Minggu, 06 Juni 2021

 

Membangun Ekosistem Batu Mulia yang Berkelanjutan

Andre Notohamijoyo ; Pemerhati Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Doktor Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia

KOMPAS, 03 Juni 2021

 

 

                                                           

Di saat Pandemi Covid-19, sektor pariwisata yang digadang-gadang menjadi salah satu penggerak ekonomi nasional justru menjadi sektor yang terdampak paling serius. Berbagai upaya yang dilakukan pemerintah untuk mendongkrak sektor pariwisata belum membuahkan hasil optimal. Upaya menarik wisatawan mancanegara menghadapi ancaman serius berupa penyebaran virus Covid-19 yang saat ini kembali melonjak.

 

India saat ini menghadapi gelombang kedua penyebaran virus Covid-19 yang dahsyat. Gelombang kedua tersebut bahkan menyebabkan Pemerintah India kewalahan mengatasi lonjakan pasien di rumah sakit maupun banyaknya warga yang tewas akibat terpapar virus Covid-19. Masuknya warga negara India ke Indonesia dalam sebulan terakhir menambah kecemasan masyarakat. Terlebih sebagian individu yang dikarantina terbukti positif Covid-19.

 

Pemerintah Indonesia segera mengantisipasinya dengan larangan masuk bagi warga negara India. Hal tersebut menunjukkan fakta bahwa sektor pariwisata belum dapat didorong di saat pandemi seperti saat ini. Namun, perekonomian harus terus bergulir.

 

Pemerintah harus mempertimbangkan secara seksama solusi pemulihan ekonomi. Salah satunya adalah ekonomi kreatif. Ekonomi kreatif dan pariwisata bagaikan dua sisi mata uang. Keduanya tidak terpisahkan dan berjalan seiring. Di saat pariwisata tidak dapat berjalan akibat pandemi, ekonomi kreatif harus digenjot mendorong pertumbuhan ekonomi. Thailand merupakan contoh riil bagaimana mengintegrasikan kedua sektor tersebut.

 

Thailand tidak hanya terkenal karena pariwisata berbasis budaya (culture) dan alam (nature) namun juga ekonomi kreatif sebagai pendongkrak (leverage) sektor pariwisata. Salah satu contoh nyatanya adalah kerajinan perhiasan batu mulia (gemstone). Thailand sangat serius menggarap pasar gemstone ini dari hulu ke hilir. Thailand membuka sekolah khusus untuk ahli penilai batu mulia (gemologist), pengrajin batu mulia hingga desainer perhiasan (Notohamijoyo: 2016).

 

Gemologist dari Thailand memiliki reputasi yang sangat terpercaya, kredibel serta berkelas internasional. Banyak wisatawan yang khusus datang berbelanja batu mulia di Thailand karena kepercayaan (trust) yang didapatkan dari reputasi gemologist tersebut. Wisatawan mancanegara yang menyempatkan diri berbelanja ke Thailand umumnya justru tidak percaya dengan sistem sertifikasi di negara asal batu mulianya!

 

Thailand sukses membangun industri perhiasan dengan membangun kredibilitas sertifikasi batu mulia serta keanekaragaman desain perhiasan yang memikat. Banyak wisatawan mancanegara termasuk Indonesia yang berbelanja di sentra batu mulia Mahesak Road, Bangkok maupun Chanthaburi.

 

Di sentra batu mulia tersebut ada agen penjualan yang bisa berbahasa Indonesia khusus melayani wisatawan asal Indonesia yang berbelanja. Hal tersebut menjadi daya tarik bagi wisatawan asal Indonesia. Thailand sukses membangun ekosistem industri batu mulia di negaranya. Selain itu Thailand berhasil membangun industri yang padat karya dan peduli pada kesetaraan jender sebagaimana penelitian dari Lynda Lawson (2019).

 

Kondisi ini berbeda dengan fenomena demam batu akik/batu mulia yang hanya berlangsung sesaat di Indonesia kurun waktu 2014-2015. Pemerintah gagal memanfaatkan momentum tersebut dan tidak melakukan langkah strategis untuk membangun ekosistem industri batu mulia. Hal tersebut sangat disayangkan mengingat banyak pemerintah daerah yang memfasilitasi sentra penjualan batu mulia di daerahnya masing-masing, seperti Sentra Batu Akik Rawabening dan Blok M (DKI Jakarta), Martapura (Kalimantan Selatan), Kebun Sayur (Balikpapan, Kalimantan Timur) dan lain-lain.

 

Saat ini usaha batu mulia tidak lagi menarik. Minat masyarakat sudah sangat menurun. Namun di saat pandemi seperti sekarang ini, usaha batu mulia dapat menjadi solusi penyaluran hobi bagi masyarakat. Hobi tersebut harus diarahkan untuk menumbuhkan kembali usaha batu mulia di tanah air.

 

Usaha batu mulia harus diarahkan untuk membangun kesadaran masyarakat terhadap keanekaragaman batu mulia dan kearifan lokal untuk pelestariannya. Penelitian dari Nicole M Smith (2016) serta Lynda Lawson dan Kuntala Lahiri-Duttb (2020) dapat menjadi referensi yang bagus tentang hal tersebut.

 

Sebagai bagian dari batuan alam, batu mulia rentan kelestariannya. Perburuan terhadap batu mulia dapat mengganggu kelestarian alam. Selain itu bentang alam dapat berubah dan rusak. Diperlukan penanganan khusus secara menyeluruh dan terintegrasi oleh Pemerintah. Inilah momentum untuk memulai proses sertifikasinya.

 

Sertifikasi batu mulia dilakukan untuk menjamin proses pengambilan batu mulia melalui prosedur yang benar dan tidak mengganggu kelestarian alam apalagi merusaknya. Sistem sertifikasi inilah yang perlu dibangun secara terintegrasi dan membangun kesadaran masyarakat termasuk konsumen. Pemerintah perlu menetapkan skema khusus untuk sistem sertifikasi tersebut.

 

Pemerintah perlu mempelajari lebih lanjut Kimberley Process (KP), sebuah sistem sertifikasi terhadap berlian yang dilakukan untuk menghilangkan konflik dalam perdagangan berlian di rantai pasokan global. KP muncul karena perdagangan berlian di Afrika yang menyebabkan penyelundupan, perang saudara hingga pelecehan anak di bawah umur. Proses dan riwayat dari KP tersebut menginspirasi produksi film Blood Diamond tahun 2006 yang dibintangi Leonardo DiCaprio.

 

Sistem sertifikasi yang bagus dan tepercaya merupakan landasan yang kuat untuk membangun industri batu mulia. Kesadaran masyarakat dapat dibangun dan citra produk pun akan meningkat.

 

Perlu juga dipelajari lebih lanjut penerapan CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora). CITES adalah konvensi perdagangan internasional tumbuhan dan satwa liar spesies terancam punah yang disusun berdasarkan resolusi sidang anggota International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) tahun 1963.

 

Konvensi tersebut bertujuan melindungi tumbuhan dan satwa liar terhadap perdagangan internasional yang mengakibatkan kelestariannya terancam. Penerapan CITES mampu membangun kesadaran konsumen terhadap produk yang dihasilkan dari spesies yang rawan punah. Sebagai contoh, produk berbahan dasar kulit buaya yang telah mendapatkan sertifikasi CITES seperti tas, jaket dan lain-lain menjadi pilihan utama dan menumbuhkan citra eksklusif produk tersebut.

 

Di sinilah perlunya koordinasi dan kolaborasi antara berbagai instansi pemerintah. Kolaborasi harus dilakukan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) selaku instansi pengampu sektor sumber daya mineral termasuk batu mulia dengan Kemenparekraf, Kementerian LHK, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah serta Kementerian BUMN. Sinergi juga harus dilakukan dengan pemangku kepentingan lain seperti pemerintah daerah, asosiasi, pelaku usaha dan lain-lain. Inilah yang diperlukan untuk membangun ekosistem batu mulia yang berkelanjutan di Indonesia. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar