Terorisme
dan Agama dalam Pendidikan Anita Lie ; Guru Besar FKIP Unika Widya Mandala
Surabaya |
KOMPAS,
01 April
2021
Ledakan bom bunuh diri di depan Katedral
Hati Kudus Yesus di Makassar membuka kembali luka lama sekaligus ruang
perdebatan mengenai terorisme dan agama. Luka lama kembali muncul ke
permukaan karena kejadian yang berulang-ulang terjadi dengan sasaran pada
tempat, tokoh, atau simbol agama (tidak terbatas pada satu agama saja).
Pernyataan-pernyataan pejabat negara bahwa peristiwa ini ”tidak ada kaitannya
dengan agama apa pun” kemudian membuka ruang perdebatan. Satu tulisan di Facebook mempertanyakan
pernyataan klise pejabat negara, ”Mengapa ’terburu buru’ membela agama?
Bukankah lebih baik bekerja keras untuk menyimak ulang dan menginvestigasi
’mengapa bom semacam ini terjadi berulang ulang...”. Rasanya tautologi
belaka, bom tak terkait dengan agama apa saja. Semua sudah tahu tidak ada Kitab Suci yang
bilang, ”Ayooo, bom itu Gereja atau mereka.” Tidak ada. Dan, itu sudah jelas.
Jelas sekali. Sangat jelas. Namun, mengapa terjadi berulang kali dan
terus-menerus? Mari membela hidup manusia pertama tama. Jangan buru-buru
membela agama. Kalau dipikir-pikir, membela agama itu
membela apa sesungguhnya? Kitab Suci? Sudah jelas, tak perlu dibela, tetapi
dihayati dengan sebaik-baiknya. Allah? Dia kita bela dari ancaman apa? Nama
agama? Apakah agama punya nama, punya reputasi? Bukankah reputasi agama ada
di pemeluknya. Maka, mengapa bom sejenis ini terjadi berulang-ulang dan terus
menerus? What went wrong? Dari ”Hati” yang amat prihatin selagi
berhadapan dengan ancaman kehidupan, kita ”menghindari instropeksi diri”
dengan buru buru mengatakan ”tak terkait agama”. Ah, terasa kurang simpatik.
Kita orang-orang beragama jadi pribadi-pribadi yang tak bisa dikritik, bahkan
oleh diri sendiri sekalipun” (Armada, 28 Maret 2021). Di Twitter pun muncul komentar yang lebih
spesifik ”Mungkin maksud Presiden @jokowi, kelompok teroris bisa berasal dari
agama/ideologi yang berbeda-beda. Ini saya sepakat. Tapi kalimat ’aksi
teroris tidak ada kaitannya dengan agama’ jadi kurang tepat sebab banyak
teroris yg berangkat dari tafsir ajaran agamanya” (Alissa Wahid, 28 Maret
2021). Kemudian muncul pula yang lebih spesifik
dan lugas, ”Teroris dan radikalis atas nama Islam nyata ada. Umat Islam harus
berbesar hati mengakui itu sebagai penyakit umat, lalu basmi. Jangan malah
denial/mungkir, bilang teroris enggak punya agama. Cara untuk sembuh dari
penyakit: akui punya penyakit, lalu obati” (Akhmad Sahal, 28 Maret 2021).
Muncul pula sinisme ”Di Indonesia semua hal dihubungkan dengan agama kecuali
terorisme.” Secara positif, wacana yang muncul dalam
ruang perdebatan publik menunjukkan masih hidupnya nilai-nilai demokratis
yang memungkinkan protes anggota masyarakat terhadap pernyataan pejabat
tinggi negara dan masih besarnya harapan masyarakat terhadap peran agama
untuk melakukan perbaikan tata nilai dan perilaku masyarakat. Artikel ini tidak membahas keterkaitan
terorisme dengan agama karena biarlah itu menjadi kajian bagi para pemuka
agama dan pakar ilmu-ilmu sosial-politik. Artikel ini membahas peran agama
dalam pendidikan sebagai penangkal (antidote) benih-benih terorisme. Agama
dalam Peta Jalan Pendidikan Nasional Tidak adanya kata agama dalam draf Peta
Jalan Pendidikan Nasional (PJPN) 2020-2035 telah menimbulkan polemik di
masyarakat. Beberapa lembaga dan organisasi masyarakat berbasis keagamaan
memprotes, meminta kata agama dimasukkan dan bahkan mengusulkan rumusan
tujuan pendidikan nasional yang lebih agamis. Sementara itu, beberapa lembaga lain bisa
menerima draf PJPN tanpa kata agama karena penekanan pada nilai-nilai
Pancasila itu sudah dengan sendirinya mencakup soal agama di dalamnya karena
ada sila Ketuhanan Yang Masa Esa. Menanggapi polemik ini, Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan sudah menyatakan akan merevisi draf Peta Jalan Pendidikan
Nasional 2020-2035 dan memasukkan kata agama secara eksplisit dalam PJPN. Dalam dua hari berturut-turut, Kompas
menyajikan dua artikel opini terkait kata agama dalam PJPN. Ahmad Najib
Burhani mempertanyakan ”mengapa pendidikan keagamaan yang ada di sekolah
justru melahirkan radikalisme, eksklusivisme, intoleransi, dan sejenisnya? Di
sini perlu dilihat secara serius ketika agama hendak dimasukkan menjadi unsur
penting dalam PJP. Nilai keagamaan seperti apa yang hendak diajarkan?”
(Kompas, 27 Maret 2021). Sebaliknya, Sigit Riyanto mengingatkan
bahwa ”Menghilangkan agama dalam pendidikan nasional juga dapat menghilangkan
kesempatan mendidik dengan berkeadaban bagi anak-anak Indonesia.
Menghilangkan agama dalam pendidikan juga melanggar konstitusi dan membuka
peluang terjadinya degradasi peradaban Indonesia” (Kompas, 28 Maret 2021). Permasalahan mendasarnya sebenarnya lebih
dari sekadar keberadaan kata agama dalam suatu dokumen publik, tetapi
bagaimana inspirasi nilai-nilai kebajikan dan perdamaian dari sumber-sumber
agama itu dihidupi oleh para pelakunya, terutama oleh para pemuka agama itu
sendiri yang dalam kehidupan bermasyarakat menjadi model teladan bagi para
penganut. Tercatat ada sedikitnya 23 kata agama
(tidak termasuk kata-kata terkait dalam domain agama, seperti iman, takwa,
dan akhlak) dalam teks 37 halaman Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional. Ironisnya, dalam refleksi 17 tahun
pemberlakuan undang-undang yang sarat dengan kata agama ini justru muncul
banyak peristiwa intoleransi agama di berbagai daerah di Nusantara, mulai
dari teks-teks bermuatan kebencian agama dalam materi pembelajaran,
intervensi berlebihan guru yang berbasis tafsir ajaran agama dalam pemilihan
pengurus OSIS, sampai dengan kewajiban mengenakan seragam berbasis keagamaan
kepada siswa dengan iman dan keyakinan berbeda. Apa yang salah dalam penerapan ajaran agama
di negara ini? Mengapa sebagian orang Indonesia sangat mudah dibakar dengan
isu agama? Bagaimana sistem pendidikan nasional bisa mengubah situasi ini dan
mencerdaskan manusia Indonesia agar tetap berakar kuat pada nilai-nilai agama
yang mengajarkan kebaikan dan perdamaian serta menggunakan akal budi untuk
menghadapi persoalan kehidupan secara rasional? Bagaimana mewujudkan keimanan
dan ketakwaan menjadi perilaku yang menghargai martabat manusia,
memperjuangkan kesejahteraan bersama, dan berbela rasa kepada mereka yang
terpinggirkan? Setelah peristiwa yang mengoyak rasa
kemanusiaan, selalu ada reaksi-reaksi spontan yang mengecam tindakan yang
telah melukai bangsa. Semoga peristiwa ini bisa menjadi momentum bagi
kebijakan dan tindakan konsolidasi keindonesiaan lintas sektoral yang lebih
serius dan menyeluruh. Di sektor pendidikan, pencegahan yang lebih menyeluruh
perlu dilakukan untuk menghentikan kerusakan akibat benih-benih intoleransi
yang justru banyak disemaikan di sebagian sekolah. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar