih sebagian individu yang dikarantina
terbukti positif Covid-19. Pemerintah Indonesia
segera mengantisipasinya dengan larangan masuk bagi warga negara India. Hal
tersebut menunjukkan fakta bahwa sektor pariwisata belum dapat didorong di
saat pandemi seperti saat ini. Namun, perekonomian harus terus bergulir. Pemerintah harus
mempertimbangkan secara seksama solusi pemulihan ekonomi. Salah satunya
adalah ekonomi kreatif. Ekonomi kreatif dan pariwisata bagaikan dua sisi mata
uang. Keduanya tidak terpisahkan dan berjalan seiring. Di saat pariwisata
tidak dapat berjalan akibat pandemi, ekonomi kreatif harus digenjot mendorong
pertumbuhan ekonomi. Thailand merupakan contoh riil bagaimana
mengintegrasikan kedua sektor tersebut. Thailand tidak hanya
terkenal karena pariwisata berbasis budaya (culture) dan alam (nature) namun
juga ekonomi kreatif sebagai pendongkrak (leverage) sektor pariwisata. Salah
satu contoh nyatanya adalah kerajinan perhiasan batu mulia (gemstone).
Thailand sangat serius menggarap pasar gemstone ini dari hulu ke hilir.
Thailand membuka sekolah khusus untuk ahli penilai batu mulia (gemologist),
pengrajin batu mulia hingga desainer perhiasan (Notohamijoyo: 2016). Gemologist dari Thailand
memiliki reputasi yang sangat terpercaya, kredibel serta berkelas internasional.
Banyak wisatawan yang khusus datang berbelanja batu mulia di Thailand karena
kepercayaan (trust) yang didapatkan dari reputasi gemologist tersebut.
Wisatawan mancanegara yang menyempatkan diri berbelanja ke Thailand umumnya
justru tidak percaya dengan sistem sertifikasi di negara asal batu mulianya! Thailand sukses membangun
industri perhiasan dengan membangun kredibilitas sertifikasi batu mulia serta
keanekaragaman desain perhiasan yang memikat. Banyak wisatawan mancanegara
termasuk Indonesia yang berbelanja di sentra batu mulia Mahesak Road, Bangkok
maupun Chanthaburi. Di sentra batu mulia
tersebut ada agen penjualan yang bisa berbahasa Indonesia khusus melayani
wisatawan asal Indonesia yang berbelanja. Hal tersebut menjadi daya tarik
bagi wisatawan asal Indonesia. Thailand sukses membangun ekosistem industri
batu mulia di negaranya. Selain itu Thailand berhasil membangun industri yang
padat karya dan peduli pada kesetaraan jender sebagaimana penelitian dari
Lynda Lawson (2019). Kondisi ini berbeda dengan
fenomena demam batu akik/batu mulia yang hanya berlangsung sesaat di
Indonesia kurun waktu 2014-2015. Pemerintah gagal memanfaatkan momentum
tersebut dan tidak melakukan langkah strategis untuk membangun ekosistem
industri batu mulia. Hal tersebut sangat disayangkan mengingat banyak
pemerintah daerah yang memfasilitasi sentra penjualan batu mulia di daerahnya
masing-masing, seperti Sentra Batu Akik Rawabening dan Blok M (DKI Jakarta),
Martapura (Kalimantan Selatan), Kebun Sayur (Balikpapan, Kalimantan Timur)
dan lain-lain. Saat ini usaha batu mulia
tidak lagi menarik. Minat masyarakat sudah sangat menurun. Namun di saat
pandemi seperti sekarang ini, usaha batu mulia dapat menjadi solusi
penyaluran hobi bagi masyarakat. Hobi tersebut harus diarahkan untuk
menumbuhkan kembali usaha batu mulia di tanah air. Usaha batu mulia harus
diarahkan untuk membangun kesadaran masyarakat terhadap keanekaragaman batu
mulia dan kearifan lokal untuk pelestariannya. Penelitian dari Nicole M Smith
(2016) serta Lynda Lawson dan Kuntala Lahiri-Duttb (2020) dapat menjadi
referensi yang bagus tentang hal tersebut. Sebagai bagian dari batuan
alam, batu mulia rentan kelestariannya. Perburuan terhadap batu mulia dapat
mengganggu kelestarian alam. Selain itu bentang alam dapat berubah dan rusak.
Diperlukan penanganan khusus secara menyeluruh dan terintegrasi oleh
Pemerintah. Inilah momentum untuk memulai proses sertifikasinya. Sertifikasi batu mulia
dilakukan untuk menjamin proses pengambilan batu mulia melalui prosedur yang
benar dan tidak mengganggu kelestarian alam apalagi merusaknya. Sistem
sertifikasi inilah yang perlu dibangun secara terintegrasi dan membangun
kesadaran masyarakat termasuk konsumen. Pemerintah perlu menetapkan skema
khusus untuk sistem sertifikasi tersebut. Pemerintah perlu
mempelajari lebih lanjut Kimberley Process (KP), sebuah sistem sertifikasi
terhadap berlian yang dilakukan untuk menghilangkan konflik dalam perdagangan
berlian di rantai pasokan global. KP muncul karena perdagangan berlian di
Afrika yang menyebabkan penyelundupan, perang saudara hingga pelecehan anak
di bawah umur. Proses dan riwayat dari KP tersebut menginspirasi produksi
film Blood Diamond tahun 2006 yang dibintangi Leonardo DiCaprio. Sistem sertifikasi yang
bagus dan tepercaya merupakan landasan yang kuat untuk membangun industri
batu mulia. Kesadaran masyarakat dapat dibangun dan citra produk pun akan
meningkat. Perlu juga dipelajari
lebih lanjut penerapan CITES (Convention on International Trade in Endangered
Species of Wild Fauna and Flora). CITES adalah konvensi perdagangan
internasional tumbuhan dan satwa liar spesies terancam punah yang disusun
berdasarkan resolusi sidang anggota International Union for Conservation of
Nature and Natural Resources (IUCN) tahun 1963. Konvensi tersebut
bertujuan melindungi tumbuhan dan satwa liar terhadap perdagangan
internasional yang mengakibatkan kelestariannya terancam. Penerapan CITES
mampu membangun kesadaran konsumen terhadap produk yang dihasilkan dari
spesies yang rawan punah. Sebagai contoh, produk berbahan dasar kulit buaya
yang telah mendapatkan sertifikasi CITES seperti tas, jaket dan lain-lain
menjadi pilihan utama dan menumbuhkan citra eksklusif produk tersebut. Di sinilah perlunya
koordinasi dan kolaborasi antara berbagai instansi pemerintah. Kolaborasi
harus dilakukan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) selaku
instansi pengampu sektor sumber daya mineral termasuk batu mulia dengan
Kemenparekraf, Kementerian LHK, Kementerian Perindustrian, Kementerian
Perdagangan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil
Menengah serta Kementerian BUMN. Sinergi juga harus dilakukan dengan pemangku
kepentingan lain seperti pemerintah daerah, asosiasi, pelaku usaha dan
lain-lain. Inilah yang diperlukan untuk membangun ekosistem batu mulia yang
berkelanjutan di Indonesia. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar