Selasa, 06 April 2021

 

Nasionalisme Diplomasi Vaksin

 Darmansjah Djumala ; Diplomat bertugas di Wina, Austria, dan PBB. Dosen S3 Hubungan Internasional FISIP Universitas Padjadjaran, Bandung

                                                         KOMPAS, 06 April 2021

 

 

                                                           

Terbilang setahun sudah pandemi Covid-19 mendera dunia. Ekonomi global melambat. Perdagangan dan pergerakan barang, jasa dan manusia tersendat. Terjadi disrupsi dalam rantai pasok global. Tak terkecuali dalam alokasi alat kesehatan (alkes).

 

Di awal pandemi banyak yang khawatir, dunia mengalami kelangkaan alkes serius karena kebijakan pelarangan ekspor. Tapi manusia dengan kemuliaan derajatnya selalu mampu mencari celah mengatasi masalah. Tatkala dunia mengalami kelangkaan masker, pabrik tekstil mengalih-fungsikan produksinya ke penyediaan masker secara masif. Kini masker tak lagi menjadi masalah, dan sudah menjadi barang umum. Begitu pun alkes lain, seperti alat pelindung diri, respirator dan ventilator.

 

Isu alkes ini sempat menjadi isu politik antara negara di Eropa dan China. Ketika sesama anggota Uni Eropa (UE) saling baku-larang ekspor produk alkes itu, China malah mengirimkan bantuan ke beberapa negara Eropa yang kekurangan. Muncul kekhawatiran, manuver China selama pandemi mengubah geo-politik Eropa. Pelarangan ekspor seolah menjadi momok.

 

Hal serupa kini terjadi. Kali ini menyangkut vaksin. UE terlibat saling tuduh dengan Inggris terkait pelarangan ekspor vaksin AstraZeneca, milik Inggris-Swedia. UE merasa berhak melarang ekspor vaksin – yang diproduksi di Leiden, Belanda - karena sudah mengikat kontrak pembelian 90 juta dosis.

 

UE juga melarang ekspor dari pabriknya di Anagni, Italia, ke Australia sebanyak 250.000 dosis. Itu dilakukan karena UE lebih mementingkan pemenuhan kebutuhan vaksin bagi negara anggotanya. Inggris pun begitu, melarang produsen AstraZeneca yang berbasis di Wrexham dan Oxford (Inggris) mengirim vaksinnya ke UE jika kebutuhan dalam negeri belum terpenuhi. Kedua belah pihak saling tuduh, baku-larang ekspor vaksin. Maka, dunia pun menyaksikan fenomena politik baru: nasionalisme vaksin.

 

Nasionalisme vaksin merujuk kepada perilaku politik suatu negara yang lebih mengutamakan pemenuhan kebutuhan vaksin bagi warga negaranya daripada berbagi dengan negara lain secara adil.

 

Ketimpangan kepemilikan vaksin

 

Tak ada yang salah dengan sikap mendahulukan kepentingan dalam negeri. Namun tatkala tindakan me first dilakukan dengan cara memborong dan menimbun vaksin lebih dari kebutuhan minimum, sementara di belahan bumi lain banyak negara miskin tak mampu membeli vaksin, secara moral sikap politik ini kurang pas.

 

Persis seperti kata Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Tedros A Ghebreyesus: nasionalisme vaksin bukan hanya tidak bisa dipertahankan secara moral (morally indefensible), tetapi secara epidemiologis juga justru akan menghancurkan sesama (Vaccine Nationalism Harms Everyone and Protects No One, Foreign Policy, 2/2/2021).

 

Ketimpangan kepemilikan vaksin saat ini sungguh mengkhawatirkan. Sekadar gambaran: negara-negara kaya yang penduduknya hanya 16 persen dari total penduduk dunia sudah membeli lebih dari 60 persen vaksin dunia. Negara-negara kaya ini menargetkan memvaksin 70 persen penduduk dewasanya sampai pertengahan tahun ini.

 

Bandingkan dengan negara miskin. Menurut Tedros, mereka masih harus berjuang mendapatkan vaksin bagi 20 persen penduduknya pada akhir 2021. Dengan ketimpangan mencolok ini kerja sama antara negara kaya dan miskin menjadi keniscayaan.

 

Tersebab daya transmisi Covid-19 yang tinggi, negara kaya dan miskin sama merugi jika tidak bekerja sama mengatasinya. Diperkirakan pandemi ini dapat menewaskan 40 juta manusia. Karena adanya saling keterkaitan dalam rantai ekonomi dunia, negara kaya tak boleh mengacuhkan negara miskin.

 

Sebab, meski negara kaya mampu melakukan vaksinasi untuk seluruh penduduknya, tetapi jika mereka abai terhadap pandemi di negara miskin, secara agregat pendapatan ekonomi dunia akan turun senilai 12,5 triliun dollar AS pada akhir 2021 (Thomas J Bollyky dan Chad P Bown, The Tragedy of Vaccine Nationalism, Only Cooperation Can End the Pandemic, September/Oktober 2020).

 

Pada titik inilah, muncul pertanyaan: apa gunanya melawan pandemi dengan nasionalisme vaksin, jika hanya akan memusnahkan diri sendiri (self-defeating)? Terasa ada yang kurang pas dengan konsep nasionalisme di sini.

 

Dalam wacana nasionalisme, dikenal konsep nasionalisme Bung Karno: sosio-nasionalisme (Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid I, 2015). Memang, embrio nasionalisme Bung Karno berurat-akar pada anti-kolonialisme. Walakin, nasionalisme tidak berarti menarik diri dari pergaulan internasional. Sebab, ia tak hidup dalam ruang kosong nilai.

 

Diplomasi vaksin Indonesia

 

Sebagai bangsa yang hidup dalam pergaulan internasional dan masyarakat dunia, nasionalisme Indonesia diletakkan dalam bingkai “sosial kemanusiaan“. Maka, dikenallah ia dengan istilah ”sosio-nasionalisme“. Konsep sosio-nasionalisme ini menemukan relevansinya dalam gerak laku diplomasi vaksin yang dilakukan Indonesia.

 

Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi, dalam kapasitasnya sebagai co-chair (ketua bersama) dengan Menteri Kesehatan Ethiopia dan Menteri Kerja Sama Pembangunan Internasional Kanada, melakukan diplomasi vaksin gerak cepat melalui Covax (Covid-19 Vaccines Global Access) Facility, program pengadaan dan alokasi vaksin di bawah WHO kepada semua negara terlepas dari tingkat kemajuan ekonominya.

 

Menarik disimak pernyataan pers Dirjen WHO pada 21 September 2020. Dikatakan, diplomasi vaksin harus memastikan tersedianya akses vaksin bagi “semua negara” sehingga “sebagian penduduk”-nya bisa divaksinasi. Bukan menyediakan vaksin bagi “sebagian negara” agar “semua penduduk” nya mendapat vaksin (all contries for some people, not all people in some countries).

 

Ini menunjukkan bahwa diplomasi vaksin harus menjamin distribusi vaksin secara berkeadilan, agar semua negara bisa mengakses vaksin sehingga minimal 20 persen penduduknya (sesuai standar WHO) bisa divaksinasi. Pendekatan seperti inilah yang dilakukan Indonesia bersama Kanada dan Ethipoa dalam diplomasi vaksin dunia di bawah koordinasi WHO.

 

Program Covax sendiri menargetkan pengadaan dan pendistribusian dua miliar dosis vaksin ke 200 negara sampai akhir 2021. Di sini kepemimpinan diplomasi Indonesia bersama Kanada dan Ethiopia diuji untuk memperjuangkan kepentingan negara miskin dan menengah mendapatkan vaksin yang sedang diperebutkan banyak negara.

 

Dalam konteks ini, sosio-nasionalisme —yaitu nasionalisme dalam dimensi sosial-kemanusiaan— menjadi panduan ideologis dalam perjuangan diplomasi vaksin Indonesia.

 

Sejauh menyangkut kepentingan Indonesia, hasil diplomasi vaksin ini nyata. Indonesia sudah mendapatkan 1,1 juta dosis AstraZeneca awal Maret lalu dari rencana pengiriman 11,7 juta sampai Mei nanti. Dari program Covax, Indonesia mendapat jatah vaksin untuk 20 persen penduduk atau 54 juta orang. Itu artinya Indonesia mendapatkan 108 juta dosis (setiap orang divaksin dua kali) pada akhir 2021.

 

Di tengah perebutan vaksin dunia, bisa dipahami jika muncul nasionalisme vaksin —sikap politik yang mendahulukan kebutuhan dalam negeri sendiri. Tetapi di tengah dunia yang semakin terkait-hubung secara ekonomi, apalagi dengan daya tular Covid-19 yang tinggi, nasionalisme berebut vaksin hanya jalan pintas menuju kemusnahan diri (self-defeating).

 

Nasionalisme diplomasi vaksin Indonesia tidak boleh bersandar pada sabda nasionalisme sempit nan egoistik. Perjuangan diplomasi vaksin Indonesia harus bernapaskan sosio-nasionalisme, yaitu nasionalisme vaksin yang berwawasan sosial-kemanusiaan. Peran aktif Indonesia dalam program Covax Facility menjadi sarana untuk memanifestasikan konsep sosio-nasionalisme vaksin dalam diplomasi vaksin dunia. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar