Peningkatan
Rasio Pajak dan Reformasi Perpajakan Haryo Kuncoro ; Guru Besar Fakultas Ekonomi
Universitas Negeri Jakarta, Direktur Riset The Socio-Economic &
Educational Business Institute Jakarta |
KOMPAS,
07 April
2021
Penerimaan negara dari pos perpajakan terus
mendapat sorotan tajam dalam beberapa tahun belakangan ini, terutama saat
pandemi Covid-19. Pelemahan ekonomi global dan ekonomi
domestik membawa imbas pada kekurangan (shortfall) penerimaan pajak. Di satu sisi, pemerintah memilih opsi
insentif perpajakan dan stimulus fiskal dalam program Pemulihan Ekonomi
Nasional (PEN). Di sisi lain, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 mengamanatkan
rasio defisit mulai 2023 harus kembali ke pakem semula, yaitu maksimum 3
persen dari produk domestik bruto (PDB). Alhasil, pemerintah punya tugas berat
terkait dengan penurunan angka defisit dalam format konsolidasi fiskal.
Konsolidasi fiskal ditandai dengan peningkatan penerimaan dan/atau mengurangi
belanja. Kegagalan konsolidasi fiskal berakibat pada tambahan pembiayaan
utang guna menutup defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Opsi pada pengurangan belanja negara
agaknya akan dihindari. Selain berisiko pada periode resesi ekonomi yang
semakin panjang, mayoritas belanja negara juga bersifat wajib (mandatory
spending). Lagi pula, rasio belanja pemerintah terhadap PDB masih sangat
kecil, yakni 10 persen. Pilihan pada peningkatan penerimaan,
terutama pajak, tampaknya masih terbuka lebar. Kerapuhan
struktur Rasio pajak terhadap PDB mengalami tren
penurunan. Rasio pajak juga masih rendah, jauh di bawah standar negara
berpenghasilan rendah yang adalah 15 persen. Apalagi dibandingkan dengan 30
persen di negara-negara maju (Peralta-Alva et al, 2018). Hanya, meningkatkan rasio pajak tidaklah
sesederhana yang dibayangkan. Pasalnya, penerimaan pajak tidak elastisitas
dengan perkembangan ekonomi. Sebagai rujukan, elastisitas pajak sebelum
pandemi sekitar 0,4. Artinya, penerimaan pajak hanya tumbuh 0,4 persen
sebagai akibat dari 1 persen pertumbuhan ekonomi. Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah
lebih rendahnya peningkatan penerimaan pajak relatif terhadap pertumbuhan
ekonomi disebabkan minimnya kemampuan pengumpulan pajak atau memang obyek
pajaknya yang tak tumbuh alias tak berkorelasi dengan pertumbuhan ekonomi. Secara teoretis, keduanya punya
probabilitas yang sama untuk terjadi. Output sektor pertanian dihitung
sebagai komponen PDB yang kemudian digunakan sebagai basis perhitungan
pertumbuhan ekonomi. Kontribusi sektor pertanian dalam pembentukan PDB masih
signifikan, sekitar 13 persen. Akan tetapi, tidak semua produk pertanian
terjamah pajak. Sektor informal dan UMKM banyak bergerak di sektor pertanian
belum tersentuh pajak. Kontribusi sektor pertanian pada penerimaan pajak di
Indonesia hanya 1,9 persen. Bahkan, bukti empiris lintas negara menunjukkan
ada korelasi negatif antara sektor pertanian dan rasio pajak. Penerimaan sumber daya alam (SDA) justru
lebih sensitif terhadap harga komoditas di pasar ekspor. Dengan
karakteristiknya yang ekstraktif, sektor SDA memiliki keterkaitan yang lemah
dengan sektor-sektor industri lain. Artinya, dinamika sektor SDA tidak
mendorong aktivitas ekonomi turunannya. Lebih lanjut, penerimaan SDA bertalian
dengan perolehan Pajak Penghasilan (PPh) badan pengelolanya. Kontribusi wajib
pajak (WP) besar ini mencapai 30 persen dari total penerimaan pajak. Artinya,
ada semacam ketergantungan terhadap WP besar. Artinya, di sini ada isu
keberlanjutan penerimaan yang dipertaruhkan. Dominasi PPh badan seolah mempertegas
kecilnya kontribusi PPh orang pribadi (OP). Penerimaan PPh OP hanya 10 persen
dari perolehan PPh. Padahal, praktik terbaik internasional menyimpulkan
negara dengan perolehan PPh OP yang kuat juga tangguh dalam
mengimplementasikan kebijakan fiskal (IMF, 2020). Kerapuhan struktur perpajakan juga tecermin
dari perimbangan antara penerimaan PPh OP dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
PPN adalah pajak tidak langsung. Pembayar pajak tak langsung bisa
menggeserkan kepada pihak lain. Ringkasnya, PPN memiliki efek pada sebaran
beban akhir pajak yang berdampak pada distribusi pendapatan. Reformasi
perpajakan Sampai di sini, beberapa persoalan
fundamental perpajakan di atas dengan sendirinya memberikan arah bagi
reformasi perpajakan. Peningkatan rasio pajak menghendaki reformasi
perpajakan yang komprehensif. Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum
Perpajakan, toh, sudah masuk dalam Prolegnas 2021-2024. Alhasil, upaya peningkatan rasio pajak secara
makro perlu diawali dengan mentransformasi ”ekonomi bawah tanah” (underground
economy) menjadi ekonomi riil sehingga bisa terjangkau pajak. Ekonomi
bayangan (shadow economy) di Indonesia sangat material, yakni mencapai 26,6
persen terhadap PDB (Medina dan Scheneider, 2018). Diversifikasi sumber perolehan pajak juga
terbuka diarahkan pada sumber-sumber baru pertumbuhan ekonomi. Ekonomi
digital, ekonomi kreatif, dan pariwisata layak dijadikan sebagai wahana
penerimaan pajak. Perkembangan tersebut perlu diakomodasi dengan menjalin
kerja sama dengan negara-negara lain. Menggenjot penerimaan pajak tidak melulu
soal tarif dan ekstensifikasi. Memperluas basis pajak dengan memerangi
penghindaran dan penggelapan pajak juga memainkan peran penting. Reformasi
struktural perpajakan lewat penagihan yang efisien dan introduksi pajak tak
distortif juga mengurangi beban kerugian ekonomi. Di lingkup internal otoritas pajak,
mengoptimalkan pemanfaatan data perpajakan dari program amnesti pajak,
pertukaran informasi keuangan secara otomatis, dan pihak ketiga bisa menjadi
acuan untuk mengukur kepatuhan WP. Salah satu faktor pendorong kepatuhan WP
dalam sistem self assessment adalah ketersediaan data yang valid. Beberapa hal di atas mutlak dimasukkan ke
dalam agenda konsolidasi fiskal pada masa mendatang. Dengan basis pajak yang
lebih andal, penerimaan pajak dalam negeri niscaya akan elastis terhadap
kondisi ekonomi nasional. Pada akhirnya, predikat pajak sebagai soko guru
pendapatan negara pun melekat berkelanjutan. Semoga. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar