Kamis, 01 April 2021

 

Kekebalan Komunitas dan Metamorfosis Covid-19

 Iqbal Mochtar ; Dokter dan Pengamat Masalah Kesehatan

                                                         KOMPAS, 01 April 2021

 

 

                                                           

Program vaksinasi Covid-19 berlangsung masif di seluruh dunia saat ini. Sekitar 550 juta dosis vaksin telah disuntikkan kepada sekitar 4 persen populasi dunia. Secara kasar, lebih dari 2,5 juta dosis vaksin diberikan setiap hari.

 

Beberapa negara bahkan mengebut program mereka dengan melakukan crash program. Mereka ingin kekebalan komunitas (herd immunity) tercapai secepatnya. Di Gibraltar, 92 persen penduduknya telah divaksin; di Israel 60 persen, Inggris 44 persen, dan Irlandia Utara 38 persen.

 

Vaksinasi Covid-19 memang memiliki dua tujuan substansial, yaitu proteksi individu (individual protection) dan proteksi atau kekebalan komunitas. Setelah divaksin, orang akan membentuk antibodi yang memproteksi dirinya dari Covid-19. Namun, proteksi ini tidak 100 persen; tergantung keampuhan vaksin dan kemampuan tubuh membangun kekebalan. Artinya, orang yang telah divaksin tetap memiliki kemungkinan terinfeksi, walaupun kecil.

 

Untuk memaksimalkan proteksi dan menghentikan transmisi penyakit, orang sekitar juga harus memiliki kekebalan. Sebagian ahli sepakat kekebalan komunitas baru tercapai bila 70 persen populasi telah memperoleh kekebalan, baik karena pernah terinfeksi maupun karena telah dapat vaksin. Bila level ini tak tercapai, pandemi tetap berlangsung.

 

Kekebalan komunitas

 

Dalam sejarah wabah, kekebalan komunitas memang sering menjadi prinsip penanggulangan. Prinsip ini merujuk kepada keadaan di mana penyebaran wabah dapat terhenti apabila sejumlah besar populasi dalam satu daerah telah terkena penyakit atau telah mendapat vaksinasi. Dari penyakit dan vaksin, tubuh membangun antibodi yang berperan melawan infeksi.

 

Fenomena kekebalan komunitas pertama kali dilaporkan tahun 1923. Saat itu, para ahli mengamati penurunan signifikan penderita penyakit campak di Baltimore, yang terjadi setelah sebagian besar anak-anak terinfeksi campak. Prinsip ini kemudian menjadi andalan penanggulangan wabah. Pada setiap wabah, pihak terkait berupaya mencapai kekebalan komunitas dengan vaksinasi.

 

Kenyataannya, upaya ini memang membuahkan hasil. Berbagai penyakit menular, seperti polio dan campak, kini telah tereradikasi setelah tercapainya kekebalan komunitas untuk penyakit-penyakit tersebut. Belajar dari pengalaman itu, kini orang menggantungkan harapan pada fenomena ini untuk Covid-19. Meski banyak berharap kekebalan komunitas dapat mengontrol pandemi saat ini, sebagian ahli mengingatkan perlunya berhati-hati mengandalkan prinsip ini.

 

Pertama, ambang kekebalan komunitas (herd immunity threshold) ternyata tidak konstan. Angka 70 persen bukan angka standar dan universal ambang kekebalan komunitas. Ambang ini dapat berubah dari satu negara ke negara lain dan dari satu vaksin ke vaksin lain.

 

Banyak faktor memengaruhinya. Standar perhitungan kekebalan komunitas saat ini menggunakan parameter effective reproduction number (Rt), yaitu jumlah orang yang tertular dari seorang yang telah terinfeksi. Nilai ini didapat dari hasil tes dan surveilans. Estimasi awal menunjukkan bahwa Rt Covid-19 berkisar 2,5-3,0. Artinya, satu orang yang terinfeksi berpotensi menularkan kepada 2-3 orang lain.

 

Untuk mengontrol pandemi, nilai Rt ini harus ditekan di bawah 1. Salah satu strategi utama adalah memberikan vaksin dengan keampuhan 90 persen pada sekitar 74 persen populasi. Bila keampuhan vaksin kurang dari 90 persen, populasi yang dicakup harus lebih besar. Berdasar analisis simulasi, bila keampuhan vaksin berkisar 60-70 persen, cakupan vaksinasi harus berkisar 80-90 persen populasi.

 

Ambang cakupan ini perlu diperhitungkan dengan tepat. Khusus Indonesia, yang menggunakan vaksin Sinovac dengan tingkat keampuhan 60-70 persen, selayaknya target cakupan vaksinasi bukan 70 persen atau 180 juta penduduk. Harus di atas itu. Paling tidak 80-90 persen. Skenarionya lain bila vaksin lain digunakan. Semakin tinggi keampuhan vaksin, semakin kurang target cakupan vaksinasi.

 

Kedua, vaksin-vaksin Covid-19 yang digunakan saat ini memiliki keampuhan 60-94 persen. Namun, belum diketahui berapa lama keampuhan ini dapat bertahan. Apakah tiga bulan, satu tahun atau di atas lima tahun? Masih dalam penelitian. Durasi keampuhan vaksin menjadi faktor sangat penting dalam pencapaian kekebalan kelompok dan pengendalian pandemi. Bila keampuhan vaksin kurang dari satu tahun, akan sulit dicapai kekebalan kelompok dalam waktu singkat.

 

Kekebalan kelompok membutuhkan adanya populasi yang terproteksi bersamaan dalam periode tertentu, yang cukup untuk membatasi transmisi penyakit. Bila keampuhannya kurang dari satu tahun, vaksinasi harus diulang paling tidak setiap tahun. Salah satu alasan penyakit campak dapat tereradikasi di dunia saat ini adalah karena tersedianya vaksin campak yang memiliki durasi keampuhan yang lama.

 

Vaksin campak diberikan dua kali. Dosis pertama memberi proteksi 93 persen dan dosis kedua 96 persen. Jarak antara dosis pertama dan kedua cukup lama, yaitu 3-5 tahun. Setelah mendapat dua dosis, orang akan mengalami kekebalan terhadap campak selama puluhan tahun atau bahkan seumur hidup. Dengan tingkat dan durasi keampuhan seperti ini, serta cakupan vaksin yang besar, wajar bila penyakit campak kini telah tereradikasi.

 

Ketiga, kekebalan komunitas dapat tercapai bila sejumlah besar populasi menjadi kebal secara bersamaan dalam satu periode tertentu. Kekebalan komunitas tak tercapai apabila kekebalan terjadi secara scattered atau asimetris. Misalnya, satu daerah mendapat vaksinasi dan daerah lain tak dapat jatah, atau satu daerah divaksin hari ini dan daerah lain 1-2 tahun kemudian.

 

Kekebalan scattered atau asimetris berpotensi memicu pengulangan infeksi. Katakanlah, dalam enam bulan terakhir ini 70 persen penduduk Jawa Barat berhasil diberi vaksin dengan keampuhan yang bertahan setahun; sementara 70 persen penduduk Jawa Timur baru selesai divaksin 1-2 tahun mendatang.

 

Hal ini tidak menimbulkan kekebalan komunitas efektif karena sesaat setelah penduduk Jawa Timur mencapai kekebalan kelompok, penduduk Jawa Barat justru mulai kehilangan keampuhan vaksinnya. Pertimbangan ini menjadi dasar hingga sejumlah program vaksinasi harus dilakukan serentak, seperti pekan imunisasi nasional.

 

Berdasar pertimbangan ini pulalah, Inggris menjalankan kebijaksanaan berbeda terkait program vaksinasi. Daripada memberikan dua dosis vaksin kepada sejumlah terbatas penduduk, Inggris memilih memberikan satu dosis vaksin kepada sebanyak mungkin penduduk. Pemberian dosis kedua ditunda menjadi tiga bulan, dan bukan 3-4 minggu, setelah vaksin pertama.

 

Prinsipnya, mereka memilih opsi sebanyak mungkin penduduk mendapat satu dosis vaksin daripada sebagian kecil penduduk mendapat dua dosis vaksin. Mereka ingin mengejar kekebalan komunitas secepatnya dan sebesar mungkin.

 

Keempat, perkembangan mutasi virus Covid-19. Sama dengan virus lainnya, Covid-19 memiliki kemampuan bermutasi dan membentuk strain baru. Kemampuan bermutasi memang merupakan proses alamiah berbagai jenis virus. Kuantitas dan tipe mutasi berbanding lurus dengan penyebaran penyakit; semakin tinggi penyebaran penyakit, semakin besar kemungkinan terjadi mutasi dan strain virus.

 

Jenis dan efek mutasi bervariasi. Salah satunya, virus memodifikasi protein tonjolannya (spike protein) yang membuatnya dapat melekat lebih erat dan lama dengan sel tubuh manusia. Akhirnya, transmisi viruspun jadi meningkat. Hanya dalam beberapa bulan, strain mutasi Covid-19 pertama yang ditemukan di Inggris, yaitu B.1.1.7, telah mendominasi 60 persen kasus baru Covid-19 di Inggris. Strain lain ditemukan di Brasil, yaitu B.1.351. Jenis ini mampu menginfeksi orang yang pernah terinfeksi Covid-19 dan telah memiliki antibodi.

 

Intinya, mutasi virus dapat memengaruhi penyebaran dan tingkat keparahan penyakit. Sekaligus memengaruhi ambang kekebalan komunitas. Artinya, semakin banyak mutasi virus semakin tinggi target vaksinasi yang diperlukan untuk mencapai kekebalan komunitas.

 

Metamorfosis Covid-19?

 

Berdasar berbagai argumen di atas, sebagian ahli meragukan tercapainya kekebalan komunitas efektif. Apalagi, menurut mereka, pandemi ini telah berlangsung lama. Pengontrolan pandemi sulit dilakukan bila transmisi penyakit sudah berjalan lama. Atas dasar ini pula, mereka berhipotesis bahwa dunia tidak akan pernah mencapai kekebalan komunitas global (global herd immunity) dan hanya akan mengalami kekebalan komunitas asimetri.

 

Artinya, sebagian negara akan mencapai kekebalan komunitas lokal (local herd immunity) dan sebagian lainnya tidak mencapai kekebalan komunitas dan tetap menjadi rentan (vulnerable) bagi penyebaran wabah Covid-19.

 

Negara dengan kekebalan komunitas lokal memang terlindung sementara dari Covid-19. Namun, kekebalan ini parsial dan tidak lengkap. Alasannya, negara-negara dengan kekebalan lokal ini akan tetap berinteraksi dengan negara-negara yang belum terproteksi. Interaksi antar-penduduk ini berpotensi menimbulkan recurrent, reinfection, ataupun mutasi virus lanjut.

 

Akibatnya, Covid-19 tidak akan pernah benar-benar sirna di muka bumi. Penyakit ini akan hilang timbul, tergantung interaksi global, pergantian musim atau cuaca, serta penatalaksanaan yang dilakukan.

 

Ketika musim dingin di negara-negara Barat tiba, intensnya interaksi antar-penduduk serta relaksasi 5M, Covid-19 akan muncul lagi. Penyakit ini bermetamorfosis menjadi penyakit endemik. Muncul pada satu waktu tertentu dan tempat tertentu, menghilang setelah ditangani dan muncul lagi pada waktu lain di tempat lain. Kira-kira menyerupai pola penyakit flu atau influenza musiman yang ada saat ini.

 

Pendapat sebagian ahli di atas masih terbatas sebagai hipotesis. Bisa benar, bisa salah. Namun, hipotesis ini bukan tanpa alasan rasional. Artinya, bukan tidak mungkin hipotesis ini menjadi kenyataan. Maka, sangat perlu melakukan antisipasi agar hipotesis ini tidak menjadi benar.

 

Semua negara harus berupaya keras meningkatkan cakupan vaksinasi. Vaksinasi sekarang cukup masif, tetapi belum efektif mengendalikan pandemi secara cepat. Pada tingkat dunia, 2,5 juta orang atau 0,03 persen penduduk divaksinasi setiap hari.

 

Di Indonesia, dua bulan setelah program vaksinasi dimulai, lebih dari tujuh juta dosis vaksin telah diberikan. Setiap hari, lebih 110.000 dosis vaksin disuntikkan. Ini masif tetapi belum cukup. Dengan laju sekarang, perlu 5-8 tahun untuk mencapai kekebalan komunitas. Laju ini perlu dipercepat paling tidak dua kali lipat.

 

Dengan tingkat keampuhan vaksin yang bervariasi antara 60-94 persen, hasil vaksinasi yang asimetri serta berkembangnya berbagai strain virus, pemerintah mesti menghitung kembali target vaksinasi yang rasional. Tidak menjadikan 70 persen sebagai angka absolut yang ingin dicapai. Perubahan-perubahan dinamis berbagai parameter di atas mengharuskan penambahan jumlah target vaksinasi.

 

Sejumlah negara di dunia memang menargetkan cakupan imunisasi di atas 70 persen. Gibraltar dan Israel bahkan menargetkan semua penduduknya menjadi target vaksinasi, kecuali yang memiliki kontraindikasi. Bagi Indonesia, hal ini bukan tidak mungkin. Apalagi, saat ini 11 jenis vaksin Covid-19 telah mendapat persetujuan penggunaan dan belasan lainnya berpotensi dapat persetujuan dalam beberapa bulan mendatang.

 

Tinggal kita pandai-pandai bernegosiasi dengan produsen vaksin dan memanfaatkan secara efisien vaksin yang kita miliki. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar