Kamis, 01 April 2021

 

Terorisme dan Agama dalam Pendidikan

 Anita Lie ; Guru Besar FKIP Unika Widya Mandala Surabaya

                                                         KOMPAS, 01 April 2021

 

 

                                                           

Ledakan bom bunuh diri di depan Katedral Hati Kudus Yesus di Makassar membuka kembali luka lama sekaligus ruang perdebatan mengenai terorisme dan agama. Luka lama kembali muncul ke permukaan karena kejadian yang berulang-ulang terjadi dengan sasaran pada tempat, tokoh, atau simbol agama (tidak terbatas pada satu agama saja). Pernyataan-pernyataan pejabat negara bahwa peristiwa ini ”tidak ada kaitannya dengan agama apa pun” kemudian membuka ruang perdebatan.

 

Satu tulisan di Facebook mempertanyakan pernyataan klise pejabat negara, ”Mengapa ’terburu buru’ membela agama? Bukankah lebih baik bekerja keras untuk menyimak ulang dan menginvestigasi ’mengapa bom semacam ini terjadi berulang ulang...”. Rasanya tautologi belaka, bom tak terkait dengan agama apa saja.

 

Semua sudah tahu tidak ada Kitab Suci yang bilang, ”Ayooo, bom itu Gereja atau mereka.” Tidak ada. Dan, itu sudah jelas. Jelas sekali. Sangat jelas. Namun, mengapa terjadi berulang kali dan terus-menerus? Mari membela hidup manusia pertama tama. Jangan buru-buru membela agama.

 

Kalau dipikir-pikir, membela agama itu membela apa sesungguhnya? Kitab Suci? Sudah jelas, tak perlu dibela, tetapi dihayati dengan sebaik-baiknya. Allah? Dia kita bela dari ancaman apa? Nama agama? Apakah agama punya nama, punya reputasi? Bukankah reputasi agama ada di pemeluknya. Maka, mengapa bom sejenis ini terjadi berulang-ulang dan terus menerus? What went wrong?

 

Dari ”Hati” yang amat prihatin selagi berhadapan dengan ancaman kehidupan, kita ”menghindari instropeksi diri” dengan buru buru mengatakan ”tak terkait agama”. Ah, terasa kurang simpatik. Kita orang-orang beragama jadi pribadi-pribadi yang tak bisa dikritik, bahkan oleh diri sendiri sekalipun” (Armada, 28 Maret 2021).

 

Di Twitter pun muncul komentar yang lebih spesifik ”Mungkin maksud Presiden @jokowi, kelompok teroris bisa berasal dari agama/ideologi yang berbeda-beda. Ini saya sepakat. Tapi kalimat ’aksi teroris tidak ada kaitannya dengan agama’ jadi kurang tepat sebab banyak teroris yg berangkat dari tafsir ajaran agamanya” (Alissa Wahid, 28 Maret 2021).

 

Kemudian muncul pula yang lebih spesifik dan lugas, ”Teroris dan radikalis atas nama Islam nyata ada. Umat Islam harus berbesar hati mengakui itu sebagai penyakit umat, lalu basmi. Jangan malah denial/mungkir, bilang teroris enggak punya agama. Cara untuk sembuh dari penyakit: akui punya penyakit, lalu obati” (Akhmad Sahal, 28 Maret 2021). Muncul pula sinisme ”Di Indonesia semua hal dihubungkan dengan agama kecuali terorisme.”

 

Secara positif, wacana yang muncul dalam ruang perdebatan publik menunjukkan masih hidupnya nilai-nilai demokratis yang memungkinkan protes anggota masyarakat terhadap pernyataan pejabat tinggi negara dan masih besarnya harapan masyarakat terhadap peran agama untuk melakukan perbaikan tata nilai dan perilaku masyarakat.

 

Artikel ini tidak membahas keterkaitan terorisme dengan agama karena biarlah itu menjadi kajian bagi para pemuka agama dan pakar ilmu-ilmu sosial-politik. Artikel ini membahas peran agama dalam pendidikan sebagai penangkal (antidote) benih-benih terorisme.

 

Agama dalam Peta Jalan Pendidikan Nasional

 

Tidak adanya kata agama dalam draf Peta Jalan Pendidikan Nasional (PJPN) 2020-2035 telah menimbulkan polemik di masyarakat. Beberapa lembaga dan organisasi masyarakat berbasis keagamaan memprotes, meminta kata agama dimasukkan dan bahkan mengusulkan rumusan tujuan pendidikan nasional yang lebih agamis.

 

Sementara itu, beberapa lembaga lain bisa menerima draf PJPN tanpa kata agama karena penekanan pada nilai-nilai Pancasila itu sudah dengan sendirinya mencakup soal agama di dalamnya karena ada sila Ketuhanan Yang Masa Esa.

 

Menanggapi polemik ini, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sudah menyatakan akan merevisi draf Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035 dan memasukkan kata agama secara eksplisit dalam PJPN.

 

Dalam dua hari berturut-turut, Kompas menyajikan dua artikel opini terkait kata agama dalam PJPN. Ahmad Najib Burhani mempertanyakan ”mengapa pendidikan keagamaan yang ada di sekolah justru melahirkan radikalisme, eksklusivisme, intoleransi, dan sejenisnya? Di sini perlu dilihat secara serius ketika agama hendak dimasukkan menjadi unsur penting dalam PJP. Nilai keagamaan seperti apa yang hendak diajarkan?” (Kompas, 27 Maret 2021).

 

Sebaliknya, Sigit Riyanto mengingatkan bahwa ”Menghilangkan agama dalam pendidikan nasional juga dapat menghilangkan kesempatan mendidik dengan berkeadaban bagi anak-anak Indonesia. Menghilangkan agama dalam pendidikan juga melanggar konstitusi dan membuka peluang terjadinya degradasi peradaban Indonesia” (Kompas, 28 Maret 2021).

 

Permasalahan mendasarnya sebenarnya lebih dari sekadar keberadaan kata agama dalam suatu dokumen publik, tetapi bagaimana inspirasi nilai-nilai kebajikan dan perdamaian dari sumber-sumber agama itu dihidupi oleh para pelakunya, terutama oleh para pemuka agama itu sendiri yang dalam kehidupan bermasyarakat menjadi model teladan bagi para penganut.

 

Tercatat ada sedikitnya 23 kata agama (tidak termasuk kata-kata terkait dalam domain agama, seperti iman, takwa, dan akhlak) dalam teks 37 halaman Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

 

Ironisnya, dalam refleksi 17 tahun pemberlakuan undang-undang yang sarat dengan kata agama ini justru muncul banyak peristiwa intoleransi agama di berbagai daerah di Nusantara, mulai dari teks-teks bermuatan kebencian agama dalam materi pembelajaran, intervensi berlebihan guru yang berbasis tafsir ajaran agama dalam pemilihan pengurus OSIS, sampai dengan kewajiban mengenakan seragam berbasis keagamaan kepada siswa dengan iman dan keyakinan berbeda.

 

Apa yang salah dalam penerapan ajaran agama di negara ini? Mengapa sebagian orang Indonesia sangat mudah dibakar dengan isu agama? Bagaimana sistem pendidikan nasional bisa mengubah situasi ini dan mencerdaskan manusia Indonesia agar tetap berakar kuat pada nilai-nilai agama yang mengajarkan kebaikan dan perdamaian serta menggunakan akal budi untuk menghadapi persoalan kehidupan secara rasional? Bagaimana mewujudkan keimanan dan ketakwaan menjadi perilaku yang menghargai martabat manusia, memperjuangkan kesejahteraan bersama, dan berbela rasa kepada mereka yang terpinggirkan?

 

Setelah peristiwa yang mengoyak rasa kemanusiaan, selalu ada reaksi-reaksi spontan yang mengecam tindakan yang telah melukai bangsa. Semoga peristiwa ini bisa menjadi momentum bagi kebijakan dan tindakan konsolidasi keindonesiaan lintas sektoral yang lebih serius dan menyeluruh. Di sektor pendidikan, pencegahan yang lebih menyeluruh perlu dilakukan untuk menghentikan kerusakan akibat benih-benih intoleransi yang justru banyak disemaikan di sebagian sekolah. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar