Bom
Bunuh Diri dan Bahaya Laten Terorisme Zuly Qodir ; Ketua Program Doktor Politik Islam
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta |
KOMPAS,
07 April
2021
Peledakan bom bunuh diri di depan Gereja
Katedral Makassar hari Minggu (28/3/2021) mengagetkan banyak pihak. Pasangan
suami-istri yang baru menikah melakukan peledakan bom bunuh diri. Mereka
berdua diduga anggota Jamaah Ansharut Daulah. Pasalnya, pada saat bangsa ini secara
bersama-sama tengah berjuang keluar dari lubang jarum wabah pandemik
Covid-19, masih ada saja sekelompok orang mengail di air keruh dan membuat
kegaduhan. Pseudo
martir Sekelompok orang penganut teologi maut dan
enggan berhadapan dengan realitas empirik masih terus bekerja secara
tersembunyi, senyap, tiba-tiba meledak. Sekelompok orang ini tentu saja tidak
tiba-tiba menjadi seorang martir sehingga rela mati di ujung bom atau
molotov. Mereka tentu ada proses dan pengalaman yang melatar belakanginya. Salah satu analisis yang dapat dikemukakan
bahwa orang yang rela mati diujung molotov, senapan, ataupun bom karena
memahami bahwa itulah jalan terpilih yang telah ditentukan Tuhan sebagai
jihad, jalan perjuangan, sebagai pahlawan pembela Tuhan. Seseorang rela mati
menjadi martir untuk menebus dosa atas apa yang dilihat dan diperjuangkan. Sungguh mengerikan jika ada banyak orang
berpikiran bahwa mati di ujung bom atau senapan dipahami sebagai jalan
kematian yang diperuntukkan kepada Tuhan. Tentu akan semakin banyak orang berkeinginan
mati seperti itu. Hal ini tentu saja perlu dicarikan penjelasan yang memadai
sehingga tidak serta-merta memahami realitas yang tidak sesuai dengan
kehendak pikirannya dianggap sebagai kesesatan, kejahatan, bahkan jalan
kematian menuju surga Ilahi. Kehadiran kelompok manusia penganut teologi
maut mesti menjadi perhatian kita semua. Kita sebagai bangsa tidak bisa
tinggal diam dan abai atas kejadian
yang berusaha mengarahkan pikiran dan perhatian kita pada terjadi
disharmoni sosial dan kemungkinan kecurigaan sosial atas keragaman umat
beragama. Kita mesti berpikir cerdas dan awas dengan adanya kelompok yang
dapat memprovokasi situasi yang sedang kondusif untuk keluar dari wabah
Covid-19. Para tokoh agama, siapa pun mereka, sudah
saatnya ambil bagian di garis terdepan Bersama masyarakat sipil, aparat
keamanan, dan mereka yang memiliki perhatian agar bangsa ini benar-benar
menjadi bangsa yang santun dalam beragama. Wasathiyah dalam bersikap dan
ramah dalam bergaul dengan sesama warga negara yang beragam. Perayaan
Paskah dan puasa Peledakan bom bunuh diri di depan Gereja
Katedral Makassar dapat kita baca sebagai bahaya laten kaum penganut teologi
maut yang berusaha memancing perhatian, terutama umat Islam dan Kristiani.
Kita tahu pada Jumat 2 April minggu ini merupakan hari wafat Isa al Masih.
Inilah Jumat Agung. Kemudian Sabtu kelabu dan Minggu Paskah, sebagai
Kebangkitan Yesus, merupakan rangkaian hari besar umat Kristiani untuk
beribadah kepada Tuhan. Sementara itu, minggu depannya tanggal 13
April adalah awal mula Ramadhan tiba. Di mana umat Islam hendak secara
khusyuk menjalankan ibadah puasa Ramadhan dengan berbagai rangkaian ibadah,
hingga Idul Fitri tiba. Dua hari raya yang sangat dimuliakan oleh dua umat
beragama menjadi testing in the water apakah dua komunitas umat Tuhan
terpengaruh ataukah tidak dengan peristiwa peledakan bom. Jika diperhatikan, selalu demikian
kejadiannya. Saat jelang perayaan Paskah, Natal, Idul Fitri, atau Tahun Baru
akan menjadi hari-hari di mana kaum penganut teologi maut menjalankan aksi
terornya untuk memengaruhi psikologi penganut dua agama terbesar di
Indonesia. Kita berharap umat Islam dan Kristen
sebagai mayoritas tidak mudah terpengaruh dan terprovokasi atas kejadian di
Makassar. Kita harus memiliki kepekaan dini yang kuat sehingga
kejadian-kejadian serupa tidak muncul kembali. Oleh karena itu, aktivitas keagamaan yang
ada mesti memperhatikan kondisi eksternal dan melibatkan pihak keamanan serta
umat agama lain untuk turut serta membantu melakukan koordinasi dan penjagaan
keamanan. Jangan sampai di antara umat beragama saling membenci, mencurigai,
bahkan menghasut atas aktivitas keagamaan yang hendak dilakukan. Kita tidak
bisa lagi menyatakan bahwa melibatkan umat beragama lain dalam aktivitas
sosial keagamaan, bukan ritual, sebagai bagian dari pengaburan keyakinan dan
keimanan. Para penganut teologi maut sejatinya dapat
dikatakan sebagai sekelompok orang yang putus asa dalam realitas obyektif
kehidupan dunia. Tidak mampu melakukan perubahan diri sendiri, kelompok, dan
masyarakat, apalagi negara sehingga menimpakan semua kesalahan kepada pihak
lain dengan menjadikan agama sebagai ”basis legitimasi” pencapaian kemuliaan
semu. Memperhatikan sering berulangnya kejadian
bom bunuh diri atau peledakan tempat ibadah menjelang perayaan hari besar
keagamaan, maka ada hal lain yang perlu dipikirkan oleh pemerintah dan aparat
keamanan, termasuk intelijen, agar benar-benar bekerja keras melakukan
penyelidikan dan pengamatan atas gerak-gerik mereka yg diduga penganut teologi
maut. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme
(BNPT) dan kepolisian perlu terlibat menjelang hari besar umat
Katolik-Kristen dan Islam dalam dua bulan ke depan. Kita tidak boleh kalah
dengan kelompok penganut teologi maut yang laten bergerak di sepanjang tahun.
● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar